Brand Sluts vs Brand Evangelist

,
Seringkali kita dihadapkan pada permasalahan dimana suatu merek yang kita sukai atau bahkan yang di”puja” ternyata bukan hanya satu saja, dapat dua, tiga, dan seterusnya. Nah, fenomena inilah yang kadangkala diistilahkan dengan sebutan Brand Sluts. Dilihat dari maknanya secara eksplisit, mungkin yang pertama kali akan terbesit dalam benak kita adalah “wah, vulgar sekali”, “kasar artinya”, “tak sopan”, dan kata-kata semacamnya. Namun itulah marketing, fenomenal, dan kadangkala, kontroversial, sehingga membuatnya menarik untuk selalu disimak.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, istilah Brand Sluts mengacu pada loyalitas konsumen yang sering berpindah-pindah, tak hanya pada satu merek saja. Sedangkan lawannya adalah Brand Evangelist, yang dapat diartikan sebagai loyalitas konsumen yang terbangun hanya pada suatu merek tertentu saja. Sebenarnya, fenomena Brand Sluts ini bukanlah barang baru dalam dunia marketing, khususnya dalam hal Customer Loyality. Dalam bukunya, Marketing Management, Kotler telah membuat tingkatan-tingkatan dalam loyalitas konsumen. Nah, salah satu tingkatannya ada yang bernama Shifting Loyals atau konsumen yang berpindah loyalitas dari satu merek ke merek yang lainnya dan hal ini dapat disamakan dengan Brand Sluts. Sedangkan untuk Brand Evangelist dapat disamakan dengan Hard-core Loyals, atau konsumen yang loyal hanya pada satu merek tertentu saja. Jadi, istilah Brand Slut atau Brand Evangelist hanyalah sekadar sebutan “gaul” dari istilah-istilah yang telah ada dan dikenal sebelumnya.

Permasalahannya sekarang bukan terletak dari apa atau istilah mana yang lebih enak dipakai untuk merujuk kadar kesetiaan konsumen tersebut, namun lebih kepada kecenderungan konsumen saat ini, apakah lebih banyak yang mengarah ke brand sluts atau evangelist. Perusahaan jelas menginginkan konsumen untuk diarahkan menjadi brand evangelist, namun apakah konsumen juga berpikir begitu?! Ketika konsumen menjadi seorang brand evangelist, maka ia akan merasa memiliki bagian (ownership) dari merek tersebut. simak saja artikel dari Marketing Prof. berikut ini:

“Just as sports teams have fans, brands have evangelists. And just as each fan feels a sense of ownership in the team, a brand evangelist has that same sense of ownership in the brand. That sense of ownership gives brand evangelists a powerful incentive to see the brand succeed.”

Salah satu keuntungan ketika perusahaan memiliki Brand evangelist atau hardcore Loyals adalah, perusahaan akan mampu untuk menganalisis sejauh mana kekuatan produknya dalam menghadapi pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan permasalahan di mana slut ternyata lebih banyak ketimbang evangelist, maka suatu perusahaan akan dipaksa untuk membangun strategi baru guna mempertahankan atau menambah konsumen dari mereknya. Bahkan, kecenderungannya sekarang dengan semakin banyaknya pesaing dan konsumen dihadapkan pada beragamnya pilihan, maka brand evangelist makin terdengar seperti utopia belaka yang mustahil untuk dicapai. Lantas, apakah yang harus diperbuat oleh perusahaan jika sudah begini?!
Meskipun begitu, evangelist bukanlah suatu hal yang benar-benar punah eksistensinya saat ini. Brand evangelist masih ada dan bercokol, khususnya pada produk-produk “premium”. Konsumen-konsumen produk premium memiliki kecenderungan untuk keukeuh dengan produk tersebut karena selain mereka tak memiliki sensitivitas akan harga (harga berapapun akan tetap dibeli), biasanya produk-produk tersebut memang sangat jarang tersedia dan langka di pasaran. Hal inilah yang kemudian membuat brand slut biasanya lebih sering “berkeliaran” pada produk-produk yang diproduksi secara massal dan mudah ditemukan di pasaran.

Source Pic: GoogleImages
Read more

Berinvestasi dengan Brand Accretion

,


Pemasaran, dalam suatu kerangka bisnis perusahaan memang menelan biaya yang cukup besar. Namun jangan sampai menganggap bahwa pemasaran adalah suatu beban bagi perusahaan, justru sebaliknya, ia adalah investasi. Dalam berinvestasi, investor mengalokasikan sejumlah besar dana pada suatu hal dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak di masa mendatang dari apa yang ia telah berikan saat ini, dan begitu pun halnya dengan investasi di bidang pemasaran. Di tengah krisis yang sedang dahsyat-dahsyatnya menerpa dunia bisnis saat ini, perusahaan akan cenderung menekan sejumlah biaya dalam rangka efisiensi, termasuk di dalamnya adalah pemotongan anggaran untuk pemasaran.

Namun, di sinilah letak kesalahan yang cukup fatal bagi perusahaan-perusahaan yang menganggap bahwa pemasaran adalah beban, bukannya investasi. Beban (biaya/cost) jelas berbeda dengan investasi. Apabila kita mengalokasikan biaya untuk membeli sejumlah peralatan, mobil, mesin, lisensi, dan lainnya maka nilainya akan berkurang seiring berjalannya waktu, berbeda dengan investasi yang justru bertambah nilainya. Investasi yang dilakukan dalam pemasaran pun sama, akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya adalah tinggal bagaimana caranya suatu perusahaan menginvestasikan sejumlah uangnya pada pemasaran. Ada banyak cara yang dapat dilakukan dan salah satunya adalah dengan Brand Accretion.

Accretion, menurut Oxford Dictionary adalah growth or increase by accumulation, addition, or organic enlargement. Mudahnya, brand accretion dapat dipahami sebagai suatu proses pembangunan brand secara kontinyu dengan selalu melakukan penambahan/inovasi. Brand accretion bukanlah hal yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan kemudian dapat dirasakan hasilnya dengan cepat pula. Lamanya waktu yang dibutuhkan dalam menikmati hasilnya membuat perusahaan enggan untuk berinvestasi dalam hal ini. Bahkan, menurut hasil studi CoreBrand—salah satu perusahaan yang bergerak dalam branding—, sedikitnya dibutuhkan waktu tiga tahun untuk dapat merasakan hasil dari sebuah proyek Brand accretion, cukup lama bukan??!. Itu adalah waktu yang dibutuhkan apabila benar-benar dilakukan dari nol, tapi jika usaha yang dilakukan berkesinambungan, maka hasil pun akan terlihat.

Lamanya waktu yang dibutuhkan memang menjadi penghalang, namun jika melihat hasil yang dicapai, jelas menggiurkan. Sebagai contoh kita dapat melihat apa yang dilakukan oleh Anheur Busch (Budweiser) ketika menjelang ajang olahraga terbesar di Amerika, Superbowl. Mereka membuat dan menampilkan lusinan—bahkan lebih— iklan secara simultan hanya untuk mengetahui iklan mana yang paling baik untuk ditayangkan pada Superbowl. Meskipun pada akhirnya hanya enam iklan yang masuk, pihak Budweiser tidak menganggapnya biaya, namun justru sebagai investasi untuk mendapatkan yang terbaik dan terbukti berhasil.

Jadi, memang sudah saatnya untuk mengubah paradigma mengenai pemasaran hanyalah sebagai beban belaka. Ia akan memberikan imbal hasil yang memuaskan dan bahkan lebih apabila dilakukan dengan benar dan efektif. “Marketing is an investment, not an expense”.

Source Pic: GoogleImages
Read more

Twitter dan Pesona “Hantu”

,
 

Akhir-akhir ini, saya memang kesengsem berat sama
Twitter. Ditengah pertumbuhan Facebook yang begitu gilang-gemilang, Twitter justru menghadirkan sensasi lain terutama dalam perspektif marketing. Setelah posting saya terdahulu yang bercerita bagaimana Twitter mampu menjadi alat yang merevolusi sistem promosi suatu produk. Kini saya ingin bercerita bagaimana Twitter menghadirkan peluang bisnis yang unik dari barisan 140 karakter huruf tersebut.

Kamis, 26 Maret kemarin, New York Times memuat artikel yang ditulis Noam Cohen, berjudul “When Stars Twitter, a Ghost May be Lurking”. Artikel itu menarik, karena menceritakan penggunaan jasa Ghost Twitter oleh para artis Amerika seperti Britney Spears dan 50’Cents untuk mengelola page Twitternya. Jadi, jika anda Twitter sejati, mestilah sadar ketika menjadi follower bintang top dunia bahwa apa yang Anda ikuti bukanlah Twit langsung dari bintang bersangkutan, tapi oleh orang lain yang ditugasi untuk mengelolanya.

Ghost Twitter merupakan simpangan dari Ghost Writer (GW). GW, kini, bisa jadi telah menjadi industri baru yang patut diperhitungkan. Banyak mantan peneliti, akademisi, wartawan hingga mahasiswa bergerak dalam industri ini. GW sebenarnya berangkat dari penyediaan jasa untuk menuliskan pidato, artikel, bahkan buku.

Mungkin Anda berpikir bahwa industri ini kurang etis karena berperan seperti joki. Tapi, sebenarnya industri ini sah-sah saja karena GW hanya berperan dalam membantu menuliskan ide dari si Author. Jadi, jika Anda punya ide untuk menulis naskah pidato, artikel atau buku tapi sulit untuk menuangkannya, maka Anda dapat menggunakan jasa GW untuk menuangkan ide Anda tersebut. Nah, hasil tulisan tersebut tetap menjadi milik Anda dan berhak ditempeli nama Anda. Makanya profesi ini disebut penulis hantu, karena ia menyelinap di balik ide si author.

Hadirnya Twitter memberikan sensasi lain pada industri GW tersebut. Aktivitas Twitting yang mesti intensif ternyata telah membuat para bintang top dunia menggunakan jasa orang lain untuk mengelolanya. Dari hal ini, muncullah apa yang disebut Ghost Twitter (GT) tadi. Tak berbeda jauh dari GW, GT pun menyelinap di balik nama si pengguna jasanya. Ia ber-Twitting dengan menggunakan nama artis-artis tersebut. Tentu saja, apa yang ditulis oleh GT mesti diberikan arahannya oleh para bintang top tersebut.

Inilah pesona lain dari Twitter: memunculkan peluang untuk terbitnya pesona baru yaitu Ghost Twitter. Bagi kita marketing’s addicted, gejala ini mesti menjadi pembelajaran untuk aware atas apa yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Dari situs yang “hanya” menyodorkan 140 karakter huruf tersebut justru terbit berbagai macam pesona yang dapat meningkatkan harkat hidup orang banyak (hehe).

Ada industri yang muncul karena adanya Twitter. Hadir pula sistem pemasaran produk yang lebih efektif karena adanya Twitter. Karenanya, sebagai marketing’s addicted mesti mengerahkan panca inderanya untuk menelisik pesona dibalik hadirnya something. Siapa tahu kita dapat memunculkan pesona baru, laiknya Ghost Twitter dari something tersebut.

Source Picts: Flickr, BigHugeLabs
Read more

Cybersquatting: "Brandjacking" dalam dunia maya

,


Jikalau ada dua perusahaan dengan core business yang berbeda namun mempunyai permasalahan yang serupa, mungkin kita dapat menyebutkan Microsoft dan WWE (World Wrestling Entertainment). Microsoft bergerak dalam bisnis pembuatan dan pengembangan piranti lunak (Wndows, Office, dan lainnya), sedangkan WWE bergerak dalam industri hiburan bergenre sportainment (RAW, Smackdown). Kedua perusahaan tersebut tercatat dalam 100 Top Brands versi BusinessWeek.com sebagai salah satu perusahaan dengan brand yang sudah wellknown di pasar, baik lokal ataupun internasional. Namun, dua perusahaan ini ternyata memiliki permasalahan dalam hal brandjacking, khususnya melalui dunia maya. Lalu, apakah brandjacking itu sebenarnya dan seperti apa bentuknya?! Hal inilah yang akan saya coba terangkan secara singkat pada tulisan ini.

Brandjacking, atau yang dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan istilah pembajakan merek, memang menjadi isu yang sangat santer terdengar dalam dunia marketing dewasa ini, khususnya setelah dunia memasuki fase internet. Bahkan, sebuah studi yang dilakukan oleh MarkMonitor— lembaga riset independen yang menangani permerekan di internet— terhadap 25 perusahaan dengan merek-merek terkenal seperti Google, Microsoft, Disney, Citibank, Dell, Coca Cola dan lainnya menyeutkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terancam brand image-nya dengan adanya brandjacking ini. (lebih jelasnya lihat 100 Top Brands 2008 BusinessWeek.com).

Bentuk-bentuk dari brandjacking pun bermacam-macam, namun yang saat ini paling sering merugikan dan merusak citra dari sebuah merek besar adalah dengan cybersquatting. Cybersquatting didefinisikan oleh BusinessWeek sebagai “the unauthorized use of a trademarked name or phrase in a Web domain pointing to a Web site that isn't owned by the trademark holder”. Adanya cybersquatting ini memang baru terjadi dewasa ini saja atau lebih tepatnya ketika e-business mulai muncul dan berkembang. Namun kerugian yang ditimbulkannya terhadap brand equity suatu merk tidak tanggung-tanggung. Salah satu perusahaan yang paling dirugikan dari tindakan ini adalah Microsoft. Pada tahun 2007 saja, ditemukan tidak kurang dari 6000 domain yang melakukan tindakan ini terhadap Microsoft dan diperkirakan akan terus bertambah. Domain-domain seperti 1microsoft87.info atau freehotmail.net meraup untung dari cybersquatting ini dengan banyaknya visitor yang mengunjungi mereka. Entah disadari atau tidak, tindakan mereka ini justu menjatuhkan citra dari Microsoft sebagai pemegang merek Microsoft atau hotmail. Bayangkan saja, bagaimana jadinya image Microsoft sebagai perusahaan software terbaik apabila ternyata mereka memperlihatkan content “murahan” dalam situsnya, pasti akan rusak bukan?!

Cybersquatting ini pun terus dilakukan proses penghentiannya oleh perusahaan-perusahaan yang merasa dirugikan olehnya. Berbagai macam cara pun sudah dilakukan, seperti proses hukum, pemblokiran, dan penghapusan dari search engine, namun tetap saja cybersquatting masih ada. Situs-situs yang terindikasi melakukan cybersquate memang telah dihapus, namun tindakan cybersquatting itu sendiri sulit untuk dihilangkan. Apalagi dengan adanya domain-domain gratis dan berkembangnya blog, maka akan semakin mempermudah para cybersquatter untuk melakukan tindakannya ini.

Source Pic: GoogleImages
Read more

Twitter dan Kuasa “Pemangsa”

,

Bagi sebagian orang, pada awalnya, mungkin menganggap remeh apa yang dihadirkan Twitter. Situs micro-blogging ini “hanya” menawarkan 140 karakter untuk penggunannya dalam berkabar dan berkeluh kesah atas apa yang sedang dilakukannya. Lalu, pengguna lainnya (follower) berkomentar atas apa yang kita ungkapkan. Sepele, sangat remeh-temeh bahkan.

Tapi, kini, kesederhanaan yang ditawarkan Twitter mampu menghadirkan arus “Getok Ular” (Word of Mouth) gaya baru dalam dunia pemasaran. Twitter, banyak digunakan perusahaan untuk mengiklankan produknya. Efek yang dihadirkan Twitter memang luar biasa. Interaksi antara perusahaan dan pelanggan menjadi begitu intens, cepat dan dalam artian dunia maya. Informasi, seolah telah meruntuhkan pelbagai batas: geografis, waktu, dan alur. Inilah efek domino kehadiran Web 2.0.

Fenomena ini jelas menjadikan sistem promosi produk menjadi lebih efektif ketimbang media mainstream lainnya, seperti televisi. Kita tahu iklan melalui televisi seringkali berlaku satu arah. Seluruh informasi yang diberikan perusahaan seolah-olah benar, tanpa cacat. Akibatnya, pelanggan seringkali merasa tertipu ketika sudah membeli produk tersebut. Parahnya lagi, komplain dari pelanggan sangat sulit untuk disampaikan kepada perusahaan.
Twitter, saya kira, telah berhasil mengeliminir gaps antara perusahaan dan pelanggan tersebut. Kelebihan dan kekurangan produk yang diiklankan akan cepat menjalar bak wabah demam berdarah hanya dengan sekali “getok”. Baik perusahaan maupun pelanggan mendapat manfaat dari ini. Bagi perusahaan, respon baik negatif ataupun positif dari pelanggan akan dapat terekam dengan cepat dan akurat. Sehingga, menjadi tolok-ukur dalam memperbaiki kualitas produk tersebut sembari mereduksi komplain dari pelanggan. Sementara itu, pelanggan mendapat manfaat dalam hal informasi baik kelebihan ataupun kualitas produk yang bersangkutan dari berbagai pihak, tidak hanya dari perusahaan tapi juga dari konsumen lain. Sehingga dapat meminimalisir ketidakpuasan mereka ketika membeli produk tersebut.

Fenomena Twitter ini semakin menegaskan peran signifikan dari “pemangsa” (pelanggan) produk yang dipasarkan. Perusahaan mesti aware akan signifikansi kejujuran dalam menjunjung kualitas produk kita. Karena jika perusahaan berbohong, kini, para “pemangsa” dapat menikam balik produk perusahaan dengan cepat bak kolera. Itu terjadi, salah satunya, dengan Twitter.

Sourcer Pict: Flickr
Read more

Erotica Marketing:Penggunaan unsur erotis dalam dunia pemasaran

,

           
Siapa sih yang tidak tertarik dengan wanita-wanita cantik?! apalagi bila mereka dibalut dengan busana yang sedemikian sexy dan ditambah dengan gesture yang sangat “mengundang”, orang-orang—khususnya kaum Adam, jelas akan dibuat menelan ludah karenanya. Ketertarikan terhadap wanita-wanita cantik dan sexy serta hal-hal yang berbau erotisme adalah suatu kelaziman yang memang sangat wajar adanya, bahkan di antara para wanita pun juga seperti itu.

Dalam dunia marketing sendiri, penggunaan aspek-aspek erotis dan mengundang syahwat untuk menarik minat target market bukanlah barang baru lagi. Kalau tidak percaya coba saja tengok majalah-majalah atau iklan yang menggunakan perempuan cantik dan sexy sebagai eye-catchernya, banyak sekali bukan?! Meskipun hal-hal erotik yang “disodorkan” bukanlah sebagai konten utamanya, namun tanpa disadari seringkali konsumen terjebak dan tertarik untuk membeli produk tersebut. Keampuhan sihir erotis ini memang sudah diakui, yang kemudian disadari betul oleh para marketer dari produk-produk tertentu dan kemudian memanfaatkannya sebagai salah satu pengejawantahan dari strategi pemasaran mereka. Maka kemudian lahirlah istilah erotic marketing yang mengacu pada penggunaan konten-konten erotis dalam strategi pemasaran. Secara definisi, menurut Oxford Dictionary, erotis berarti sesuatu yang menimbulkan keinginan atau kenikmatan seksual. Jadi, erotica marketing dapat diartikan sebagai penggunaan hal-hal yang dapat menimbulkan keinginan atau kenikmatan seksual bagi yang menjadi objeknya dalam memasarkan suatu produk. Tidak jelas kapan pertama kali istilah ini digunakan, namun tampaknya untuk pengapliakasiannya sendiri bahkan sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu.

Meskipun sudah diakui keampuhannya dalam menarik minat dan atensi target market, namun bukan berarti penggunaan unsur-unsur erotik dalam strategi pemasaran tak lepas dari masalah. Masalah yang terjadi biasanya disebabkan oleh adanya penolakan oleh lingkungan eksternal, baik sosial, budaya, norma, atau agama di mana strategi tersebut diaplikasikan. Buktinya, coba saja lihat kasus film ML, video klip Aura Kasih, atau pemotongan durasi iklan L-men karena kontennya yang dianggap “vulgar”. Permasalahan berikutnya adalah terkait dengan konten sexy dari erotic marketing itu sendiri. Dalam dunia erotic marketing, dikenal suatu jargon, “erotic marketing isn’t sexy, but raunchy”. Maksudnya adalah bahwa nilai yang diberikan oleh suatu konten erotis hanyalah sekadar menampilkan hal-hal yang cenderung berbau pornografi namun kurang akan imajinasi serta tidak memberikan value added apa-apa— selain memacu syahwat tentunya. Oleh karena itu, terkadang banyak produk-produk yang menampilkan hal-hal erotis yang justru melekatkan imej “murahan” terhadap produk tersebut. Sebagai contoh kita bisa melihat koran Lampu Merah dan koran-koran serta tabloid stensilan lainnya yang hanya sekadar menampilkan gambar-gambar erotik namun miskin akan nilai untuk konsumen.

Terlepas dari itu semua, erotica marketing memang merupakan salah satu khazanah kekayaan ilmu marketing yang patut untuk diperhitungkan. Selain kemampuannya yang sangat ampuh untuk menarik minat dan perhatian massa, ia juga terbukti sangat eksis dan populer di kalangan masyarakat awam, lelaki khususnya. Yah, untuk yang satu ini boleh percaya boleh tidak, namun itulah realitanya. Erotica marketing akan terus ada dan berkembang selama manusia itu sendiri masih eksis dan mempunyai ketertarikan seksual tentunya.

SOurce Pic: BusinessWeek
Read more

Zeebo, sang pioneer console game dunia ketiga

,
     
                                                      
    
Bukan rahasia lagi bahwa konsol seperti Playstation, Xbox, Sega, Nintendo dan lainnya hanya dapat dimiliki oleh para kalangan kelas atas karena selain harganya yang memang cukup mahal, kebutuhan untuk memilikinya pun cenderung dikesampingkan. Meskipun begitu, animo masyarakat khususnya anak muda untuk bermain video game tidaklah surut. Tidak percaya? Tengok saja sekitar kita dan akan ditemukan banyak rental-rental Playstation. Namun, tampaknya konsol game tak lagi akan menjadi barang yang termasuk dalam kategori tersier, alias hanya dimiliki oleh segelintir orang dengan pendapatan berlebih.


Adalah Zeebo yang akan mengubah paradigma kebanyakan masyarakat mengenai konsol game. Zeebo merupakan konsol game besutan dua perusahaan asal Brazil, Tectoy dan Qualcomm yang sudah cukup lama merancangnya agar dapat dimainkan oleh kalangan menengah ke bawah.

Dilihat dari pasar yang akan ditujunya, Zeebo memang mempunyai keunikan tersendiri. Betapa tidak? Zeebo akan dipasarkan khusus pada negara-negara yang masuk dalam kategori sedang berkembang atau negara dunia ketiga seperti Brazil, India, Cina, (Indonesia?!). Keunikan pasar inilah yang kemudian banyak membuat perusahaan-perusahaan produsen game tertarik untuk bekerjasama dan berinvestasi pada Zeebo.

Tercatat produsen-produsen game terkenal seperti Capcom, EA dan EA Sport, Namco, Sega sudah meneken kontrak untuk membuat game-game khusus untuk Zeebo.

Tak sampai di situ saja, Zeebo juga menawarkan teknologi yang cukup canggih dalam spesifikasinya. Mulai dari USB Port, hingga HSDPA 3G untuk terkoneksi dengan dunia maya, dimasukkan ke dalam konsol game ini. Untuk ketersediaan game, bukanlah masalah, game-game populer yang sudah biasa dimainkan dan tersedia untuk konsol ini di antaranya adalah FIFA 2009, Need for Speed Carbon, Prey, Crash Nitro Cart dan masih banyak lagi yang akan dikeluarkan setelah konsol ini diluncurkan secara resmi pada bulan Juli 2009 nanti, menarik bukan?!

Meskipun begitu, belum ada konfirmasi resmi dari pihak Zeebo tentang harga yang akan dibanderol untuk mendapatkan seperangkat lengkap konsol ini. Banyak yang kemudian berspekulasi bahwa harga Zeebo tak akan lebih dari $ 200 atau lebih murah ketimbang Nintendo Wii. Apabila pihak Zeebo mampu untuk menetapkan harga yang klop di hati target pasarnya, ditambah dengan pangsa pasar yang tak terjamah para pesaingnya (negara berkembang), rasa-rasanya peluang Zeebo untuk menjadi pendobrak baru atau bahkan pemimpin di industri konsol game bukanlah sekadar isapan jempol belaka. 

Source Pic: ZeeboInc
Read more

Selamat Datang, Nano!!!

,





Akhirnya, setelah mengalami penundaan selama beberapa waktu, mobil teranyar produksi Tata Motors India,Nano, diedarkan juga ke pasaran. Mobil yang diklaim sebagai mobil termurah (seharga kurang lebih Rp. 23 juta) saat ini tersebut semakin menyemarakkan persaingan dunia otomotif terkini. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah Nano mampu untuk bersaing dan memperoleh market share dengan para pesaingnya yang telah lebih dulu eksis?


Jawabannya relatif, bisa iya dan juga bisa tidak. Seperti yang sudah kita ketahui, pangsa pasar mobil murah selama ini dikuasai oleh mobil-mobil keluaran Jepang dan---baru-baru ini, Korea Selatan. Sudah lebih dari 1 dekade Jepang menjadi market leader dalam pasar mobil murah (middle low car) dunia sehingga sulit bagi negara-negara lain untuk menjadi pemimpin dalam pasar ini. Belum lagi dengan resistensi industri mobil Jepang yang terkenal sangat kebal dalam menghadapi gejolak eksternal, baik kondisi ekonomi global, selera konsumen, ataupun teknologi. Hal-hal inilah yang kemudian membuat banyak negara-negara lain menjadi “malas” untuk menjadi newcomers dalam industri mobil middle low. Kalaupun ada, kecenderungannya adalah mereka tak mampu untuk mengungguli eksistensi mobil-mobil Jepang, atau bahkan hanya sekadar menyamainya.

Munculnya Tata Motors dengan ide low price city car-nya sebenarnya bukanlah hal baru dalam industri otomotif. Sebagai contoh, kita bisa melihat Hyundai dengan Atoz-nya, Daihatsu dengan Ceria, Suzuki dengan Karimun, dan lain-lainnya. Meskipun dengan banderol harga masih jauh di atas Nano, hal itu masih wajar. Jika diperhatikan, Nano memang murah namun miskin akan fitur, tak ada AC, mesin yang hanya 623 cc, tak ada fog lamps, dan central locking. Untuk memperoleh Nano dengan fitur-fitur “lux” seperti itu, berarti konsumen mesti menambahkan sejumlah besar uang lagi. Jika diakumulasi dengan fitur-fitur yang tak ada, maka sebenarnya harga sebuah Tata Nano dengan sebuah Atoz hampir sama, yaitu sekitar Rp. 60 juta-an, dengan catatan belum ditambah Pajak dan bea-bea lainnya. Kalau sudah begitu, lantas apa bedanya Nano dengan city car lainnya?

Tapi satu hal yang mesti diperhatikan di sini adalah bahwa Nano memang menargetkan pasar yang mempunyai kecenderungan highly price sensitive, India misalnya. Pasar yang sangat sensitif akan harga cenderung menjatuhkan pilihannya pada suatu produk yang meski berfitur kurang, namun murah, dan tampaknya hal inilah yang benar-benar diperhatikan oleh Tata Motors ketika mempersiapkan proyek Tata Nano. Kriteria pasar seperti inilah yang memang belum dapat dijangkau oleh mobil-mobil Jepang ataupun Korea. Jika kita melihatnya dari kriteria pasar yang seperti ini, maka Nano akan mampu untuk bersaing, dan begitu pula sebaliknya, apabila Nano menggunakan kriteria pasar yang hampir sama dengan mobil-mobil Jepang atau Korea.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan oleh Nano adalah pesaing yang asalnya justru dari dalam negeri juga. Menurut The Economist, kerjasama yang dilakukan oleh Bajaj dengan Nissan-Renault menjadi hal yang patut untuk diwaspadai karena kabarnya mereka juga akan membidik pasar yang serupa dengan Nano. Jadi, untuk mampu bertahan dalam pasar yang telah dimasukinya, Nano mesti aware tak hanya dengan pesaing dan pasar eksternal, namun juga para pesaing dan pasar internal.

Above it all, kita memang mesti memberikan apresiasi atas usaha Tata dalam memproduksi Nano. Selamat datang, Nano!!!!


Source picts: Google Images

Read more

Marketer atau Marketeer?

,

Istilah marketer jelas-jelas familiar sekali dengan telinga kita, meskipun Anda bukanlah orang yang menggeluti dunia marketing dan sekitarnya, setidaknya sudah pernah mendengar istilah marketer. Namun marketeer (dengan double e), jelas sangat jarang. Bahkan orang yang mengaku sudah lama terjun dan bergelut dengan dunia marketing pun belum tentu pernah mendengar istilah marketeer, apalagi yang bukan orang marketing. Sekilas, term marketeer tampak seperti gabungan dari dua kata yang berbeda, marketing dengan musketeer dan memang benar begitu adanya.


Dua kata tersebut jelas mempunyai makna yang berbeda, namun justru itulah yang membuatnya menarik. Lantas, apa bedanya marketer dengan marketeer? Di sinilah kami akan coba untuk memberikan sedikit penjelasan terkait pertanyaan tersebut.

Marketer, berdasarkan free online dictionary adalah subjek (bisa individu atau kelompok) yang menjual produk barang atau jasa kepada pasar, khususnya pasar yang spesifik dan menurut American Marketing Asociations, marketer adalah individu atau kelompok yang melakukan aktivitas dan proses pembuatan, komunikasi, penyampaian dan pertukaran nilai atas barang atau jasa kepada konsumen, klien, partner, dan masyarakat secara umum.

Sedangkan marketeer, menurut Longhaus Journal adalah term paradoksial yang merujuk pada (1) profesi dari seseorang yang terikat aktivitas marketing; (2) sebagai suatu sikap yang terbentuk akibat mempunyai pengalaman berkenaan dengan aktivitas unit marketing yang buruk; (3) seseorang yang enggan menggunakan teknologi baru dalam strategi pemasaran; (4) penghargaan yang diberikan kepada suatu perusahaan dengan predikat the worst marketing effort.

Dari definisi saja mungkin kita bisa melihat apa perbedaan mendasar antara marketer dengan marketeer, yaitu keluasan ruang lingkupnya. Dapat dikatakan bahwa marketer termasuk ke dalam marketeer apabila melihat makna pertama dari marketeer. Inilah yang kemudian akhirnya banyak mengundang kontroversi terkait dengan penggunaan marketer atau marketeer.

Ada pihak yang cenderung ke marketer, namun ada juga yang bertendensi menggunakan marketeer. Bagi sebagian orang, marketeer lebih cocok untuk sebutan bagi subjek marketing karena ketegasan dan keseriusan maknanya sementara marketer hanya sebatas subjek (pelaku) saja. Meski demikian, marketer tetap lebih banyak digunakan oleh orang-orang karena lebih familiar dan secara teoretis dapat dipertanggungjawabkan, berbeda dengan marketeer yang lahir sebagai idiom. Jadi, apakah marketer atau marketeer yang lebih pantas menurut Anda? Silahkan memilih.

Source Picts: Flickr
Read more

Console war: Playstation 4 vs Xbox 720 vs Wii 2

,



Bagi para gamer sejati, mungkin isu tentang peluncuran Playstation 4 bukanlah menjadi sesuatu hal yang baru lagi, begitu pun dengan Xbox 720 dan Nintendo wii 2. Namun tentang jadwal peluncurannya yang dipercepat, bisa jadi cukup mengejutkan. Yep, Playstation 4 akan diluncurkan lebih awal menjadi tahun 2010 dan mengenai kebenaran beritanya sudah diklarifikasi sendiri oleh VP of Tecnology Sony, Paul Holman. Ada apa gerangan dengan langkah Sony yang terkesan terburu-buru ini? ditambah dengan kondisi perekonomian dunia yang sedang morat-marit saat ini, tampaknya menarik untuk dibahas dari segi marketing.


Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa Sony telah mengalami kekalahan telak dari pesaing utamanya, Microsoft dengan Xbox dan Nintendo dengan Wii-nya pada pasar konsol game di atas 72 bit. Meskipun penjualan konsol game Sony terbilang progresif, namun dilihat dari aspek brand equity, jelas terlihat bahwa Playstation 3 mengalami deklinasi yang jauh dibandingkan dengan pendahulunya, Playstation 2. Dahulu, dengan bangganya Sony mengklaim bahwa mereka sukses di segmen 72 bit dengan mengalahkan Sega Dreamcast dan Nintendo Gamecube, namun saat ini, dapat dibilang sebaliknya.

Ada banyak faktor yang kemudian membuat Playstation 3 kalah dari Nintendo Wii maupun Xbox 360, salah satunya adalah faktor game. Kebanyakan game yang diperuntukkan untuk Wii memang didesain menjadi family gaming alias game yang dapat dimainkan oleh seluruh anggota keluarga. Berbeda dengan game-game Playstation 3 yang kebanyakan diperuntukkan untuk remaja (PG-13) dan penuh dengan kekerasan. Selain itu, dilihat dari faktor distribusi, Microsoft Xbox unggul karena mereka menggunakan DHL sebagai partner yang sudah terkenal keluasan jaringannya.

Mengambil pelajaran dari kekalahan terdahulu, tampaknya pihak Sony tak mau tinggal diam, maka segeralah dibuat penerus Playstation 3, yaitu Playstation 4. Sialnya bagi pihak Sony, ternyata Microsoft juga telah mengantisipasi hal tersebut dengan segera meluncurkan Xbox 720 yang kabarnya juga akan diluncurkan pada tahun yang sama. serupa dengan Microsoft, Nintendo juga sudah mempersiapkan konsol teranyarnya penerus Wii, yaitu Wii 2.

Persaingan di dunia konsol game memang semakin hari semakin “panas”, jika tak pandai-pandai mengatur strategi untuk memperoleh keunggulan kompetitif, bukan tidak mungkin akan ada yang tersingkirkan. Tidak percaya?, coba saja lihat Sega yang hidup segan mati tak mau atau Atari sang pioneer konsol game yang namanya saja sayup-sayup terdengar saat ini. Jadi, siapakah pemenang persaingan di segmen konsol game mendatang? Xbox 720, Wii 2 atau Playstation 4? Atau akan ada pendatahg lainnya? kita lihat saja nanti.

Source Pics: Technabob, Geekologie
Read more

Malapetakamu adalah Rezekiku

,


Tanggal 22 Maret lazimnya diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Tahun ini, peringatan Hari Air membawa tema “Berbagi Air, Berbagi Peluang”. Tema ini, bisa jadi, dialamatkan untuk menjadi konsideran masyarakat bumi dalam mengelola air yang kian menipis ini. Masyarakat mestinya mampu membabat tapal batas geografis dalam mengelola air hingga alokasi air dapat dilakukan seadil-adilnya.

Pada konteks kekinian, air memang menjadi sumberdaya yang langka. Bahkan Organization for Economic Cooperation & Development (OECD) memprediksi pada tahun 2030 kelak, hampir setengah penduduk dunia akan menempati daerah-daerah krisis air (BusinessWeek, Juli 2008). Air, sebagai sumberdaya, menggelandang realitas terbaru bahwa ia kini menjadi sumberdaya yang TIDAK terbarukan. Pemanasan global yang kian akut akhirnya mampu menguapkan realitas air di dunia macam demikian. Krisis air—benarlah—tinggal menunggu waktu saja.

Di Jakarta misalnya, metropolitan Indonesia ini boleh dibilang menuju sekarat air. Masyarakat di sini—terutama di kawasan padat—cukup sulit untuk mendapatkan air bersih. Masyarakat banyak yang dipaksa keadaan untuk mengonsumsi air yang berkualitas di bawah rata-rata. Saya mengalami sendiri hal tersebut. Di tempat kos yang saya tempati, air terkadang agak berwarna, atau mengeluarkan buih. Saya jelas terganggu, apalagi air sangat penting bagi kehidupan saya dan Anda tentunya. Kondisi ini—mungkin saja—menjadi malapetaka bagi umat manusia.

Lantas apa hubungan krisis air dengan blog ini?

Dalam marketing dikenal adagium, malapetakamu adalah rezeki-ku. Krisis air yang menimpa Jakarta dan—kelak—sebagian besar dunia, adalah malapetaka bagi umat manusia. Air yang notabene komoditas yang signifikan bagi manusia terancam lenyap dari muka bumi. Berbagai ekses potensial untuk muncul, konflik atau bahkan perang dunia memperebutkan air bisa saja hadir.

Bagi kita para marketing’s addicted, realitas itu justru mengabarkan satu sendi lain, peluang mengais rezeki. Adagium tadi mestinya menjadi konsideran kita dalam menikmati hidup sebagai seorang marketer.Dalam hal ini, saya kadang teringat pada para pedagang air keliling di Jakarta. Saya pikir mereka adalah contoh marketer yang baik. Mampu melihat keadaan (krisis air) untuk kemudian mengeksekusinya pada tataran penyediaan alat untuk mengatasi kebutuhan tersebut. Mereka cukup kreatif untuk beroleh fulus. Di tengah keadaan sekitar yang terjerembab malapetaka, mereka justru mampu mengubah malapetaka itu menjadi rezeki. Well done guys!

Fenomena ini, ternyata hadir juga di AS. Adalah T. Boone Pickens seorang kapitalis energi di sana menjadikan air sebagai komoditas. Menurut laporan BusinessWeek (Juli,2008), Pickens rela menggelontorkan investasi $100 juta untuk mengkomodifikasi air. Ia hendak mengkapitalisasi kawasan Roberts County yang kaya air untuk kemudian membentangkan pipa sebagai jalan menjual air dari kawasan tersebut ke Texas yang tingkat konsumsi airnya paling tinggi se-AS. Pickens memprediksi dalam beberapa tahun ke depan, dengan investasinya ini, ia akan meraup ratusan juta dollar per tahunnya.

Dua contoh—pedagang air keliling dan Pickens—ini bisa menjadi pelajaran penting bagaimana seorang marketer menciptakan bisnis yang benar-benar akurat dan tepat sesuai kebutuhan konsumen. Pedagang air mengabarkan kepada kita tentang pentingnya seorang marketer melihat kondisi sekitar dan bagaimana mengeksekusinya pada tataran pemenuhan kebutuhan.

Sementara itu Pickens mengabarkan kepada kita untuk selalu berpikir visioner dan one step ahead dibanding pesaing kita. Walaupun, tindak-tanduk Pickens dikecam sebagai tindakan menerabas akal sehat. Tapi, itu justru menjadi pijakan dalam melihat dunia yang semakin kompleks dan problematik ini. Dengan demikian, di tengah ekskalasi persaingan antar manusia yang semakin meningkat ini, malapetaka orang lain menjadi awal bagi kita untuk meraup rezeki yang berlimpah ruah. Karenanya, jangan segan untuk duduk di pinggir jalan, stasiun atau pasar, siapa tahu kita bisa mendapat ide untuk meraup rezeki berlimpah dari mereka. Dengan membuat penyalur pengemis, misalnya. Hehe….

Source Pics: Flickr
Read more

Etika Mengkapitalisasi

,

Kami ingin bertanya pada manusia yang (masih) beriman kepada Tuhan, hal apa yang membuat Anda tersinggung bukan kepalang? Bukannya kami sok tahu, sok pakar ramal atau tarot, karena jelas kami bukan pakar, tapi kami coba menebak apa jawaban yang ada di benak anda. Kami pikir jawabannya: Ketika Agama atau Kepercayaan—beserta simbol-simbolnya—yang Anda yakini dilecehkan, bukan begitu?

Kami yakin begitu. Tengoklah umat Budha yang geram bukan kepalang akan munculnya Budha’s Bar dan Restoran Buddha (menjual daging loh..). Padahal keyakinan teologis Buddha mengharamkan daging karena berkaitan dengan konsepsi reinkarnasi untuk mencapai moksa. Bagi umat Buddha ini jelas sebuah pelecehan simbol dan ajaran agama yang cukup akut. Tak heran demonstrasi hadir bergelombang di Jakarta, demi menuntut penggantian nama dan penanggalan simbol Buddha pada dua arena marketing tersebut.

Bagi kami, fenomena ini semakin menyiratkan perseteruan tanpa akhir antara marketing dan agama. Agama pada galibnya berusaha mewanti dan mengampanyekan hidup bersahaja sebagai ekses penghambaan spiritual kita pada Tuhan. Pada sudut lain, marketing justru mengampanyekan pentingnya konsumsi yang berujung pembentukan konsumerisme dalam masyarakat. Bahkan, pada titik yang ekstrem, marketing berusaha (dan berhasil) mengkapitalisasi simbol dan keyakinan spiritual manusia, seperti Buddha’s Bar contohnya.

Menyarunya marketing ke dalam simbol keagamaan, mestinya menjadi perhatian penting para marketer di seluruh dunia. Karena, hal ini menghasilkan dua mata pisau yang saling berkebalikan, keberhasilan atau menjadi bumerang. Arla Food misalnya, perusahaan mentega dan keju ini pada 2006 silam diboikot oleh salah satu pangsa pasarnya yang cukup besar(Asia Timur) karena salah satu iklannya memuat karikatur Nabi Muhammad. Jelas bagi masyarakat Asia Timur yang kebanyakan Muslim, Nabi Muhammad adalah sosok sakral yang dengan alasan apapun tidak boleh divisualisasi, apalagi dilecehkan. Arla Foods mungkin bertujuan menciptakan sensasi hingga akhirnya image produk mereka menancap di benak konsumen. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia kehilangan 95 % pangsa pasar regional Asia Timur. Bahkan, ia mengalami kerugian sekitar $ 2 juta/hari hingga aktivitasnya di Asia Timur terhenti. What da hell!!

Arla Foods mengabarkan pada kita betapa rentannya menyaru pada simbol-simbol keagamaan. Benar ada bisnis yang berhasil, seperti ESQ-nya Ari Ginanjar. Tapi, kebanyakan justru menjadi bumerang bagi strategi marketing. Pada konteks Buddha’s Bar, ya kami tahu mungkin mereka hendak mencipta ekstase spiritualisme dalam usahanya dan atau kontroversi seperti Arla Foods lakukan. Ia memang berhasil mencipta kontroversi negeri ini. Menjadi headline dan dipikirkan secara riuh oleh komunitas dan otoritas keagamaan. Tapi, berpikirkah mereka bahwa mereka tidak sedang bertarung sendirian. Lawan yang setara bahkan dahsyat telah siap untuk menikam balik. Karena itulah, marketing pun mesti beretika untuk mengkapitalisasi apapun, apalagi agama.

Read more

Marketing adalah Kami, Kami adalah Marketing

,
Sejak kemunculannya sebagai topik pada paruh pertama abad XX, marketing terus berevolusi dan revolusi untuk terus “menjadi” dan “menjadi”. Pada perjalannya, akhirnya, marketing terus mendapat perhatian dan kajian serius dari manusia di dunia ini. Tak heran banyak pakar marketing bermunculan, mulai dari Philip Kotler—yang booming di periode 90-an, Seth Godin—dengan ide-ide konyolnya, hingga Hermawan Kertajaya yang mencerahkan dengan New Wave Marketing-nya beberapa waktu belakangan ini.

Pelbagai fenomena cum kelahiran banyak pakar ini, kemudian menggelandang definisi dan konsep marketing pada tataran yang lebih kompleks, sebanyak pakar yang mengemukakannya. Bagi Kotler—dalam buku membosankan “According to Kotler”—misalnya, marketing dipandang sebagai ilmu dan seni menjelajah, menciptakan dan menyampaikan nilai-nilai kebutuhan pasar untuk memuaskannya demi meraih laba. Apa yang dilontarkan Bung Kotler, bisa jadi, salah satu dari ratusan bahkan ribuan definisi tentang marketing tersebut. Pusing juga kami dengan binatang yang satu ini..

Bagi kami—para gerilyawan marketing—,banyaknya konsep dan definisi tersebut tidak menjadi soal. Ia justru jadi fenomena yang menarik cum inspiratif. Kami juga—walaupun bukan pakar—ingin melontarkan binatang apa itu marketing?

Bagi kami, MARKETING ADALAH KAMI, dan KAMI ADALAH MARKETING. As simple as that…Kami bukan pakar yang punya otoritas dan pengakuan untuk merenda redaksi definisi marketing. Tapi, kami tahu “apa itu marketing?”. Tubuh kami adalah sinergi total dari marketing. Sejarah kami (manusia) adalah sejarah marketing. Dalam cinta kami ada marketing. Dalam hidup kami butuh marketing. Karena marketing serupa tubuh kami, dan tubuh kami serupa marketing.

Percayalah kami sudah merasakannya. Inilah MARKETING KAMI.
Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger