“Bra Status”, untuk Hidup yang Lebih Baik

,
Di pekan pertama 2010 ini, dunia Facebook dikejutkan oleh fenomena users—terutama di AS—yang memasang status pendek tentang warna bra yang sedang dikenakan olehnya. Mereka cukup menulis status: “….Black,…hot pink, atau ….polka dot (:D)”. Dalam waktu singkat, fenomena ini menyita perhatian pengguna Facebook dan pakar-pakar social media.

Jangan berpikir macam-macam dulu kawan. Ini bukan varian pornoaksi, tapi merupakan aktivitas mulia. Menurut Freep.com, "Bra Status" merupakan kampanye yang diinisiasi seorang perempuan asal Detroit untuk menggetok kesadaran masyarakat akan bahaya kanker payudara (Breast Cancer). Berdasarkan Official Fan Page Bra Status, perempuan ini kemungkinan adalah Kimberley Griffiths. Pada awalnya ia mengirimkan ajakan untuk menulis status tentang warna Bra yang dikenakan lewat fasilitas “message” di Facebook. Kemudian, hanya dalam hitungan hari “Bra Status” telah berhasil menyedot perhatian masyarakat terutama di AS.

Bagi sebagian pihak, “Bra Status” mungkin dipandang kampanye nyeleneh dan tak etis. Tapi bagi saya, “Bra Status” justru menjadi salah satu titik termutakhir akan melebarnya peran social media dalam kehidupan. Social media—seperti Facebook—selama ini banyak dipandang sekadar wahana bergosip yang membuang waktu percuma dan meruntuhkan produktivitas. Tapi dengan adanya “Bra Status”, social media terlihat semakin nyata mampu melebarkan pengaruhnya pada pelbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, kemiskinan hingga lingkungan.

Tren melebarnya pengaruh social media ini memang bukanlah barang baru. Pada tahun 2008, Pete Cashmore—pendiri Mashable, sebuah blog yang mengkaji Social Media—menginisiasi gerakan Charity:Water. Gerakan ini mengajak para follower akun Mashable di Twitter untuk mendonasikan sejumlah dollar yang akan digunakan dalam pengadaan air bersih di Ethiopia. Ketika itu, “Charity:Water” berhasil mengumpulkan $ 3.536 yang langsung disumbangkan untuk pengadaan air bersih di Ethiopia.

Dari dunia kesehatan muncul nama dr. Mani Sivasubramanian. Ia adalah ahli bedah jantung, yang menginisiasi gerakan “Tweet_a_thon” sebagai wadah penjaring dana untuk membantu anak-anak kurang mampu yang menderita Congenital Heart Defects. Hingga September 2009, gerakan ini konon telah mampu menyelamatkan 12 anak yang menderita kelainan jantung.

Pengaruh social media terhadap dunia kesehatan bahkan secara sistemik memunculkan istilah Health 2.0. Istilah ini mengacu pada platform teknologi yang berkenaan dengan healthcare. Health 2.0. merupakan respon para praktisi kesehatan di AS terhadap tren perilaku masyarakat yang semakin terkoneksi dengan internet.

Melalui Health 2.0. ini banyak praktisi kesehatan yang membuat website yang digadang sebagai klinik online di mana masyarakat dapat berkonsultasi atas pelbagai penyakit yang menderanya. Dengan ini, pelayanan kesehatan menjadi lebih praktis, efektif dan efisien.

Kini, “Bra Status” menambah daftar akan pentingnya peranan social media dalam dunia kesehatan. Telah lama para aktivis kesehatan khawatir akan prevalensi penderita kanker payudara di dunia. Di Indonesia sendiri, kanker Payudara diklaim sebagai “pembunuh” perempuan nomor 2 setelah kanker mulut rahim.

Selain itu, jumlah penderita kanker payudara pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Banyak aktivis dan praktisi kesehatan yang mengklaim bahwa prevalensi tersebut diakibatkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya kanker.

Kenyaataan inilah yang kemudian menggerakkan kreativitas pegiat bahaya kanker untuk terus giat melakukan kampanye. Kini, di era social media, kampanye itu relative lebih mudah menjangkau masyarakat. Para aktivis kesehatan tahu di mana masyarakat terutama generasi muda eksis: Facebook, Twitter ataupun media 2.0. lainnya. Generasi sekarang yang diklaim sebagai generasi digital jelas tak dapat terpisahkan dengan internet.

Kondisi inilah yang kemudian memaksa para aktivis kesehatan untuk terjun menggarap internet terutama social media sebagai alat kampanyenya. Mereka sadar bahwa generasi digital tidak akan mempan oleh varian kampanye yang monoton dan tidak interaktif. Karenanya, para aktivis kesehatan banyak menginisiasi gerakan-gerakan unik dan kontroversial seperti “Bra Status” demi memupuk kesadaran masyarakat akan bahaya kanker payudara.

Pada titik inilah, kita sebagai manusia mungkin perlu bersyukur atas perkembangan teknologi melalui social media yang semakin kontributif bagi umat manusia. Social media terutama Facebook bukan lagi sekadar media untuk bergosip, tapi telah menjelma menjadi wahana untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik. So, jangan pernah ragu untuk bertanya: “Apa warna bra yang sedang kamu kenakan, dinda?”. Hehe.

Read more

Marketing dan Persoalan Rasial

,
Tak terasa penggalan hari demi hari berlalu dengan cepat. Rasanya baru kemarin saya menulis postingan bagi kawan-kawan semua. Ternyata kini, Sabtu telah datang menyapa kita kembali. Dan itu artinya, saya pun mesti melakukan ritual rutin yaitu menyapa kawan-kawan melalui tulisan yang semoga mampu memantik kita untuk berdiskusi lebih lanjut.

Oya, ini mungkin tulisan terakhir yang dimuat di Marketing Kami versi Blogspot . Mau bubar? Tenang, jangan sedih dulu kawan (hehe). Marketing Kami akan terus eksis dan karenanya kami memutuskan untuk membeli “rumah pribadi” sendiri. Ini kami lakukan karena kami bosan mengontrak gratisan di blogspot (gaya banget dah..), dan tentunya ingin kelihatan lebih serius dan profesional dalam nge-blog. Oke, tunggu saja kawan, dalam satu-dua minggu ke depan, Marketing Kami akan hadir dalam wajah berbeda.

Let’s talk about the topic, my friends. Well, persoalan Marketing dan rasialisme, dalam beberapa tahun terakhir ini kerap mengemuka. Seminggu yang lalu, Kentucky Fried Chicken (KFC) Australia mengunggah iklan online di YouTube. Dalam iklan itu digambarkan seorang supporter cricket Australia (kulit putih) berada di antara kerumunan suporter West Indians (kulit hitam). Tentu ini membuat suporter Australia kurang nyaman, karena berada di lingkungan “lain”. Nah,untuk “menyamankan” dirinya dia menawarkan sekotak fried Chicken ke kalangan West Indian tersebut. Jelas, kalangan West Indians tersebut menyambutnya seolah-olah mendapat "durian" runtuh (interpretasi pribadi ya).

Iklan ini mungkin seformat dengan iklan salah satu provider seluler di Indonesia. Sahabat pasti ingat, akan adanya iklan yang menggambarkan seorang suporter sepakbola memakai baju kuning sementara yang lain berwarna merah. Ia terlihat seperti stranger yang eksis di tengah kerumunan suporter lawan. Ia pun terlihat celingak-celinguk ketika semua mata suporter lawan memandang dirinya yang jingkrak-jingkrak sendiri. Iklan ini kemudian cukup sukses membekas di benak masyarakat kita, dan melenggang tanpa persoalan kontroversial.

Pada konteks iklan KFC, terdapat fenomena aneh. Iklan ini sebenarnya tidak mendapat judgement rasis di Australia-nya sendiri. Anehnya, yang banyak men-judge iklan tersebut rasis itu berasal dari warga Amerika Serikat (AS). Opini pun terbelah. Banyak warga AS yang sampai rela membuat video kritikan atas iklan “rasis” tersebut. Sementara itu, warga Australia justru banyak yang menganggap warga AS tersebut mengobarkan semangat rasialisme pada objek (iklan) yang sangat TIDAK rasis tersebut.

Bagaimana dengan Anda, Kawan? Itu terserah interpretasi kawan-kawan semua. Tapi, di sini saya ingin menekankan bahwa intrepretasi masyarakat atas program pemasaran dan promosi perusahaan seringkali di luar perkiraan para marketer. Perusahaan mungkin tidak berniat untuk melukai perasaan ras, suku, atau agama tertentu dalam menginisiasi suatu program. Namun nyatanya, masyarakat memiliki kebebasan untuk menginterpretasi sendiri sesuai basis-basis kultural dirinya. Program yang tidak rasis pun bisa dianggap rasis oleh mereka.

Di Indonesia sendiri, kasus yang paling mentereng mengenai ini terjadi sekitar setahun yang lalu. Kawan pasti ingat dengan kehadiran “Budha Bar” di Jakarta. Bar ini sepertinya ingin memberikan sensasi lain pada pegiat kehidupan malam dengan memasang simbol-simbol agama Budha di interiornya. Dan sangat mungkin juga pemilik bar tersebut tidak bermaksud melecehkan agama Budha dengan hal tersebut. Namun nyatanya, “Budha Bar” ini membuat banyak Bhiksu “turun gunung” dari vihara ke jalanan, untuk menggagalkan eksistensi “Budha Bar” ini.

Persoalan yang menyangkut KFC dan “Budha Bar” ini tentu memberikan pelajaran kepada para—dan calon—marketer untuk berhati-hati menghadapi reaksi kultural masyarakat. Masalah reaksi kultural ini sangat berdampak signifikan dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang awalnya ingin melakukan diferensiasi justru ditikan kebangkrutan akibat resistensi masyarakat atas “kelakuan” perusahaan yang dianggap rasis atau melecehkan agama tertentu.

Sementara itu, pada sisi lain, persoalan rasialisme dalam dunia pemasaran terkadang bersumber dari dunia luar perusahaan. Jika KFC dan Budha Bar banyak dikritik karena dianggap melecehkan simbol-simbol ras dan agama tertentu, banyak juga perusahaan yang tertimpa sial akibat perilaku rasis dari pihak-pihak luar yang terkait dengannya, Arla Foods contohnya.

Pada tahun 2006, Perusahaan multi-nasional asal Denmark ini membukukan kerugian 1 juta Euro/hari akibat boikot produk-produk Denmark di kawasan Timur Tengah. Anda pasti tahu, ketika itu dunia muslim terutama di Timur Tengah marah atas dimuatnya karikatur Nabi Muhammad di koran Jylland Posten Denmark. Resistensi masyarakat muslim atas Denmark kemudian berujung pada boikot produk-produk asal Denmark. Arla Foods, konon, membukukan kerugian total sebesar 65 juta Dollar akibat boikot tersebut, padahal sebelumnya kawasan Timur Tengah merupakan pangsa-pasar terbesar Arla Foods.

Ketiga kasus tersebut semakin memperjelas bahwa efek dari reaksi kultural masyarakat sangatlah signifikan bagi eksistensi suatu produk ataupun perusahaan. Saya pribadi berpandangan bahwa hal ini terjadi sebagai akibat pergeseran pola konsumsi masyarakat. Sadar atau tidak, sebagai akibat melimpah-ruahnya informasi, konsumen semakin “berpengetahuan” dalam mengkonsumsi barang. Karenanya, pola konsumsi masyarakat bukan lagi urusan “perut” semata tapi bergeser pada aspek-aspek kultural, lingkungan bahkan politik dari produk tersebut.

Kini, konsumen akan lebih aware terhadap asal-muasal produk tersebut. Apakah produk ini dibuat dari bahan-bahan yang merusak lingkungan? Apakah produk ini berasal dari negeri yang rasis? Jika benar, tentu konsumen akan mengalihkan pilihannya ke produk-produk lain yang lebih menghargai sisi humanis masyarakat.

Kenyataan ini tentu kita harapkan juga merembes ke benak kita masyarakat Indonesia. Di tengah bayangan gempuran produk Cina sebagai ekses ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), masyarakat diharapkan lebih aware dengan country-of-origin dari suatu produk. Dengan mandulnya pemerintah dalam melakukan negosiasi ulang mengenai ACFTA ini, maka masyarakatlah yang menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan produk-produk dalam negeri.

Inilah saatnya bagi kita para konsumen untuk bahu-membahu menyelamatkan produk-produk dalam negeri dengan jalan memprioritaskan konsumsi produk-produk asli Indonesia. Namun, jika kemudian Anda mengeluh, habisnya gw gak ada pilihan lain, produk Cina lebih murah, berkualitas dan beragam, gimana coba? Mungkin, untuk kasus ini, pemerintah yang mesti menjawabnya.

Photo by ~alyhazzaa

Read more

Meraih Kemenangan Sesungguhnya

,
Prita Mulyasari akhirnya tetap dinyatakan kalah oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Ibu yang malang ini divonis melakukan pencemaran nama baik atas email berisi keluhan pelayanan RS OMNI Internasional yang dikirimkan kepada teman-temannya. Dia diharuskan membayar denda sebesar 204 juta rupiah kepada RS OMNI.
 
Para pengguna internet (netter) merespon ini dengan meluncurkan gerakan “Koin Peduli Prita”. Gerakan ini berusaha mengajak masyarakat khususnya para pengguna internet untuk mengumpulkan dan menyumbangkan recehan untuk membantu Prita dalam membayar dendanya. Gerakan ini sudah mulai dikomunikasikan di beberapa situs jejaring sosial seperti Twitter dan di beberapa media massa.
 
Gerakan ini pada dasarnya merupakan bentuk perjuangan untuk menciptakan kehidupan yang horisontal. Menurut Hermawan Kartajaya dalam artikel New Wave-nya berjudul Horisontalisasi Pemasaran, saat ini bukan saatnya lagi perusahaan menempatkan konsumen sebagai sub-ordinat dalam kesehariannya. Menurutnya, sekarang ini para marketer semestinya membaur dengan konsumen sehingga memberikan simbiosis mutualisme di antara keduanya.

 
Kondisi itulah yang tidak dilakukan oleh OMNI Internasional. Rumah sakit ini justru dengan pongah merespon keluhan (feedback) dari pasiennya (Prita) dengan tindakan represif. OMNI menuntut Prita secara hukum, yang kemudian membuat Prita harus membayar denda sebesar 240 juta rupiah.

Pada konteks ini, OMNI memang menang secara hukum. Namun, pada dasarnya mereka justru berada di pihak yang sangat dirugikan. Generasi digital di negeri ini telah lama menggalang opini publik yang menyerang OMNI. Banyak gerakan di Facebook, Twitter, dan blog-blog sosial yang mengkritik tindakan OMNI. Situasi ini berlanjut hingga kini dengan munculnya “Koin Peduli Prita” tersebut.
 
Situasi ini kemudian menciptakan negative word of mouth (WOM) tentang OMNI. Publik telah mengasosiasikan OMNI sebagai rumah sakit berpelayanan buruk, apapun alasannya. Masyarakat sudah tidak percaya lagi pada OMNI. Dan bukan tidak mungkin dari situasi ini pula OMNI akan semakin ditinggalkan masyarakat.
 
Apa yang dialami OMNI memberikan hikmah kepada kita. Bagi perusahaan yang hidup di lingkungan New Wave, OMNI semestinya menjalin dialog dengan konsumen-konsumen (pasien) aktif semacam Prita. Perusahaan mutlak mengelola feedback betapapun kerasnya dengan elegan agar tak berkembang menjadi negatif WOM. 

Selain itu, konsumen pun mesti diajak untuk berkontribusi dalam aktivitas perusahaan, sehingga lambat laun mereka akan bertransformasi menjadi advocate yang membantu komunikasi perusahaan. Karena dengan inilah, perusahaan akan mendapatkan kemenangan sesungguhnya: mendekam elegan di benak sumringah masyarakat.



Photo by cyber91 @ Flickr



Read more

Benarkah Harapan Ada Pada Generasi Digital?

,
.....Just Want to Share with You: Ini artikel saya yang dimuat di Harian Kontan, 10 November 2009. Semoga sahabat bisa memberikan komentar....
Dalam sebulan ini, setidaknya kita dihebohkan oleh tiga video mesum amatir yang diperankan remaja di beberapa daerah. Di Banyuwangi muncul video berlabel “anak kost” yang diduga diperankan oleh sepasang remaja SMP. Tak lama berselang, di Nganjuk dan Surabaya muncul video bergenre serupa yang juga pemerannya diduga masih berusia sekolah dan mahasiswa.

Peristiwa ini memang kalah mentereng oleh kedigdayaan drama “cicak versus buaya”. Tapi, bukan berarti isu ini tak kalah penting dibandingkan perseteruan KPK-Polri. Hadirnya tiga video mesum ini jelas menjadi ironi dalam momentum kebangsaan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan.

Kita tahu, selepas pertengahan 1990an, internet dan telepon genggam mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini kemudian melahirkan generasi baru yang lazim disebut generasi 2.0. atau generasi digital. Punggawa generasi ini jelas memiliki laku kehidupan berbeda dengan generasi sebelumnya, ditandai dengan begitu intensnya mereka bergumul dengan internet.

Dengan seremoni dua hari besar ini, masyarakat menaruh harapan besar di pundak generasi digital, untuk merevitalisasi perannya sesuai kemajuan teknologi. Mereka inilah yang kelak menjadi tombak perubahan sosial bangsa agar menjadi pemenang dalam dunia yang borderless akibat digitalisasi informasi. Sayangnya, harapan kerumunan bangsa ini sedikit terganjal. Kembali maraknya video-video mesum amatir di pelbagai daerah sedikit banyak melahirkan riak-riak kecemasan dalam benak bangsa ini. Mestikah kita menaruh harapan pada generasi yang justru menjadi devian-devian teknologi?


Potensi penyimpangan teknologi semacam ini sudah lama diendus para pakar internet & society di dunia. M. Gigi Durham dalam studinya bertajuk Lolita Effect menyatakan bahwa internet dapat merangsang para remaja untuk melabrak batas-batas privasinya. Dengan tegas Durham menyatakan, “It is pretty routine these days for girls to post provocative pictures of themselves online”. Hal ini terjadi guna memantik popularitas dirinya, yang akhirnya membikin mereka seolah-olah tak punya rasa malu (shameless).

Don Tapscot dalam Grown Up Digital berpandangan terbalik dengan Durham. Menurutnya, masalah privasi memang terkadang mengemuka, tapi generasi digital justru menjadi avant garde dalam memecahkan persoalan masyarakat. Generasi ini merupakan generasi paling community-based oriented, yang tak lekas menjadi makhluk introvert.

Di negeri ini banyak generasi digital yang mampu berkreasi dalam aras positif. Itu ditandai dengan bermunculannya technopreneur-technopreneur muda yang menkonversi teknologi menjadi ladang pekerjaan baru. Atau bergiatnya generasi muda sebagai garda kekuatan massa (people power) melalui aktivisme blogging.

Bobroknya Pemahaman

Sayangnya, kreasi itu berjalan beriringan oleh “kreasi” dari kutub lain. Pada sekitar 2004, Indonesia dibanjiri oleh arus video-video mesum amatir yang sebagian besar dibuat generasi muda. Hingga hal tersebut melahirkan gerakan “Jangan Bugil di Depan Kamera”. Di tangan mereka, internet dan telepon genggam menjadi senjata untuk menyalurkan eksistensi negatif demi meraih pseudo-popularitas dirinya. Sejak itu, ratusan video porno amatir datang silih berganti dan bertahan hingga kini. Akibatnya Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup intens menghasilkan video porno amatir.

Ragam deviasi teknologi yang dilakukan generasi digital ini menjadi kulminasi atas bobroknya pemahaman massa atas kemajuan teknologi. Internet yang bergerak tunggang-langgang telah melahirkan pilihan berkelimpahan (abundant choices), mulai dari yang pilihan positif hingga berujung pada titik ekstrem.

Bagi generasi muda di Indonesia, pilihan yang berkelimpahan ini justru membikin mereka bingung. Mereka masih tergagap untuk dapat mengekploitasi teknologi sesuai dengan ragam selera, dan bakatnya. Akibatnya, mereka cenderung berpikir instan dengan menggali eksistensinya dalam ragam video porno amatir, guna menggapai popularitas instan yang cepat menukik kembali.

Padahal, jika lebih jeli, pilihan yang lebih bijak untuk mengail popularias terbentang tak terkira. Andrew Darwis misalnya, ia dengan jeli membangun dan mengelola situs komunitas, Kaskus.us. Situs komunitas yang genap berusia 10 tahun pada 6 November ini, telah menjadi fenomena dalam laku kehidupan digital tanah air.

Kaskus menjadi forum yang sangat bermanfaat mulai dari diskusi sosial-politik, edukasi ataupun sekadar bergosip tentang hal yang remeh temeh. Selain itu, melalui Forum Jual Beli (FJB), Kaskus banyak membantu para produsen kecil dalam memasarkan produk-produknya hingga bisa sampai ke tangan konsumen. Kini, situs bikinan anak negeri ini telah menjadi salah satu komunitas paling aktif di dunia.

Karenanya, kini, menjadi saat yang tepat bagi generasi digital negeri ini untuk mengubah pilihanya ke arah yang lebih kontributif. Kecuali jika kita rela hanya duduk sebagai penonton, sementara di belahan dunia lain, mereka berlarian.

Credit photo by sortofbutnotreally on Flickr
Read more

“Facebook” untuk Marketing

,

Judul : F-Marketing: Optimalkan Personal Image & Product Branding Anda.
Penulis : Pitra Satvika
Penerbit : Pustaka Bina Swadaya
Tebal : 111 halaman
Tahun : I, Mei 2009.
Harga : Rp22.000,-
Semenjak kehadirannya pada 2004, Facebook telah membikin wajah dunia menjadi lebih sumringah. Banyak orang yang dibuat penasaran dan akhirnya tak kuasa menghambakan dirinya untuk dijajah sensasi ber-Facebook-an. Kita seperti dibuat girang menikmati pelbagai fitur dan aplikasi yang ditawarkan situs bikinan Mark Zuckerberg ini.   Jika kita telusuri, fenomena itu tidaklah hadir tanpa alasan yang jelas. Facebook mampu menawarkan fitur dan aplikasi yang terbilang lengkap. Hampir semua aplikasi dan fitur-fitur facebook boleh dikatakan dapat mengakomodasi kebutuhan manusia saat ini, mulai dari kebutuhan akan eksistensi nan narsistik, hiburan, hingga aktivitas bisnis.
Di tengah hiruk-pikuknya libido masyarakat dalam menulis dan mengulas Facebook, Pitra Satvika—melalui buku berjudul F-Marketing membahas pemanfaatan Facebook untuk dunia pemasaran. Buku ini menjelaskan pemanfaatan fitur-fitur dan aplikasi Facebook guna kepentingan personal branding dan aktivitas marketing sebuah merek ataupun gerakan sosial.

Sebenarnya, pemanfaatan Facebook untuk marketing telah menjadi subtren tersendiri dalam dunia pemasaran kontemporer. Seiring tumbuh-berkembangnya media-media jejaring sosial macam Facebook, Twitter, dan MySpace, dunia pemasaran ketimpa berkah akan perubahan radikal dalam penerapan strateginya. Tren ini telah mengubah wajah pemasaran menjadi lebih egaliter dan horizontal. Dengan ini, konsumen bukan lagi sub-ordinat yang mesti dicekoki oleh program marketing perusahaan secara vertikal. Tapi yang mesti terjadi, para marketer mesti duduk bersama, menjalin komunikasi dua arah dengan konsumen dalam rangka memasarkan produknya.

Keniscayaan ini telah membuat banyak perusahaan untuk terjun menyelami jejaring sosial ini. Buku ini menceritakan kisah sukses beberapa brand besar macam Coca-Cola dan Toyota Yaris yang berhasil memanfaatkan Facebook untuk aktivitas marketingnya.

Brand-brand tersebut telah mampu menciptakan keintiman yang berharga dengan para konsumennya. Dengan ini, Coca Cola dan Yaris meraih benefit berharga terutama dalam usaha memelihara loyalitas para pelanggannya.

Sayangnya, di balik kisah-kisah itu, buku ini lupa dalam membeberkan kisah-kisah industri kreatif yang sukses dengan memanfaatkan facebook. Padahal, pada kenyataannya, cukup banyak pelaku industri kreatif di negeri ini yang menjadikan facebook sebagai ujung tombak pemasaran produk-produknya.

Menurut saya, hal ini cukup penting diangkat mengingat pemerintah sedang giat-giatnya menggarap pertumbuhan industri kreatif. Terlepas dari hal tersebut, saya rasa buku ini layak diapresiasi karena telah berikhtiar untuk mengabarkan sensasi lain dari Facebook yang selama ini kita maknai hanya sebatas “tubuh” tempat menyalurkan narsisme belaka.


Resensi ini telah dimuat di Koran Jakarta, 21 Agustus 2009 
Read more

Jangan Membuat Kami lebih Kecewa

,
Bom yang kembali mengguncang kota Jakarta pada hari Jumat pekan lalu (17 Juli 2009) cukup banyak memberikan dampak yang negatif bagi Indonesia, tidak terkecuali pada sektor ekonomi beserta perangkat-perangkat pendukungnya, pemasaran misalnya. Hal yang paling santer terlihat dalam hal ini adalah dengan meruginya sejumlah pihak atas batalnya kehadiran salah satu tim sepakbola papan atas dunia,”The Red Devil” Manchester United. Kerugian yang ditimbulkan pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp. 50 Milyar lebih sebagaimana yang disampaikan oleh PSSI. Kerugian yang diderita tidak hanya ditanggung oleh pihak panitia pelaksana saja selaku pihak penyelenggara utama, pihak ketiga (sponsor, agen tiket, hotel, dan lainnya) yang mendukung terwujudnya pertandingan tersebut pun juga tak luput dari kerugian. Kedatangan MU memang telah dijadikan oleh sebagian pihak sebagai momentum berharga yang dipandang paling tepat untuk memajukan usaha bisnis mereka, termasuk dengan cara memasarkan produk-produk mereka dengan menggunakan MU sebagai atribut pemasarannya. Namun apa mau dikata, bom yang kembali menghajar kawasan Kuningan tersebut terpaksa membuat mereka menderita kerugian yang besar sehingga pada akhirnya malah hanya menyisakan problematika yang rumit, pengembalian tiket pada konsumen misalnya.

Seperti yang sudah kita ketahui jauh-jauh hari sebelumnya, penjualan tiket pertandingan MU vs Indonesia All Star memang cukup rumit. Cukup banyak pihak-pihak yang campur tangan dalam proses ini sehingga apabila pada akhirnya kejadian force majeur seperti pengeboman ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan bahwa proses pengembalian tiket pun akan rumit pula. Mulai dari pemesanan tiket dengan booking fee yang cukup besar, pembelian tiket melalui salah satu operator seluler, hingga melalui pemesanan online kepada “pihak” tertentu yang pada akhirnya—disadari atau tidak—cukup merugikan konsumen. Meskipun harus melalui cara yang berbelit-belit dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetap saja banyak konsumen yang rela untuk melakukannya. Dalam teori perilaku konsumen yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, dikatakan bahwa kebanyakan dorongan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan (membeli) sesuatu dilakukan tanpa disadari sepenuhnya oleh orang tersebut.

Rasionalitas dalam melakukan pembelian terhadap suatu produk (baik barang atau jasa) justru lebih lemah apabila dibandingkan dengan aspek emosionalitas si konsumen. Lemahnya aspek rasionalitas ini dapat sangat terasa pada segmen konsumen tertentu di masyarakat, penggila sepakbola misalnya. Mereka yang sudah sangat tergila-gila pada tim kesayangannya tidak akan berpikir panjang lagi untuk dapat memperoleh selembar tiket pertandingan bola tim kesayangannya. Keinginan yang menggebu-gebu inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka tak peduli dengan cara bagaimana, berapa besar biaya, atau kepada siapa mereka dapat memperoleh tiket tersebut. Ironisnya, hal ini justru dijadikan oleh sebagian pihak sebagai peluang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tidak salah memang memanfaatkan aspek psikologis manusia sebagai salah satu basis strategi dalam melakukan penjualan. Dalam dunia pemasaran sendiri pun perilaku konsumen dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penciptaan marketing plan yang sempurna. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan perilaku konsumen dalam marketing plan. Para pengusaha, produsen barang/jasa mesti menyadari betul bahwa semakin besar mereka memanfaatkan perilaku para konsumennya, maka akan semakin besar pula feedback yang harus mereka berikan kepada para konsumen yang telah mereka “manfaatkan” tersebut. Sekali saja para konsumen merasa dikecewakan, maka akan sulit untuk membuat mereka seperti sediakala, belum lagi dengan adanya Word of Mouth negatif yang akan mereka sebarkan.

Setelah terjadinya tragedi bom beberapa waktu lalu yang menyebabkan banyak para fans sepakbola Indonesia kecewa berat karena gagalnya kedatangan tim MU, maka jangan sampai para fans yang notabene merupakan konsumen tersebut lebih dikecewakan lagi dengan segala macam alasan dan tindakan terkait dengan proses refund uang mereka. Di sinilah peranan perusahaan sebagai pengayom konsumen akan sangat terlihat. Komunikasi yang interaktif dan secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak terkait refund dapat saja menjadi elixir bagi para fans sepakbola yang sudah mengeluarkan segala jerih payahnya demi menyambut hari yang mereka nantikan. Semoga.


Read more

Me-layar lebarkan Iklan Politik

,

Beberapa hari lalu, saya mengunjungi bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Jakarta selatan. Ketika film hendak dimulai, alangkah terperanjatnya saya begitu melihat iklan salah satu kandidat Capres yang diputar menjelang dimulainya film. Awalnya, saya pikir itu adalah salah satu trailer film yang akan hadir (coming soon) sebagaimana biasanya. Namun ternyata setelah hampir durasi 3 menit-an, saya baru menyadari bahwa itu sebenarnya adalah iklan politik salah seorang Capres. Keterkejutan saya ini tentu saja beralasan, terlebih materi iklan tersebut yang lain daripada yang lain. Formatnya sengaja dibuat atau disesuaikan dengan layar lebar, begitu pula dengan materi iklan yang seperti film yang sudah terskenario dengan baik. Tidak sedikit penonton yang kemudian terkejut, kagum, atau bahkan sekadar bersiul ringan setelah melihat iklan politik —yang menurut saya paling lama—dengan durasi kurang lebih 8 menit tersebut. Melihat antusiasme para penonton bioskop tersebut saya kemudian berpikir mengapa iklan politik, yang biasanya diacuhkan oleh para penonton, dapat menjadi suatu hal yang memikat, terlepas dari apakah para penontonnya kemudian berminat untuk memilih calon tersebut atau tidak. Maka saya pun tergerak untuk sekadar menggoreskan isi pemikiran saya mengenai hal tersebut dalam tulisan yang singkat ini.

Iklan politik, layaknya iklan-iklan lain pada umumnya juga mempunyai tujuan yang hampir sama, salah satunya yaitu untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai produk yang ditawarkan. Begitu pun dengan iklan politik, yang membedakannya hanyalah “produk” yang diiklankan dan juga waktu penayangan iklan tersebut (biasanya hanya pada musim kampanye). Produk politik tentu saja berbeda treatment-nya dengan produk non politik yang cenderung komersial dan berorientasi profit. Menurut Niffegger (1989) produk politik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) party platform, (2 post record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), (3) karakteristik pribadi. Terkait dengan musim kampanye capres saat ini, maka setidaknya kita dapat memasukkan pada dua kategori di atas, yaitu post record dan karakteristik pribadi, platform partai juga mempunyai pengaruh namun tak sesignifikan Pemilu Legislatif sebelumnya. Selebihnya sudah dapat kita tebak, iklan yang merupakan salah satu ujung tombak marketing plan akan diisi oleh dua kategori tersebut, yaitu tentang karakteristik pribadi calon atau tentang hal-hal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh sang calon. Maka tak heran apabila iklan-iklan politik saat ini kebanyakan mempunyai content yang hampir sama.

Iklan sebagai media transfer politik juga harus dikemas sedemikian rupa agar mampu untuk menarik atensi khalayak umum dan secara bersamaan mampu melakukan transfer nilai dan pesan politik kandidat kepada mereka. “Pengemasan” iklan inilah yang kemudian dapat sangat menentukan keberhasilan suatu iklan ketika sudah dirilis di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam musim kampanye akhir seperti ini, rakyat sudah mampu untuk menangkap atribut nilai politik yang ditawarkan oleh para kandidat. Mulai dari “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi kemandirian”, “program yang berkelanjutan”, dan lainnya sudah sangat melekat di diri masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Oleh karena itu, tak heran apabila kemudian kreatifitas lah yang akan sangat menentukan keberhasilan pertarungan iklan, karena atribut-atribut program kerja pasangan sudah melekat di masyarakat. Dalam fase inilah maka pertarungan iklan sudah tak lagi pada tahapan “perang program”, namun lebih kepada perang kreatifitas di mana program-program dan citra para kandidat dapat diwujudkan dalam bentuk iklan.

Kembali ke masalah di awal tadi, iklan yang baik harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan juga tipikal khalayak yang dituju. Penayangan iklan di televisi, media cetak atau bahkan layar lebar tentu saja mesti berbeda antara satu dengan yang lainnya karena target konsumen yang dituju pun akan sangat berbeda. Para penonton televisi tentu saja berbeda tipikalnya dengan penonton bioskop yang notabene-nya sudah membayar sejumlah biaya untuk melihat sesuatu yang lebih “bernilai” ketimbang di televisi. Kesesuaian iklan dengan media yang dipilih inilah yang dapat menjadi titik kulminasi kreatifitas para marketer dan pengiklan dalam menawarkan produk-produknya, termasuk juga kandidat Capres-Cawapres yang merupakan produk politik. Terlepas dari itu semua, pemasaran produk politik (termasuk juga iklan politik) memang lebih sulit untuk di analisis jika dibandingkan dengan produk konvensional, karena kecenderungan emosional produk politik jauh lebih besar ketimbang produk konvensional yang masih rasional.




Sumber Gambar: inilah.com
Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger