Creative Solution usaha bisnis prostitusi

,
Dampak dari krisis ekonomi global saat ini sudah mencapai stadium yang cukup mengkhawatirkan bagi para pelaku bisnis di seantero dunia. Tidak terkecuali para pelaku bisnis prostitusi di kawasan Eropa, mereka juga terkena imbas dari malapetaka ekonomi ini. Hanya saja, ternyata mereka sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri dengan berbagai macam strategi dan creative idea untuk dapat terus eksis dan memperoleh pelanggan. Segala bentuk strategi dan ide-ide ini tertuang dalam suatu rancangan solusi yang kemudian disebut sebagai creative solution. Pada tulisan singkat ini saya akan coba untuk sedikit mengulas tentang creative solution yang digunakan oleh para pelaku bisnis prostitusi di kawasan Eropa (khususnya Jerman dan Belanda) dalam menghadapi krisis global.

Semenjak disahkannya landasan hukum mengenai legalisasi bisnis prostitusi di Jerman, Belanda, Austria, Swiss dan negara-negara Eropa lainnya, para pelaku bisnis prostitusi bebas untuk memasarkan jasa mereka melalui media, baik cetak, internet, ataupun elektronik. Pada akhirnya bisnis prostitusi pun menjadi berkembang sangat pesat dan menjadi salah satu bisnis penting yang menyumbangkan income bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah/kota. Verdi services union mencatat, tiap tahunnya bisnis ini memperoleh pendapatan sedikitnya $ 18 Milyar, jumlah yang cukup fantastis sehingga wajar kalau banyak pihak di Jerman yang kemudian berminat untuk berinvestasi atau bergelut di bisnis ini.

Banyaknya jumlah pesaing dan semakin tidak pastinya kondisi perekonomian dunia saat ini menuntut para pemilik usaha prostitusi di negara-negara tersebut untuk dapat merancang strategi pemasaran yang tepat agar dapat terus mendapatkan dan mempertahankan konsumen mereka. Salah satu brothel (rumah bordil) di Jerman, Pussy Club, bahkan sempat menarik perhatian media setempat dengan promo “gila-gilaan” mereka. Betapa tidak? Dalam promonya mereka menawarkan makan, minum, dan layanan sex sepuasnya mulai pukul 10.00 hingga 16.00 dengan hanya membayar uang sebanyak 70 Euro. Kontan saja banyak konsumen yang datang berduyun-duyun begitu membaca iklan promo ini. “You've got to come up with creative solutions these days”, begitulah ungkap salah seorang manajer Pussy Club sebagaimana yang dilansir oleh Reuters. Bukan hanya Pussy Club saja yang mempunyai ide gila seperti itu, GeizHaus, salah satu brothel terkenal di jerman juga sama “gila”nya dalam memasarkan produk mereka. GeizHaus tidak tanggung-tanggung dalam memberikan potongan harga bagi para konsumennya, bisa mencapai 38 Euro, belum lagi dengan adanya service added lainnya, seperti layanan antar-jemput, party, free room charge, dan lain-lain.

Meskipun kebanyakan pelaku bisnis prostitusi dan brothel menggunakan strategi price dumping
dalam strategi pemasaran mereka saat ini, tidak semuanya serta merta latah untuk mengikuti. Sebut saja Artemis Club, salah satu brothel terbesar di Eropa, yang enggan untuk melakukan pemotongan harga meskipun para pesaingnya melakukan hal tersebut. Alih-alih melakukan pemotongan harga, mereka malah menaikkan tarif jasanya sebesar 10 Euro. “we provide an important service and even in a recession there are some things people won't do without”, itulah yang menjadi filosofi mereka. Alhasil, yang mereka mainkan bukanlah harga dalam strateginya, namun pada value added, extra service, luxurious, dan promosi mengenai positioning brothel mewah yang merupakan keunggulan mereka.

Nah, dengan mengambil pelajaran dari para pelaku bisnis prostitusi di atas, ternyata terbukti bahwa kreatifitas, inovasi, dan ditambah dengan sedikit “kenekatan” mampu untuk menghantarkan fondasi yang kokoh dalam menghadapi badai krisis ekonomi. Apapun jenis bisnisnya, kreativitas dan inovasi memang selalu menjadi kunci keberhasilan, baik dalam menghadapi persaingan, ataupun terpaan krisis ekonomi.


Read more

Kreativitas Kunci Memenangi Pasar

,
Ini adalah resensi saya atas buku Ippho Santosa berjudul "Marketing is Bullshit..". Resensi ini telah dimuat di Koran Jakarta edisi Rabu, 22 April 2009 ini.
-----------
Judul : Marketing is Bullshit…:
Penulis : Ippho Santosa
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Tahun : II, Februari 2009
Halaman : XVIII + 179
Harga : Rp 39.800

Kini, banyak perusahaan yang sempoyongan menjalankan bisnisnya. Palu godam krisis finansial global membuat detak jantung banyak perusahaan kembang kempis. Krisis finansial global menerjunkan daya beli masyarakat pada titik terendah. Pada sisi lain, biaya produksi dan operasional perusahaan meningkat drastis. Pada titik inilah banyak perusahaan menghadapi situasi pelik yang dapat berujung pada kebangkrutan.

Dalam situasi demikian, senjata apa yang mesti digunakan untuk tetap melanggengkan aktivitas perusahaan? Ippho Santosa dalam buku ini melemparkan senjata yang ia yakini sebagai panacea dalam meledakkan profit perusahaan dalam kondisi apa pun, yakni kreativitas.


Ippho dengan garang menggelandang kreativitas pada tataran paripurna dalam fungsi marketing sebuah perusahaan. Menurutnya, marketing hanyalah fungsi omong kosong andai tanpa dibarengi kreativitas dari pihak-pihak yang menopangnya. Pembaptisan kreativitas sebagai senjata pemasaran perusahaan memang layak dipertimbangkan. Kita mesti sepakat, situasi krisis yang berujung resesi ini menghadirkan warna kompetisi baru dalam dunia bisnis kontemporer.

Buku ini menjadi relevan dalam menelikung tantangan dan hambatan kontemporer yang dihadapi pebisnis dewasa ini. Ippho menggelandang perspektif yang segar bin unik dalam mencacah marketing sebagai fungsi penting dalam menopang eksistensi perusahaan. Pembaca diajak untuk membabat berbagai macam perspektif omong kosong (bullshit) dalam konsep marketing yang ironisnya sering kali diagung-agungkan oleh para pebisnis selama ini.

Tengoklah satu contoh yang dilontarkan Ippho dalam membedah Bullshit #2: Terobosan adalah Pemborosan. Banyak pebisnis yang menganggap terobosan atau inovasi sebagai pemborosan dalam aktivitas pemasaran perusahaan. Inovasi, baik dalam produk maupun promosi sering kali dipandang mahal dengan efek yang masih tanda tanya.

Ippho berusaha melawan persepsi demikian dengan contoh-contoh yang jenaka. Misalnya, terobosan yang dilakukan oleh Onitsuka Tiger—perusahaan sepatu asal Jepang—dalam mempromosikan produknya secara online. Onitsuka Tiger membuat kontes yel-yel sepak bola terbuka secara online. Apa yang dilakukan oleh Onitsuka Tiger ini jelas membuktikan bahwa terobosan dapat dilakukan dengan biaya yang murah, yaitu hanya dengan mengeksploitasi sumber daya Internet yang dimiliki perusahaan. Selain itu, inovasi berbiaya minimalis ini pun ternyata memberika efek digdaya dalam mempromosikan produk Onitsuka.

Bahwa apa yang dikabarkan Ippho dalam buku-bukunya termasuk Marketing is Bullshit.. ini bukanlah semata konsep yang kokoh di menara gading. Ia justru hadir dalam tataran praksis. Kita dapat mengaplikasikannya langsung dalam meledakkan profit bisnis kita. Atau minimal dengan ini, kita ditikam sugesti untuk terus kreatif dalam berbisnis. Karenanya, buku ini relevan bagi Anda yang hendak menerabas pengertian menyehari dalam berbisnis.

Peresensi adalah Veri Nurhansyah Tragistina, peminat Societal Marketing pada Program Studi Ilmu Administrasi Niaga Universitas Indonesia

Read more

Susan Boyle: The WOM Sensation on YouTube

,
Beberapa hari ini, dunia terkagum-kagum pada seorang perempuan berusia 47 tahun dengan penampilan gemuk—jauh dari cantik—bernama Susan Boyle. Ia tampil memukau dalam babak penyisihan ajang pencarian bakat Britain’s Got Talent (Sabtu, 11/4). Ketika Susan muncul di atas panggung, Simon Cowell, Piers Morgan, dan Amanda Holden—yang bertindak sebagai juri—cenderung meremehkan kemampuan menyanyinya. Bahkan, menganggap Susan laiknya badut penghibur. Tapi, tatkala ia mulai melantunkan tembang lawas I Dreamed a Dream, Simon, Morgan, Amanda dan seisi gedung terkagum-kagum. Bahkan, Susan mendapat tepuk tangan riuh dan standing ovation ketika menyanyikan lagu itu. Suara sopran Susan memang luar-biasa. Saya sendiri merinding ketika mendengar ia menyanyikan I Dreamed a Dream dengan cara begitu.

Setelah itu, kehidupan Susan Boyle berubah 180 derajat. Video dia dalam acara tersebut telah dilihat lebih dari 26 juta kali (Anda dapat melihatnya di sini). Harian New York Times menyebutnya sebagai world’s newest instant celebrity. Kini, kehidupan Susan telah berubah dari seorang pengangguran menjadi orang yang dikejar-kejar banyak job, liputan dan interview.

Lantas apa yang hendak kita kaji dari fenomena ini?


Semenjak Tim O’Reilly mengintroduksi konsep Web 2.0 tahun 2004 silam, lanskap bidang-bidang kehidupan di dunia berubah drastis. Interaksi antar manusia kian intens dan menerabas batas-batas geografis dan batas lainnya. Dunia menjadi datar, kata Thomas Freidman. Arus informasi dengan cepat mengalir dari satu ruang ke ruang lainnya di seantero dunia.

Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan prasasti-prasasti Web 2.0 macam YouTube, Facebook, Twitter dan Wikipedia. Prasasti-prasasti macam demikian akhirnya menjadi tools signifikan dalam mekanisme online Word of Mouth (WOM) dalam dunia pemasaran. Setiap konsumen benar-benar menjadi evangelist yang berkuasa dalam mengalirkan informasi apapun baik dalam spektrum negatif ataupun positif. Arus “getok ular” menjadi lebih cepat dan menyasar banyak orang, apalagi pada negara-negara yang memiliki tingkat melek internet yang tinggi.

Susan Boyle benar-benar merasakan sensasi WOM melalui prasasti Web 2.0 macam YouTube. Ia mesti berterimakasih pada YouTube yang telah mengubah hidupnya menjadi world’s newest instant celebrity. Videonya menjadikan Ia menjadi bahan pembicaraan orang-orang di seantero dunia. Semua orang terkagum-kagum padanya. Ia bukan lagi orang biasa tapi menjelma menjadi selebritas. Satu hal yang perlu dicatat, semua itu berkat sensasi WOM yang diajalarkan oleh YouTube.

Demikianlah kini, teknologi Web 2.0. telah memampukan arus informasi demikian cepatnya. Ia mampu menggelandang satu orang biasa menjadi begitu terkenal di seantero dunia. Sebagai para peminat marketing fenomena ini mestinya menjadi penegas untuk terus berkontemplasi dengan teknologi yang kian membuat dunia semakin horizontal. Informasi kian cepat mengalir, menusuk sendi-sendi kehidupan manusia di seantero dunia dalam kejapan mata. Maka, sambutlah sensasi Susan Boyle sebagai bukti sahih kuasa prasasti Web 2.0. macam YouTube.

Source Pict: Daily Mirror
Read more

Jangan Remehkan Viral Marketing, Megawati!

,
WOooowww..... mungkin itulah ungkapan yang menurut saya paling tepat untuk mengekspresikan keterkejutan saya ketika melihat (lagi) jumlah supporter grup “say no to Megawati” di Facebook pada malam hari ini (Senin, 4 April 2009). Betapa tidak?! Supporter dari grup ini telah mencapai jumlah 95.000 hanya dalam waktu yang relatif sangat singkat, hanya dalam waktu empat hari. Sesuai dengan postingan kawan saya sebelumnya, bisa jadi ini adalah grup buatan orang asli Indonesia yang pertambahan supporternya paling cepat hingga saat ini. Tak hanya sampai di situ saja, perdebatan dan popularitas terkait grup ini bahkan telah merambah hingga keluar dari ranah Facebook, mulai dari portal berita internet, media elektronik (televisi), bahkan media cetak hangat memberitakan hal ini. Berawal dari WoM kecil-kecilan di Internet, namun mampu untuk menembus cakrawala dunia maya, itulah kekuatan dari viral marketing.

Viral marketing, sebagaimana yang didefinisikan oleh Kotler, adalah penggunaan media internet dalam menciptakan efek Word of Mouth untuk mendukung usaha dan tujuan pemasaran. Penggunaan viral marketing untuk memasarkan suatu produk memang bukanlah barang baru lagi dalam dunia pemasaran kontemporer, bahkan dengan banyaknya situs-situs social networking saat ini, seperti Twitter, Myspace, Facebook, Bebo, dan lainnya, viral marketing menjadi suatu keniscayaan bagi para marketer. Kehebatan dari viral marketing ini sudah tak perlu diragukan lagi, “You don’t need to reach 2 million people to let them know about a new product—you just need to reach the right 2000 people in the right way and they will help you reach 2 million,” begitulah ungkap seorang marketer dalam buku Marketing Management-nya Kotler.

Untuk kasus grup “Say No to Megawati” ini, rasa-rasanya ungkapan yang disebutkan di atas memang terbukti keberhasilannya. Lihat saja, saat ini kepopuleran “produk” tersebut bahkan terus meningkat pesat dan menembus dunia maya. Dari hanya sekitar 97.000 individu yang tergabung dalam grup dan ditambah dengan bantuan eksploitasi media-media lainnya (cetak, elektronik, dan lainnya), saya pribadi merasa konten yang menjadi value dari grup ini akan mampu untuk diterima oleh seratus kali lipat jumlah dari supporter grup tersebut, atau bahkan lebih. Bayangkan saja, kalau saat ini saja supporter grup tersebut mencapai 97.000, berkat adanya bantuan-bantuan yang saya sebutkan tadi, boleh jadi penerima value grup ini (masyarakat umum) akan menjadi 9.700.000. Jumlah yang cukup siginifikan apabila dikaitkan dengan kepentingan politik pihak yang terdiskreditkan (jumlah suara).

Menurut saya pribadi, ada banyak faktor yang kemudian membuat efek domino dari grup ini sangatlah cepat menyebar, dan salah satunya adalah karena the truth of the stories. Kebenaran yang diangkat dalam cerita atau testimoni untuk dijadikan bahan WoM sangatlah krusial sifatnya, semakin terbukti kebenarannya, maka akan semakin mudah dan cepat WoM itu menyebar; begitu pula sebaliknya, semakin sulit untuk dibuktikan kebenarannya maka akan semakin sulit pula penyebarannya. Salah seorang pakar Marketing, Michael Cafferky, bahkan memasukkan unsur truth ini sebagai salah satu unsur penting yang menentukan sukses tidaknya WoM suatu produk. Kalau untuk yang satu ini, saya sendiri menilai apa-apa yang kebanyakan ditulis oleh para supporter grup tersebut memang adalah suatu “kebenaran” yang tak terbantahkan lagi, minimal hal-hal yang dituliskan tersebut benar-benar merepresentasikan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh para penulisnya.

NB: Grup "say no to megawati" telah dihapus keberadaannya dari Facebook....

Read more

Megawati diserang (Negative) WOM!

,
Saya terkaget-kaget ketika mendapati “page” di Facebook yang berlabel “Say “NO” to Megawati” berhasil menggaet sekitar 39.000 suporter hanya dalam tempo kurang dari dua hari. Selain itu, intensitas aktivitas di page ini begitu cepat dan rapat. Saya mencoba memberi komentar di wall page tersebut. Selang beberapa menit, ternyata komentar saya sudah meluncur entah di urutan berapa tertimbun komentar-komentar baru. Bisa jadi, page tersebut menjadi page bikinan orang Indonesia paling cepat perkembangannya selama ini. Well, F*%$ing Awesome!

Fenomena tersebut menjadi bukti tatkala media jejaring sosial yang berbasikan Web 2.0. menjadi tools signifikan dalam mekanisme Word of Mouth (WOM). Media-media jejaring sosial tersebut, memang menawarkan kemudahan mengalirnya informasi secara cepat dari satu orang ke jutaan orang lainnya. Facebook misalnya, ketika terjadi update aktivitas yang dilakukan user ataupun teman kita maka akan terekam dalam homepage kita. Hal tersebut jelas berkecenderungan menarik kita untuk melihat apa yang telah dilakukan teman kita, baik itu perubahan “relationship status”, ulangtahun, grup yang diikuti ataupun page yang digemari. Dari sinilah WOM mengalir bak virus rabies di Bali, cepat, menusuk nadi banyak orang.

Dalam dunia pemasaran kontemporer sendiri, WOM dalam Web 2.0. menjadi wacana yang meningkat akhir-akhir ini. Banyak studi yang dilakukan oleh pakar marketing yang menyuratkan satu garis tentang efektifnya WOM berbasis Web 2.0 khususnya situs jejaring sosial. Studi Trusov et.al (April 2008) misalnya, menunjukkan hasil bahwa efektivitas WOM berbasis internet 2.5 kali lebih tinggi dibandingkan sistem periklanan tradisional.

Fenomena dan hasil studi tersebut wajar menggejala. Internet sekarang jauh lebih komunikatif, dan interaktif. Semuanya saling berjalin (interwined), menerabas budaya tatap muka, geografis apalagi SARA. Inilah perkembangan signifikan di abad yang tunggang-langgang ini. Masyarakat semakin mudah melakukan kontrol sosial baik itu terhadap produk, perusahaan ataupun politisi. Sistem pemasaran tidak dapat seenaknya mengebiri aspek kejujuran. Karena, semuanya dapat ditelikung oleh berlimpah-ruahnya informasi yang didapat, dipunya, dan di-share oleh masyarakat.

Namun sayangnya (bagi Megawati), perkembangan ini justru menghadirkan negative WOM bagi dirinya. Hadir dan berkembang pesatnya page “Say “NO” to Megawati jelas memberikan preseden buruk bagi sebagian kecil masyarakat kita. Selain itu, bukan tidak mungkin perkembangan page yang sangat cepat tersebut akan terendus media mainstream seperti surakabar, dan televisi. Walhasil, informasi akan menjalar ke seantero negeri. Ini sangat berbahaya terhadap image Megawati yang (kelihatannya) masih memiliki libido untuk menjadi presiden. Bisa-bisa image Megawati ambruk karena pesatnya resistensi masyarakat terhadap pencalonan dirinya sebagai presiden.

Inilah pelajaran penting bagi para politisi: masyarakat semakin dewasa, informasi kian terbuka, karenanya konsistensi dan kejujuran menjadi niscaya dalam kampanye. Bila tidak, kita akan menodongkan senjata yang lebih mematikan dibanding AK-47: resistensi publik yang menyebar bak kolera.

Read more

why Naruto so popular!?

,

Siapa sih yang tidak kenal dengan Naruto!? tokoh manga/anime Jepang yang satu ini telah banyak menyita perhatian para penggemarnya di seluruh dunia. Mulai dari anak-anak, remaja, bahkan dewasa pun terbius dengan kehadiran sang Kyubi ini. demam naruto memang sedang melanda dunia saat ini, terutama Indonesia. Dari sinilah mulai banyak yang bertanya-tanya, kenapa sih Naruto bisa sangat populer (khususnya di Indonesia)!? Coba saja Anda masukkan keyword why naruto so popular?! Di Google dan niscaya Anda akan mendapatkan banyak sekali output terkait pertanyaan tersebut. nah, di sini saya akan coba menerangkannya berdasarkan pengetahuan marketing yang saya pahami.

Naruto adalah manga masterpiece dari seorang komikus muda asal Jepang yang bernama Masashi Kishimoto yang pertama kali terbit pada tahun 1997. Inti ceritanya sederhana, berkisah tentang seorang ninja muda bernama Naruto yang tinggal di sebuah desa tersembunyi (hidden village) bernama Konoha dan mempunyai ambisi untuk menjadi Hokage (pimpinan tertinggi di desa tersebut). Seterusnya sudah dapat ditebak, manga/anime Naruto mengkisahkan sepak terjang Naruto dan permasalahan yang dilaluinya dalam menggapai impian tersebut.

Selain menawarkan ide cerita yang sederhana dan mudah dimengerti tersebut, Naruto juga mampu untuk menawarkan fantasi yang berada di luar dunia nyata serta melibatkan emosi para pembaca/penontonnya. Hal ini jua yang membuat Doraemon dan Dragon Ball sangat populer pada masanya dan tampaknya Kishi (panggilan untuk Masashi Kishimoto), benar-benar mampu untuk menuangkan nilai-nilai (value added) ini pada manga hasil gubahannya tersebut. Di samping itu, masih ada lagi faktor-faktor pendukung keberhasilan (dilihat dari aspek marketing) sang Kyubi , yaitu:

1. Word of Mouth (WoM)
Dari mana Anda pertama kali mengetahui Naruto?jika pertanyaan ini diajukan pada kita, Saya yakin sebagian besar dari kita menjawabnya adalah dari teman. Yep, kekuatan dari WoM ini memang sangatlah berperan besar dalam melejitkan popularitas Naruto, selain peranan media (elektronik dan cetak) tentunya. Kita akan cenderung akan lebih tertarik untuk mencoba suatu produk apabila direkomendasikan oleh seseorang, apalagi bila yang merekomendasikannya adalah orang-orang terdekat kita, keluarga atau teman misalnya. Saya sendiri pertama kali mengenal Naruto dari teman SMA yang meminjamkan komiknya pada saya.

2. Community
Tak dapat dipungkiri bahwa pelaku WoM yang saya sebutkan di atas memang kebanyakan berasal dari komunitas penggemar anime, manga, dan hal-hal yang “berbau” Jepang (japanese freak) lainnya. Mereka yang menggemari Naruto, dapat dipastikan juga menyenangi hal-hal kejepang-jepangan lainnya, seperti J-Pop/Rock, Tokusatsu, manga dan anime, atau bahkan J-style (harajuku misalnya). Meskipun komunitas-komunitas ini kebanyakan hanyalah sekadar sekumpulan (informal) orang-orang yang doyan dan mempunyai ketertarikan dengan anime/manga, namun disadari atau tidak pengaruh mereka terhadap popularitas Naruto sangatlah signifikan.


3. Penerbit/Distributor
Naruto diterbitkan dan didistribusikan oleh salah satu perusahaan penerbit manga terlaris dan terkemuka di Jepang, yaitu Shueisha (Shonen Jump), yang telah membesarkan sejumlah manga terkenal seperti Dragon Ball, Rurouni Kenshin (Samurai X),Yuyu Hakusho, Bleach, Inuyasha, dan lainnya. Image dan reputasi dari perusahaan ini juga sedikit banyak telah mempengaruhi larisnya Naruto, baik dalam bentuk manga, anime, ataupun merchandise. Naruto sendiri hadir bersama dengan manga-manga lainnya dalam majalah kumpulan manga yang bernama Shonen Jump yang merupakan majalah paling laris di Jepang.

Selain beberapa faktor tersebut, saya rasa faktor terbesar dari keberhasilan Naruto dalam menyihir para “konsumen”nya adalah chemistry yang menurut saya pribadi, sulit untuk dijelaskan. Kebanyakan orang yang saya tanyakan alasannya mengapa ia menyukai Naruto jawabannya hanyalah “yah, suka aja”, tak tahu kenapa suka”, “keren sih” dan semacamnya. Jawaban yang menurut saya pribadi, sulit untuk masuk logika. Saya sendiri juga heran, mengapa saya yang berusia hampir 21 tahun ini masih tetap menyukai Naruto dan membayangkan diri saya menjadi bagian dari cerita tersebut. Tapi, itulah Naruto, memang benar-benar unpredictable. Dattebayo!!!!!!


Read more

Nation Branding: Negara-negara juga bersaing...

,
Tak hanya perusahaan saja yang bersaing untuk mendapatkan profit dari produk yang dihasilkannya, namun juga negara-negara yang ada di dunia. Tidak percaya?! Coba saja tengok, para negara-negara bersaing dalam hal promosi pariwisata, menarik minat para investor, menarik para pembeli dari seluruh dunia untuk membeli produk buatan mereka, dan lainnya. Dengan adanya persaingan ini jelas menuntut mereka untuk secara apik mengemas image negara tersebut agar mampu untuk menarik minat para "target market" mereka. Oleh karena itu, maka lahirlah sebuah teori yang kemudian dikenal dengan nama Nation Branding. Nah, di sini saya akan mencoba untuk menerangkan secara singkat apa sih maksud dan tujuan Nation Branding itu.


Menurut Raymond Miller, dalam bukunya yang berjudul Globalization and Identity, nation branding didefinisikan sebagai “sekumpulan teori dan penerapannya yang bertujuan untuk mengukur, membangun dan mengatur reputasi dari suatu negara (masih berhubungan dengan place branding).” Sesuai dengan definisinya, nation branding ini berfungsi untuk membangun, mengembangkan, dan mempertahankan pencitraan (reputasi) yang baik tentang suatu negara. Teori ini didasarkan pada hasil observasi dan penelitian yang menyatakan bahwa kesuksesan suatu negara dalam berkompetisi di pasar global sangat dipengaruhi oleh brand image negara tersebut. Bahkan, dikatakan bahwa branding dan image dari suatu negara—ditambah dengan transfer yang sepadan antara image tersebut kepada produk-produk yang dihasilkan—sama pentingnya dengan produk yang dihasilkan oleh negara itu sendiri.

Nation branding sendiri pertama kali dicetuskan oleh Simon Anholt yang nantinya bekerjasama dengan lembaga Gfk Roper dan mendirikan lembaga riset bernama Anholt-Gfk Roper yang melakukan riset terhadap reputasi (brand) suatu negara dan kemudian menuangkannya menjadi suatu hasil riset yang dikenal dengan Nation Brands Index (NBI). Riset yang dilakukan ini didasarkan pada beberapa aspek, seperti kualitas dan kuantitas ekspor, pariwisata, kebudayaan, pemerintahan, dan sifat penduduk asli negara tersebut. (untuk melihat peringkat negara sesuai dengan NBI, klik di sini)

Hasil dari NBI ini kemudian banyak menjadi pegangan bagi para investor, wisatawan, perusahaan asing, dan pihak lainnya untuk mengetahui reputasi dari suatu negara. Dampaknya jelas, makin tinggi peringkat NBI dari suatu negara, maka akan semakin baik reputasi dari negara tersebut sehingga berimplikasi pada kemampuan negara tersebut dalam menghadapi persaingan. Untuk Indonesia sendiri, saat ini berada pada posisi 43, masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia yang berada pada peringkat 38, Thailand pada peringkat 34 atau Singapura pada posisi 24 (tertinggi untuk kawasan Asia Tenggara). Meskipun begitu, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk terus meningkatkan image dan brand-nya sehingga mampu untuk memperoleh NBI yang lebih baik lagi.

Branding nation sendiri terbukti berhasil dalam melekatkan image suatu negara dengan produk yang berasal dari negara itu sendiri sehingga mampu untuk meningkatkan penjualan produk tersebut. coba saja lihat, ketika membicarakan Swiss, selain keju dan cokelatnya, orang pasti akan langsung ingat merk jam tangan Swiss Army; atau ketika seorang anak ditanyakan mengenai produk/brand Jepang, mereka pasti akan menjawab, Nintendo, Playstation, Pokemon, Naruto, Doraemon, dan sebagainya. Pada akhirnya, image yang terlahir dari suatu brand nation akan berpengaruh pada stereotip produk negara tersebut yang dipersepsikan oleh pasar. Kalau untuk yang satu ini, saya sendiri masih bingung, image Indonesia identik dengan produk apa?! Ada yang dapat menjawab?!


Read more

Brand Mythology

,
Mitologi, mungkin bagi sebagian dari kita cenderung berkaitan dengan hal-hal yang berbau Yunani kuno, seperti Hercules, Zeus, Aphrodite, dan lainnya. Tidak salah memang, namun apabila mengartikan bahwa mitologi adalah “barang” yang hanya mengandung unsur-unsur kuno dan mistik, jelas salah. Sesuai definisi dari Wikipedia: Myths are narratives about divine or heroic beings, arranged in a coherent system, passed down traditionally, and linked to the spiritual or religious life of a community, endorsed by rulers or priests; maka suatu mitos akan mampu untuk membawa seseorang yang membaca atau mendengarkannya untuk terlibat dalam cerita tersebut.

Nah, begitupun dengan brand. Merek-merek tertentu, seperti Harley Davidson, Nike, Jack Daniels, mampu untuk membawa konsumennya merasakan pengalaman untuk menjadi bagian dari mitos brand-brand tersebut. mereka menawarkan “cerita” kepada para konsumennya sehingga para konsumen pun tertarik untuk menjadi tokoh dan terlibat dalam cerita tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Seth Godin: “if I were trying to invent a mythic brand, I'd want to be sure that there was a story, not just a product or a pile of facts. That story would promise (and deliver) an heroic outcome. And there needs to be growth and mystery as well, so the user can fill in her own blanks. Endorsement by a respected ruler or priest helps as well.” Mudahnya, untuk menjadikan suatu brand sebagai mitos, tak cukup dengan hanya sekadar menawarkan produk beserta dengan kegunaannya saja, namun juga harus ada cerita di balik produk—sebagai nilai tambah— tersebut sehingga konsumen mau untuk menjadi tokoh dalam cerita tersebut.

Brand mythology sendiri memang sulit untuk dijelaskan ataupun dirumuskan sehingga menjadi konsep yang benar-benar applicable dalam dunia pemasaran, khususnya branding. Hal ini karena brand mythology berhubungan dengan spiritual dari para konsumennya, bukan needs and wants mereka. Para konsumen memiliki keyakinan apabila mereka menggunakan suatu produk yang telah menjadi mitos, maka mereka akan mempunyai nilai lebih ketimbang mereka yang belum pernah menggunakannya, meskipun sifatnya relatif. Coba saja lihat, apakah orang yang menggunakan Harley Davidson akan lebih macho dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakannya?! Atau apakah orang yang menggunakan Nike akan lebih sporty jika dibandingkan dengan orang yang bukan menggunakan Nike sebagai sepatu olahraganya?! Jawabannya sudah pasti, belum tentu. Tapi itulah realita yang tercipta dari persepsi karena menggunakan merek yang sudah menjadi mitos, meskipun sebenarnya realita berbeda dengan persepsi yang digambarkan. Perception is more important than reality, itulah marketing.


Source Pic: cartoonstock, googleimages
Read more

Kami hadir di Facebook

,
Kini, boleh dibilang eranya Facebook. Situs jejaring sosial ini telah mengalami pertumbuhan signifikan baik dari segi user ataupun keuntungannya. Bahkan, menurut New York Times, hanya dalam delapan bulan Facebook berhasil menggaet sekitar 100 juta user. Walhasil, sekarang Facebook disinyalir telah memiliki sekitar 200 juta user di seluruh dunia. Tapi, pendiri Mark Zuckerberg terlihat belum puas untuk terus mengembangkan Facebook. "Two hundred million in a world of six billion is tiny", pekik Zuckerberg.


Ocehan Zuck, bisa jadi, bakal menjadi sinyal bahwa Facebook akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Terlepas dari wacana apakah Zuck akan mengembangkannya sendiri atau menjual kepada pihak lain, Facebook memang menjadi pioneer situs jejaring sosial yang menyentuh banyak bidang. Mulai dari bersosialisasi itu sendiri, alat kampanye politik, penyebaran isu sosial-kemasyarakat, hingga menjadi alat untuk meraih uang. Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang ketagihan untuk Facebooking.

Oleh karena itu, kami pun tidak ingin ketinggalan tren yang sedang menggurita ini. Sebagai bagian dari melanggengkan eksistensi, kami telah membuat grup di Facebook dengan nama "Marketing Kami (Create it Together, Share it Without Border)". Kami berusaha mensinergiskan kami (blog ini) dan secondary media yaitu grup di Facebook. Dengan tujuan, untuk lebih membuka keran wacana dan diskusi dalam lingkup kajian marketing. Bergabunglah bersama kami!

Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger