creative or seductive??!!

,

Baru-baru ini, tepatnya pada awal bulan Mei ini, sebuah perusahaan penerbangan asal New Zealand, Air New Zealand, menayangkan iklan komersialnya di jaringan televisi New Zealand. Yang membuat iklan ini sangat menarik dan tentunya, memicu kontroversial, adalah bahwa dalam iklan tersebut para pramugari dan pramugara perusahaan itu ditampilkan tanpa memakai busana sama sekali, alias bugil. Mereka hanya menggunakan teknik body painting untuk mengkamuflasekan tubuh mereka sehingga lekuk tubuh mereka jelas saja tetap terlihat. Iklan yang diberi judul "Nothing to Hide" dan berdurasi sekitar 30 detik ini menampilkan sesuatu yang benar-benar beda dan unik serta keberanian untuk melawan arus konvensional. Dengan content iklan yang lain dari biasanya ini tentu saja berakibat pada banyaknya pro dan kontra yang bermunculan. Di situs jejaring video Youtube, iklan ini sendiri bahkan menjadi hot topic untuk beberapa waktu, khususnya bagi para masyarakat New Zealand sendiri. Lantas, apa yang dapat diambil dari iklan macam ini? nah, untuk menemukan jawabannya, maka akan coba saya ulas secara singkat.


Iklan (advertising) merupakan salah satu elemen dari Marketing Communication Mix yang penggunaannya paling populer dan lazim digunakan oleh perusahaan. Apapun jenis perusahaannya, hampir dapat dipastikan mereka pasti pernah menggunakan iklan untuk memperkenalkan produknya ke pasar, entah itu dengan menggunakan iklan televisi, media cetak, billboard, internet atau hanya sekadar menyebarkan selebaran-selebaran (flyer ) di jalan. Menurut Phillip Kotler, setidaknya ada empat tujuan dari penggunaan iklan, yaitu untuk menginformasikan (informative), ajakan (persuasive), pengingat (reminder), dan meyakinkan calon pembeli (reinforcement). Selain itu, keempat unsur ini mesti disesuaikan dengan kondisi pasar saat ini.

Terkait dengan kondisi pasar saat ini, tentunya tak terlepas dari krisis ekonomi yang sedang mengekang dunia saat ini. Pengaruh dari krisis ekonomi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung sudah mengenai semua elemen perusahaan, tak terkecuali bagian marketing. Marketer semakin dituntut untuk berpikir kreatif dan tentunya, on budget, dalam menghadapi situasi macam ini. Mereka mesti dapat menciptakan suatu creative solution yang dapat menjadi katalisator peningkatan pendapatan perusahaan namun tetap mempertimbangkan anggaran yang ada, sungguh dilematis bukan?!

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para marketer dalam hal ini adalah memilih media komunikasi marketing yang tepat dan efektif. Saat ini sudah begitu banyak tersedia media-media komunikasi, mulai dari yang gratisan hingga yang mahal. Apalagi dengan bermunculannya berbagai macam situs-situs jejaring sosial macam Facebook, Twitter, MySpace, dan lainnya yang kemudian semakin memperkaya pilihan atas media yang tepat. Banyaknya pilihan media ini jauh-jauh hari sudah diprediksi oleh Seth Godin. Dalam bukunya All Marketers are Liars ia pun dengan berani menyatakan bahwa masa keemasan iklan televisi saat ini sudah berakhir. Alasannya, para konsumen sudah tak lagi mempercayai iklan dan lebih memilih untuk berganti channel ketimbang menonton iklan. Selain itu, menjadikan televisi sebagai media komunikasi pemasaran pun membutuhkan biaya yang relatif besar. Oleh karena itu, apabila marketer tak mampu untuk membuat content yang kreatif dan unik maka dapat dijamin bahwa iklan itu akan kehilangan daya pikatnya, dan uang yang sudah diinvestasikan akan menjadi “uang sial”. Terlepas dari itu semua, memang harus diakui bahwa iklan televisi masih menjadi salah satu media komunikasi pemasaran yang paling populer dan efektif untuk saat ini. Iklan televisi tak lagi hanya menjadi sekadar ajang beli slot-slot iklan di televisi, namun jauh dari itu terdapat perang ide yang kemudian menentukan apakah suatu iklan nantinya akan efektif atau tidak.

Kembali ke iklan Air New Zealand, sebenarnya itu merupakan salah bentuk dari konten unik dan berbeda yang ditawarkan oleh para marketer perusahaan tersebut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa industri penerbangan akhir-akhir ini cukup mengalami pukulan telak akibat adanya krisis ekonomi global, belum lagi dengan maraknya pemberitaan mengenai virus flu babi (H1N1) yang berimbas pada dikeluarkannya travel warning ke beberapa negara. Oleh sebab itu, Air New Zealand pun mau tak mau mesti memikirkan cara agar tetap eksis dan meningkatkan profitabilitasnya di saat seperti ini sehingga muncullah ide untuk membuat iklan televisi yang seperti itu (baca: unik). Ide-ide kreatif macam ini memang sedang tumbuh subur pada saat krisis seperti sekarang ini dan bukan hanya Air New Zealand saja yang berpikiran melawan arus seperti itu. 

N.B.: untuk melihat iklannya dapat dilihat di sini

Read more

“Membunuh” Facebook atau Meruntuhkan Mitos?

,
Saat ini adalah masa kejayaannya situs-situs jejaring sosial macam Facebook, Twitter, MySpace dan LinkedIn. Pertumbuhan mereka sangat gilang-gemilang. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa eksistensi situs-situs tersebut dalam mengarsiteki pola komunikasi dan interaksi baru, baik pada ranah politik, bisnis ataupun sosial. Dalam dunia marketing misalnya, banyak kajian yang menelaah peran situs-situs jejaring sosial dalam menciptakan mekanisme pemasaan baru. Cukup banyak konsep-konsep marketing baru yang muncul akibat kehadiran situs-situs tersebut.Namun, di tengah kegemilangan situs jejaring sosial tersebut, ada sebagian pihak yang tidak turut bertepuk-tangan menyambut peran media-media sosial tersebut.
Di Indonesia misalnya, beberapa waktu lalu mengemuka wacana fatwa haram untuk Facebook dari sebagian ulama di Jatim. Selain itu, yang paling fenomenal adalah pemblokiran Facebook oleh pemerintah Iran selama masa kampanye pemilihan presiden di sana.

Dalam dunia pemasaran, ada Gene Mark yang mewanti-wanti para pebisnis atas mitos-mitos yang ditimbulkan situs-situs jejaring sosial. Melalui tulisannya di Business Weeks, Mark mengemukakan beberapa mitos yang jika saya sederahanakan akan mengemuka 3 (tiga) mitos utama, yaitu

 Situs jejaring sosial adalah media pemasaran yang murah. Menurut Mark, memang pebisnis atau perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk berpromosi di Facebook, Twitter atau lainnya, tapi itu ditimpali oleh cost lain yang tak kalah besarnya yaitu Waktu (Time). Pebisnis perlu mengalokasikan waktu yang banyak untuk berpromosi di media sosial terlebut. Dan menurut Mark, hal itu memungkinkan timbulnya opportunity cost yang besar andai perusahaan melakukan promosi melalui mekanisme lain.

 Situs jejaring sosial adalah media yang paling ampuh untuk menggaet pelanggan. Menurut Mark, kebanyakan para users Facebook ataupun Twitter adalah kawula muda yang menggunakan itu sebatas mencari gebetan, ataupun narsis-narsisan dengan sejawatnya. Hal ini berimplikasi pada usaha perusahaan yang mesti lebih keras untuk menggaet mereka sebagai pelanggannya. Menurut Mark, ini jelas cukup sulit dilakukan, tidak hanya usaha yang keras tapi juga memakan banyak waktu yang bukan tidak mungkin berujung kesia-siaan.

 Situs jejaring sosial adalah moda komunikasi dan interaksi masa depan. Banyak orang berpendapat, bahwa situs-situs jejaring sosial adalah masa depan komunikasi dan interaksi manusia. Intinya, situs-situs jejaring sosial tersebut akan terus bertahan untuk jangka waktu yang relatif lama. Mark tidak terlalu percaya dengan itu. Ia mencontohkan Twitter yang mengalami pertumbuhan dibawah 30%, MySpace yang terus mengalami penurunan pengunjung, hingga Geocities yang akhirnya ditutup oleh Yahoo! Gara-gara kehilangan pangsa pasar. Menurut Mark, tren ini mengabarkan kepada para marketer untuk lebih waspada akan eksistensi situs-situs jejaring sosial di masa depan. Mungkin Mark berasumsi bahwa situs-situs jejaring sosial tersebut hanyalah gejala fad yang hanya benderang di satu malam kemudian temaram di waktu lain (one night stand).

Saya sendiri tidak terlalu sepakat dengan apa yang dilakukan Mark. Menurut saya, Mark terlalu mendasarkan argumennya pada konklusi untung-rugi. Padahal, lebih dari itu, situs-situs jejaring sosial memberikan ruang untuk pengenalan produk, ide ataupun gerakan sosial dalam skala yang massif. Memang, akan cukup sulit menggaet pelanggan melalui Facebook dalam waktu singkat. Namun, minimal dengan berpromosi di Facebook akan tercipta brand awareness masyarakat terhadap produk kita. Nantinya, produk kita akan semakin dikenal yang bukan tidak mungkin mencipta impulse buying di masa-masa mendatang.

Jika kita tarik pada tataran yang lebih luas, situs-situs jejaring sosial juga sangat bermanfaat dalam memasarkan ide atau gerakan bernarasi sosial. Facebook misalnya, memberikan aplikasi “Cause” yang membuat orang dapat menciptakan wacana atas suatu hal. Para pegiat anti-rokok atau anti-aborsi misalnya, mendapatkan keuntungan untuk memasarkan kampanye-nya tersebut. Tengok saja, dalam sekejap banyak orang yang bergabung di “cause” macam demikian ataupun di grup-grup yang menyuarakan hal yang sama.

Melalui itu, Facebook dan situs jejaring sosial lain, memberikan ketukan awal untuk menjalarkan pesan secara massif dalam waktu sekejap. Karena itu, kecenderunganya akan semakin banyak orang yang membentuk kerumuman, bergunjing dan (mungkin) beraksi atas suatu wacana tertentu. Inilah online word of mouth mechanism.

Karena itu, saya jadi tergelitik ketika ramai terdengar segelintir orang yang menggulirkan fatwa haram guna “membunuh” Facebook. Ah masa? Masa iya Facebook haram? Saya jelas tidak bersepakat dengan itu. Daripada menggunjing demikian, lebih baik menggunjing tentang bahaya rokok atau isu-isu lainnya saja kan? Tentunya itu kita lakukan melalui Facebook. Insya Allah 100% Halal!. -)

Source Pics: Flickr
Read more

Brand Friendship: Kesetaraan Produsen dengan Konsumen

,
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa hubungan yang kuat antara suatu brand dengan para konsumennya menjadi suatu aset yang penting bagi perusahaan manapun dalam mempertahankan eksistensi produknya di pasar. Hal ini pula yang kemudian membuat banyak perusahaan (khususnya bagian pemasaran) yang mati-matian membangun brand loyalty karena mereka menyadari bahwa loyalitas yang tinggi dari para konsumennya dapat menjadi competitive advantages di tengah persaingan pasar yang semakin sengit. Namun disadari atau tidak, memperlakukan konsumen hanya sebagai “aset” yang harus dipertahankan akan sangat berpengaruh bagi loyalitas konsumen itu sendiri.

Konsumen, apapun latar belakangnya, adalah makhluk sosial yang memiliki perasaan dan juga pikiran, bukan hanya sekadar aset yang apabila tak berguna kemudian dapat dicari lagi penggantinya. Terlebih lagi, saat ini konsumen sudah lebih cerdas dan kritis dalam memaknai peranan mereka. Mereka sudah lebih menyadari bahwasanya mereka memiliki kebebasan dan kekuasaan dan tak perlu lagi “didikte” oleh para diktator yang bernama produsen. Hal ini lah yang kemudian menuntut perusahaan untuk dapat membina hubungan yang lebih setara dengan para konsumennya. Kalau perlu, jadikanlah para konsumen sebagai sahabat, bukan hanya sebagai mitra, partner, dan semacamnya. Untuk itu, maka muncullah gagasan baru yang kemudian disebut dengan brand friendship.


Kosakata brand friendship bisa jadi adalah istilah baru yang jarang terdengar dalam dunia pemasaran kontemporer. Lalu, apa sebenarnya brand friendship itu?. Dalam praktiknya, brand friendship sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan brand loyalty. Hanya saja, brand friendship—sesuai dengan namanya—mempunyai kedalaman makna dan tentu saja, kekuatan ikatan dan hubungan antara subjek dan objeknya, dibandingkan dengan brand loyalty. Mudahnya begini, Ketika kita ditanya manakah yang hubungannya lebih dekat, loyalis atau sahabat? Tentu saja kita akan menjawab sahabat. Ditambah lagi, dalam membangun suatu brand friendship¸setidaknya diperlukan tiga hal utama yang menjadi katalisnya, yaitu sense of belonging, friendship, dan dependability.

Sense of Belonging

Tahap awal dalam menciptakan brand friendship yang sukses adalah sense of belonging (rasa memiliki). Konsumen yang sudah mempunyai sense of belonging terhadap suatu brand, maka tidak sulit rasanya untuk mempertahankan mereka dan terus meningkatkan tingkat loyalitas mereka. Sense of belonging ini sendiri sangat berbeda-beda dalam realitanya tergantung dari brand yang bersangkutan. Antusiasme para konsumen BMW dalam menghadiri acara launching tipe terbarunya bisa jadi termasuk ke dalam sense of belonging, namun lain halnya apabila yang melakukan launching tersebut adalah Toyota. Lantas, apakah yang menciptakan sense of belonging itu sendiri?. Menurut Steve Mckee dalam artikelnya di BusinessWeek, hal yang paling penting dalam menciptakan sense of belonging adalah relevansi. “Brands that generate the strongest sense of tribal identity are so relevant to the wants and needs of their customers that they generate a natural gravitational pull”, itulah sebagian dari argumennya mengenai relevansi dalam penciptaan sense of belonging. Namun, adanya sense of belonging ini belumlah cukup untuk menciptakan brand friendship yang baik karena masih memerlukan dua hal lagi untuk melengkapinya, yaitu friendship dan dependability.

Friendship

"The only way to have a friend is to be one." Dogma itu bisa jadi merupakan cara yang paling benar dalam menggambarkan apa arti pertemanan sebenarnya. Begitu pula jika dikaitkan dengan brand dari suatu produk, untuk dapat bersahabat dengan para konsumennya maka mau tidak mau ia mesti “melebur” dengan para konsumennya tersebut. Tampaknya hal ini pun sudah sangat disadari betul oleh beberapa merek terkenal, Starbucks misalnya. Bagi kebanyakan orang (di Amerika Serikat khususnya) kunjungan mereka ke kedai kopi tersebut ibarat kunjungan ke tempat kerabat atau teman dekat mereka di mana mereka dapat merasa nyaman dan familiar. Inilah kunci untuk membangun kedekatan dengan para konsumen, buatlah mereka familiar dan nyaman dalam menggunakan produk, baik itu bentuknya barang maupun jasa. Lagi-lagi, ini pun belum cukup untuk dapat membuat pertemanan yang solid. Perlu diingat bahwa tidaklah mungkin untuk memaksakan konsumen agar dapat merasa nyaman ataupun familiar dengan brand dari suatu produk. Untuk itu maka diperlukan hal ketiga, yaitu dependability.

Dependability

“true friend is someone you can count on”, itulah kunci terakhir dalam menciptakan brand friendship yang sukses. Brand yang sukses dalam menjalin hubugan dengan para konsumennya adalah brand/produk yang terbukti dapat diandalkan ketika para konsumen sedang membutuhkannya. Inilah yang kemudian membuat para konsumen BCA cenderung loyal dengan ATM BCA karena mereka terbukti dapat diandalkan ketika sedang dibutuhkan. Coba saja lihat berapa banyak jumlah mesin ATM BCA yang bertebaran, baik itu di kota besar, kota kecil, tempat perbelanjaan, kampus,rumah sakit, atau sekadar di pinggir jalan.

Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa pertemanan dengan konsumen memang benar-benar ada atau tidak—karena kesetaraan antara produsen dengan konsumen memang sulit tercipta— tidak ada salahnya bagi para marketer dalam menerapkan konsep brand friendship ini. meskipun nantinya konsumen target tidak benar-benar menjadi “sahabat” baik, setidaknya mereka sudah mengalami peningkatan loyalitas yang cukup signifikan pengaruhnya terhadap eksistensi suatu brand nantinya.



Read more

A Mild: Abundant Choices, Is a Problem?

,
Beberapa hari lalu, A Mild merilis iklan berjudul “Makin Banyak Pilihan, Makin Bingung Milihnya”. Dikisahkan, ada seorang laki-laki yang dengan “sakti” menawarkan berbagai macam barang mulai dari pesawat terbang hingga barang remeh-temeh dalam waktu singkat. Kemudian, di akhir iklan, muncul seorang pria lain yang dari mimiknya mengisyaratkan kebingungan untuk memilih barang-barang tersebut. Di sini saya tidak berniat membahas apakah iklan tersebut bagus atau tidak. Bukan, itu kapasitasnya teman-teman yang kuliah di advertising. Saya justru tertarik pada satu hal, apakah pilihan yang berlimpah menjadi sebuah masalah dalam kehidupan?


Sebelum dekade 2000-an, banyak pihak menilai bahwa pilihan yang terlampau berlimpah, jelas, menjadi masalah besar bagi individu dalam memutuskan mana yang mesti dipilih. Hal ini kemudian mendapat pembenaran oleh seorang Profesor Psikologi di Swathmore University, Barry Schwartz (2004). Dalam bukunya yang terkenal, The Paradox of Choice, Schwartz dengan yakin menyatakan bahwa terlalu banyak pilihan justru “melumpuhkan” masyarakat dalam menentukan mana pilihan terbaik yang mesti dipilih.
Dalam hal ini, Schwartz mengilustrasikan kisahnya sendiri ketika memilih celana jins di pusat perbelanjaan.

Schwartz, sebelumnya, belum memiliki preferensi celana jins jenis apakah yang hendak dibeli. Ia hanya ingin membeli dua celana jins berukuran 38 dan 28. Maka dari itu ia langsung meminta bantuan kepada pelayan. Alangkah “malangnya” (?) Schawrtz ketika pelayan tersebut memberikan pilihan yang cukup banyak dari segi jenisnya, mulai dari slim fit hingga faded. Schwartz jelas bingung untuk menentukan mana yang mesti dipilih.

Ia kemudian menyatakan bahwa pilihan yang begitu kompleks pada akhirnya membuat kita tertekan hingga menyebutnya sebagai suatu tirani. Kita mesti menginvestasikan waktu dan energi yang lumayan banyak. Belum lagi ditingkahi dengan keraguan, kegelisahan dan ketakutan akan pilihan yang nantinya akan kita pilih. Inilah yang kemudian menjadikan manusia “lumpuh”, alih-alih mendapat yang terbaik justru akhirnya ditikam “pahit” untuk tidak memilih apapun. Escape from Choice!

Namun keyakinan Schawrtz tersebut balik ditentang oleh Virginia Postrel. Dalam artikelnya, I’m Pro-Choice yang dimuat di Majalah Forbes, Postrel menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara memahami pikiran manusia (psikologis) dengan memahami karakter institusi pasar. Menurutnya, penelitian-penelitian psikologis lebih menitikberatkan pada penyesuaian apa yang benar-benar dibutuhkan oleh manusia dengan menghubungkannya pada pilihan-pilihan yang ada. Pada sisi lain, pasar justru tidak hanya memberikan pilihan berlimpah tapi juga memberikan cara bagaimana memilih secara efektif dari pilihan-pilihan tersebut.Karenanya, Postrel justru yakin bahwa kondisi pilihan yang berlimpah ini menciptakan ladang bisnis baru dalam kehidupan. Dengan yakin Postrel memberikan rekomendasi: Offer them abundant choices, but also help them search!

Amazon, iTunes, Rhapsody, bahkan mungkin YouTube, benar-benar menjadi bukti keyakinan Postrel. Bisnis-bisnis tersebut tidak hanya menawarkan pilihan produk yang sangat, sangat berlimpah tapi sekaligus juga memberikan tool yang menjadi panduan Anda dalam memilih secara efektif. Masyarakat mendapat kemudahan karenanya. Wajar jika mereka mengalami kemajuan yang signfikan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kenapa itu bisa terjadi?

Menurut Chris Anderson (2006) dalam The Long Tail, teknologi informasi khususnya internet telah menjadikan itu semakin booming. TI telah merevolusi cara suatu perusahaan dalam melakukan store management. Lihatlah iTunes dapat menyimpan miliaran track musik tanpa harus menyewa ruangan sangat besar untuk menjadi super-store macam Wall-Mart. Selain itu, internet pun telah memudahkan perusahaan dalam memberikan filter kepada masyarakat untuk memilih produk-produk yang memang dicarinya. Mulai dari online-search catalogue yang akurat, Google, hingga rekomendasi-rekomendasi horizontal dari blog atau forum-forum internet. Akhirnya, masyarakat merasakan manfaat dari pilihan yang berlimpah tersebut karena diberikan juga filter untuk menentukan pilihan yang terbaik dari semuanya itu.

Inilah pasar Long Tail, dimana pilihan yang tak terbatas menghasilkan keuntungan yang luar-biasa besarnya. Maka, hendakkah kita bimbang, bingung dan tertekan seperti digambarkan oleh iklan A-Mild tatkala pilihan itu berlimpah? Mestinya kita bersuka-cita karenanya.

Source Pic: Flickr

Read more

Antara Repression 2.0. dan Join the Conversation

,
Somebody out there is talking about you. Nobody can control the online conversation. (Christhoper Locke)

Semenjak kehadiran web 2.0. beserta prasasti-prasastinya macam blog, Facebook dan media jejaring sosial lainnya, lanskap interaksi manusia berubah secara revolusioner. Interaksi antar manusia menjadi langsung tanpa sekat apalagi perantara. Semuanya terjadi begitu vulgar tanpa saringan resmi. Mudahnya: tidak (boleh) ada dusta di antara kita.

Kecederungan kontemporer macam ini akhirnya juga berdampak pada interaksi antara negara dengan rakyatnya, politikus dengan konstituennya, atau pun perusahaan dengan pelanggannya. Pihak-pihak yang saya sebut terakhir—rakyat, konstituen, pelanggan—sebelumnya hanya menjadi subordinat dalam lanskap interaksi manusia. Pihak-pihak ini seringakali hanya dicekoki informasi, aturan dan lainnya secara vertikal tanpa punya kuasa untuk melakukan kontrol sosial secara langsung. Walhasil, pihak-pihak ini mesti menjadi “political animal”, dan “business animal” yang selalu dirugikan.


Tapi, semenjak kehadiran web 2.0. semuanya berubah secara signifikan. Pihak-pihak terpinggirkan tersebut mendapat kembali kuasanya untuk berinteraksi secara langsung dalam posisi yang horizontal dengan pihak lainnya. Tengoklah, kini, para pelanggan bebas memberikan kritik terhadap perusahaan jika terjadi praktek-praktek bisnis yang menyimpang. Tengok pula, apa yang dilakukan rakyat di berbagai negara yang bebas melakukan kontrol dan kritik sosial kepada penguasanya.

Penguasa, politikus, dan perusahaan kini tak bisa hidup tenang jika melakukan perbuatan tercela. Di luar sana banyak orang yang menggunjing tentang pelbagai kebobrokan yang telah dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Penguasa, politikus dan perusahaan, jelas, tak memiliki kuasa untuk mengontrol crowd yang kian eksis baik dari segi kuantitas ataupun militansi penyebaran idenya.

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh 3P itu?

Bagi negara totaliter macam China, konstelasi macam demikian tetaplah harus dilawan dengan tindakan represif. Anda mungkin ingat ketika mencuatnya kasus Tibet beberapa waktu lalu. Pemerintah China, ketika itu, mendapat banyak kritikan tidak hanya dari luar tapi juga dari masyarakatnya sendiri. Ketika itu, banyak blog ataupun diskusi-diskusi di forum maya yang mengecam tindakan represif pemerintah terhadap para biksu di Tibet.

Pemerintah China, dalam hal ini, sadar bahwa sangat susah untuk melakukan pembredelan secara menyeluruh, karena kritikan itu muncul begitu banyaknya. Pemerintah China akhirnya menerapkan pola unik dalam mengawasi rakyatnya di dunia maya. Mereka menciptakan avatar bergambar polisi komunis China yang disebar ke seluruh forum-forum diskusi ataupun media jejaring sosial yang digunakan masyarakat China. Sepertinya, rezim ingin mengabarkan bahwa tindak-tanduk rakyat di dunia maya pun tidak akan lewat dari pemantauan mereka. Inilah yang disebut Adam B. Kushner dalam artikelnya di Newsweek sebagai Repression 2.0.

Pilihan berbeda diambil oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin. Ketimbang melayani makian warganya dengan represif macam China, Rudy justru giat membangun conversation dengan warganya. Seperti diceritakannya pada Detik.com, Rudy gemar sekali menggunakan Facebook sebagai sarana merespon kritik dan makian warga masyarakatnya. Diakui Rudy, interaksi lewat Facebook membuat ia merasa dekat dengan warganya karena interaksi berlaku tanpa sekat. Dalam hal ini, nilai plus bagi Rudy adalah ia menggunakan Facebook-nya sendiri tanpa bantuan dari para staffnya.

Bagi negara yang melek internetnya masih relatif rendah, fenomena Rudy Ariffin bak oase di gurun Sahara. Ia mampu membawa satu budaya baru dalam lanskap interaksi penguasa dengan warganya. Rudy mampu memposisikan dirinya pada barisan horizontal dengan warganya. Dan memang semestinya demikian, toh Rudy pun merupakan mandataris rakyat yang mesti dekat dan mempertanggungjawabkan mandatnya pada warganya.

Selain itu, Rudy pun mencecap manfaat yang luar biasa hebatnya. Ia tentu semakin populer di kalangan masyarakat Kalsel yang gemar ber-Facebook. Rudy pun semakin mudah mengontrol kritik dan makian warganya secara langsung. Toh ia sendiri yang menangani kritik dan makian ini. Rudy telah memilih untuk terjun langsung, bercakap-cakap dengan warganya ketimbang mengerahkan polisi pamong praja untuk menghakimi warganya yang kritis.

Repression 2.0. dan Join the Conversation adalah pilihan. Tapi bagi saya yang anti-penistaan dan penindasan, tentu lebih arif menonton apa yang dilakukan oleh Rudy Ariffin, ketimbang menikmati apa yang dilakukan pemerintah China. Welcome to the Horizontal World!

Source Pic: Flickr

Read more

Life is Short, Have an Affair

,
Ketika palu godam krisis finansial global menghantam, banyak perusahaan di dunia ini yang tunggang-langgang menghindari kebangkrutan. Bahkan, raksasa otomotif macam Chrysler pun tak kuasa menahan bencana kebangkrutan. Inilah saat dimana banyak perusahaan—baik skala kecil, menengah, atau besar—ditikam cemas akan keberlangsungan usahanya.

Namun, bagi perusahaan unik dan kreatif seperti Ashley Madison Agency, downturn ekonomi macam begini justru menjadi penopang progresivitas usahanya (a boon for business). Bayangkan—berdasarkan laporan Daily Telegraph—Ashley Madison berhasil meningkatkan member-nya dari 1 juta orang menjadi 3,6 juta orang hanya dalam tempo waktu 12 bulan saja. Di tengah krisis finansial akut macam begini, apa yang didapat Ashley Madison jelas sebuah fenomena luar biasa.

Lantas apa yang sebenarnya dilakukan oleh Ashley Madison (AM)?

AM adalah sebuah agency yang menjadi perantara orang-orang untuk mencari pasangan selingkuhan (make an Affair). Di tengah hantaman krisis seperti ini, ternyata banyak pasangan di Inggris yang dilanda konflik rumah-tangga. Ya, sebabnya banyak mulai dari sang kepala rumah-tangga yang kehilangan pekerjaan ataupun sebab-sebab lain yang Anda semua juga sudah familiar dengan konflik dalam rumah. Pasangan-pasangan tersebut, sebenarnya, sudah tidak kerasan lagi dalam membina rumah-tangganya. Mereka ingin pisah, kalau mengikuti hasrat jiwanya. Sayangnya, untuk bercerai macam demikian ternyata menimbulkan biaya yang cukup besar (high cost divorce kali ya?).

Coba bayangkan untuk bercerai Anda perlu menyewa pengacara yang tarifnya kian mahal, belum lagi masalah proses dan peraturan dalam sidang perceraian. Semua itu sangat, sangat high cost baik dari segi materi, waktu, ataupun tenaga. Kondisi ini, akhirnya, membuat pasangan-pasangan tersebut terpaksa (dipaksa?) untuk terus hidup bersama dalam mahligai pernikahan.

Melihat kecenderungan ini, AM dengan kreatif menjadi agen para pasangan-pasangan tidak bahagia tersebut untuk mencari pasangan selingkuh tanpa harus bercerai (emang, kan Selingkuh=Selingan Indah Keluarga tetep Utuh..:D). Ternyata, kreativitas AM ini diterima banyak orang Inggris. Banyak pasangan-pasangan tidak bahagia yang menggunakan jasa AM dalam mencari affair-nya. AM pun meledak di tengah krisis. Noel Biderman—sang founder dan chief executive—berkelakar "We're not just recession-proof, we're booming," (Telegraph, 3/3/2009).

Dari fenomena ini, saya melihat satu kecenderungan unik dari bisnis-bisnis yang meledak di tengah krisis. Ternyata, peluang bisnis yang paling besar meledak itu adalah bisnis-bisnis yang mengakomodir self-recovery manusia yang terlalu stress menghadapi krisis. Ya, mudahnya bisnis-bisnis yang bernuansa hiburan. Kita dapat membuktikannya lewat fenomena AM yang saya jelaskan di atas.

Selain itu, kita juga dapat melihatnya dari booming game yang embedded di situs-situs jejaring sosial macam Facebook. Kalau Anda sering ber-Facebook ria, Anda pasti menemukan banyak teman Anda yang sering bermain Pet Society, Mafia Wars atau game-game lainnya. Benar, game-game macam itu ternyata memang menghasilkan profit yang lumayan besar. Ya, seperti oase di tengah gurun mungkin.

AM dan game berlandas dari titik yang sama: menghibur orang. Himpitan beban hidup sudah kadung menerkam jiwa manusia. Stres adalah fenomena umum, jika bukan depresi ataupun gila. Akhirnya, banyak orang mencari kesenangan diri untuk melarikan dari stres berkepanjangan. Mereka ternyata masih ingin hidup, hidup yang senang, terlepas dari problematika akut. AM dan game-game seperti Pet Society akhirnya menjadi pelarian.

Ah..ternyata Biderman memang benar daripada hidup berkubang duka mending berkubang senang dengan selingkuh..Life is Short, Have an Affair. Walaupun secara tidak sadar mereka sedang “ditawan” oleh para marketer kreatif yang tertawa menikmati profit di belakang mereka.

Source Pic: Share Result
Read more

Social Media: Celeb Effect

,
Where celebrities go, fans follow. Truisme macam ini juga dapat diaplikasikan di dunia maya (social media), sama halnya dengan di dunia nyata. Coba saja kita tilik, ketika para selebritis mulai menggunakan fasilitas social media seperti Twitter, Facebook, MySpace, Tumblr, maka tidak jarang para fansnya akan mulai mengikuti jejak langkah dari idolanya tersebut. Hal senada juga diamini oleh David Karp, penggagas Tumblr, yang mengatakan bahwa “membuat para selebritis untuk mau menggunakan fasilitas ini merupakan dari rencana bisnis kami”. Efeknya jelas, dengan bergabungnya para selebritis maka akan membuat situs tersebut semakin banyak dikunjungi oleh visitor. Ini tentu saja berpengaruh positif pada web traffic situs tersebut yang ujung-ujungnya memberikan keuntungan bagi sang pengelola.
Lantas, apa yang menjadi tujuan dari para selebritis tersebut untuk mau menggunakan social media? Sedikitnya ada dua tujuan utama, sebagai media promosi brand mereka, dan sebagai wadah perantara antara selebritis dengan para fansnya. “ Sudah menjadi kebutuhan sekarang untuk memiliki akun Facebook”, kata Robert Passikoff, presiden dari Brand Keys yang melakukan penelitian tetang nilai (value) dari celebrity brands.


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keuntungan tidak hanya berjalan satu arah, namun dua arah. Selain para selebritis yang memperoleh keuntungan dengan adanya media promosi dan interaksi efektif yang gratis, pengelola situs pun memperoleh keuntungan dengan masuknya para selebritis ke dalam lingkaran bisnis mereka. Sebagai contoh, bergabungnya Oprah Winfrey dalam situs microblogging Twitter telah meningkatkan persentase kunjungan ke situs tersebut menjadi 43% hanya dalam waktu satu minggu, sebagaimana yang dilansir oleh perusahaan analisis Hitwise. Hal serupa juga dialami oleh situs –situs berbasis Web 2.0 lainnya seperti Tumblr, Youtube, Ning yang mengalami peningkatan jumlah pelanggan apabila ada selebritis yang mengunggah profilnya ke situs mereka.

Semakin banyaknya jumlah selebritis yang bergabung ke dalam situs-situs tersebut ternyata juga membuka peluang bisnis baru bagi para pengelola situs yang bersangkutan. Coba saja kita tengok Tumblr yang membuatkan professional-looking blog bagi John Legend, atau Ning yang membuatkan premium page bagi para selebritis atau orang terkenal lainnya yang menginginkan agar pagenya bebas dari iklan. Tak hanya sampai di situ, para social networking celebrities juga menghasilkan sumber pendapatan baru dengan bergabung di situs-situs semacam itu. Dengan hadirnya mereka di social media sites, mereka dapat dengan mudah mempromosikan produk-produk mereka, baik itu album terbaru, hit single, ataupun melakukan pelelangan barang-barang mereka kepada para fansnya. Keuntungan pun dialami juga oleh para fans selebriti yang terkait, sebagai contoh, para fans dari 50 Cent misalnya, mereka membuat komunitas tersendiri di Ning dan sebagai hasilnya mereka mampu mengenal satu sama lain lebih dalam tanpa terbatas wilayah, waktu, ataupun umur.

Hadirnya social media memang semakin menyemarakkan dunia selebriti dan tak sedikit pihak yang meraup keuntungan dengan eksistensi situs-situs social media. Peluang bagi para selebritis untuk semakin melejitkan citra dan brand dirinya menjadi semakin mudah dengan adanya social media macam ini. Namun ironis, peluang ini hanya baru ditangkap oleh para selebritis “luar” saja, berbeda dengan selebritis lokal kita yang cenderung hanya dapat menggunakan promotion tools yang cenderung konvensional.

Read more

Merangsang Kepedulian Konsumen Muda

,
All..ini adalah tanggapan saya atas merebaknya dendeng sapi yang ternyata dicampur daging babi beberapa waktu lalu. Artikel ini telah dipublikasikan oleh Harian Pikiran Rakyat (Bandung), Selasa (28/04)
----------------------------------
Merangsang Kepedulian Konsumen Muda
Oleh VERI NURHANSYAH TRAGISTINA

Beberapa hari lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memublikasikan sejumlah merek dendeng sapi yang mengandung daging babi. Di negeri ini, isu dan kasus-kasus semacam itu sering termarginalkan isu-isu lain macam politik dan isu lainnya. Padahal, kasus-kasus demikian sering tampil dan berpengaruh besar terhadap masyarakat. Sebelumnya, kita dikejutkan oleh penemuan melamin dalam biskuit, bakso yang dicampur boraks, dan yang fenomenal adalah tampilnya produk tahu yang diawetkan dengan menggunakan formalin.

Dalam ilmu pemasaran, sebenarnya konsumen adalah pihak yang digelandang pada strata paripurna. Ia menjadi "dewa" dalam mekanisme pemasaran produk suatu perusahaan. Segala keluh-kesah konsumen menjadi bahan pelajaran penting dalam meningkatkan kualitas baik produk ataupun pelayanan perusahaan. Bahkan, pada praksisnya, tercipta adagium "konsumen bebas marah, tetapi perusahaan dilarang membalas".

Kecenderungan itu sebenarnya menjadi peluang bagi konsumen untuk melakukan kontrol sosial terhadap produk dan aktivitas pelayanan perusahaan. Ia memiliki kuasa untuk menerkam ketidakjujuran yang dilakukan perusahaan. Lantas, kenapa kasus-kasus seperti itu selalu tampil ke permukaan?

Sejak reformasi menjadi alat merevolusi negeri ini, informasi hadir menyeruak bak air bah. Ia hadir melingkupi banyak ruang, menerabas batas kota dan desa. Ia hadir hampir ke seluruh ruang termasuk ruang-ruang terpencil sekalipun. Hal itu didukung pula kemajuan teknologi. Internet maupun media-media mainstream lainnya mengalami kemajuan yang signifikan.

Pada konteks perlindungan konsumen, konstelasi kontemporer semacam itu memberi peluang dalam mencegah dan menekan praktik pembohongan oleh perusahaan. Apalagi setelah Tim O’Reilly mengintroduksi konsep Web 2.0. pada 2004. Teknologi internet khususnya, semakin interaktif dan dua arah. Konsumen mudah mendapatkan informasi tentang suatu produk dari pelbagai sudut. Sehingga berkecenderungan membuat konsumen lebih cerdas dalam menentukan apakah suatu perusahaan berbohong atau tidak dalam mempromosikan kualitas produknya.

Di negara-negara Barat yang tingkat melek internet nya tinggi, kemajuan teknologi informasi benar-benar menjadi alat signifikan dalam melakukan kontrol sosial terhadap perusahaan. Konsumen di sana mendapatkan kuasanya kembali sebagai pihak paripurna dalam mekanisme pemasaran perusahaan.

Di negeri ini situasinya berbeda. Walau teknologi informasi berlari sama tunggang-langgangnya, ternyata hanya sebagian kecil yang menikmati manfaat kemajuan teknologi tersebut. Akibatnya fatal, kuasa konsumen tercerabut dari akarnya. Kontrol sosial yang dilakukan konsumen masih sangat minim dan tidak signifikan. Apalagi, instrumen negara macam BPOM sering ketinggalan langkah dalam melakukan pengawasan mutu dalam bingkai perlindungan hak-hak konsumen.

Konsumen muda

Penulis masih optimistis jika internet adalah moda kontrol sosial konsumen yang signifikan di negeri ini. Memang, tingkat melek internet masih rendah, tetapi prevalensi melek internet di Indonesia berkecenderungan untuk signifikan di kemudian hari. Bahkan, menurut kantor berita Antara, pengguna internet akan tumbuh 40% di tahun 2009 ini menjadi sekitar 35 juta pengguna (Antara, 27/01).

Saya pikir sebagian besar dari jumlah itu berasal dari kalangan muda. Benar, saat ini adalah era kedigdayaan net generation. Generasi ini diperkuat barisan manusia muda yang lahir pada periode 1977-1997. Generasi inilah yang sedang dan bakal memimpin percaturan informasi dunia dalam beberapa dekade ke depan.

Sebelumnya, banyak orang yang ditikam cemas akan hadirnya generasi ini. Net generation, awalnya, dianggap sebagai me generation yang introvert, cuek, dan tidak peduli pada kondisi sekitar. Ia hanya terbenam pada kesenangan sendiri di balik layar komputer atau laptopnya. Namun, hal tersebut terbantahkan. Don Tappscot dalam Grown Up Digital, memuat temuan bahwa net generation adalah generasi yang memiliki kepedulian tinggi terhadap sekitar.

Realitas ini memberi kabar gembira dalam konteks perlindungan konsumen di tanah air. Para konsumen muda yang dianggap sebagai net generation mesti diberdayakan dalam mendiseminasikan kontrol sosial atas suatu produk. Kini, telah banyak media sosial semacam blog, facebook, youtube, dan twitter yang menjadi prasasti dalam membuka kebohongan yang dilakukan oleh perusahaan.

Konsumen muda mesti dirangsang untuk menggalakkan wacana, review, dan kontrol sosial atas suatu produk atau perusahaan di media-media tersebut. Saat itulah, wacana-wacana tersebut akan merebut perhatian publik dan media-media mainstream lain seperti televisi dan surat kabar. Hal ini akan menarik mekanisme diseminasi isu lintas media dari media internet ke media mainstream yang banyak terjangkau oleh masyarakat. Dan karenanya, konsumen negeri ini akan semakin melek terhadap kebohongan yang dilakukan produsen sebagai ekses kepedulian dan kepemimpinan konsumen muda dalam mencacah percaturan informasi di tanah air. ***

Penulis, peminat Societal Marketing pada Program Studi Ilmu Administrasi Niaga Universitas Indonesia.

Source Pict: Flickr
Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger