"Gan Marketing": Memasarkan di Kaskus

,

Kaskus, siapa sih yang tidak mengenal situs komunitas yang satu ini? saya yakin setiap orang yang pernah menjelajahi dunia maya pastinya sudah mengetahui keberadaan dan eksistensi situs yang satu ini, terutama kita-kita ini, orang Indonesia. Semenjak diluncurkan beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 1999, keberadaan Kaskus sudah menjadi fenomena tersendiri bagi perjalanan situs komunitas di belantika dunia maya, khususnya Indonesia. Banyak sekali hal-hal yang dapat kita temukan di Kaskus, mulai dari info terkini, jual-beli barang, berita populer, dan tentunya juga pemasaran. dalam hal bisnis, cukup banyak orang-orang ataupun perusahaan yang singgah untuk memasarkan produk-produk mereka di situs ini (dengan membuka “lapak” atau pasang iklan) atau hanya sekadar membuka thread agar dapat berinteraksi dengan masyarakat luas mengenai produk mereka.
 
Banyaknya orang ataupun perusahaan yang mencoba untuk memasarkan produk mereka di situs ini bukanlah tanpa sebab. Kaskus merupakan situs komunitas maya yang terbesar di Indonesia dengan jumlah member yang mencapai lebih dari 800 ribu orang dan hingga saat ini diperkirakan sudah mencapai lebih dari 75 juta posting-an yang dikirimkan. Selain itu, sebagaimana yang dilansir oleh situs alexa.com, Kaskus menempati urutan ketujuh situs yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat Indonesia, dengan jumlah page view yang mencapai 3.500.000 per harinya. Meskipun pada awalnya Kaskus terkenal dengan citra negatifnya sebagai media underground dan situs porno (terutama karena adanya forum BB-17 dan Fight Club yang sekarang sudah dihapus), namun seiring dengan diberlakukannya UU ITE, maka situs ini pun menjadi lebih “halus” dan lebih diterima oleh masyarakat luas. 
Dengan besarnya peluang pasar yang terdapat di Kaskus, maka tak heran apabila Kaskus juga menjadi salah satu media Viral marketing yang paling efektif di Indonesia. Yang membuat viral marketing di Kaskus menjadi unik dan berbeda dengan yang lainnya adalah bahwa para marketer yang hendak berkontribusi di Kaskus, mau tak mau harus menyesuaikan dengan “atmosfer” yang ada di Kaskus. Maka tak heran apabila kita menjumpai orang atau perusahaan yang menawarkan produknya menggunakan bahasa komunikasi ala Kaskus. Kata-kata seperti “barangnya bagus gan”, “recommended seller”, “sundul lagi”, dan lainnya seperti sudah menjadi suatu keharusan apabila ingin membuka atau bergabung di suatu thread. Jarang sekali kita temui cara berkomunikasi yang sifatnya formal dalam forum Kaskus (kecuali memang ada ketentuan dalam forum tersebut) dan inilah yang membuatnya unik.


Thread-thread di Kaskus juga menjadi media Word of Mouth yang terbilang sangat efektif dan efisien, baiknya yang sifatnya negatif ataupun positif. Cukup banyak seller-seller produk yang menjadi “highly recommended” atau malah “not recommended” untuk dibeli produknya akibat dari WoM di forum-forum Kaskus. Saya pribadi pernah menemukan suatu toko yang benar-benar sangat direkomendasikan oleh para pengguna Kaskus pada suatu forum dan pengaruhnya ternyata sangat besar bagi toko tersebut. Banyak orang yang kemudian mengunjungi toko tersebut atas banyaknya rekomendasi dan kemudian terus merekomendasikannya kembali kepada orang-orang lainnya. Sebaliknya, ada juga toko yang terang-terangan dilarang oleh para user forum untuk dikunjungi dan membeli barang di situ. Hasilnya jelas, toko tersebut benar-benar berkurang pelanggannya dan cenderung sepi.


Saya pribadi juga cukup kaget dengan dampak dari WoM yang ada di Kaskus yang ternyata sangatlah signifikan. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan Wom ataupun viral marketing yang ada pada situs jejaring sosial ataupun social media seperti Facebook, atau Twitter. Menurut saya pribadi, Kaskus memang cukup sesuai dengan pribadi kebanyakan orang-orang Indonesia sehingga wajar kalau WoM di Kaskus lebih cepat menyebar daripada situs-situs lainnya di Indonesia yang kebanyakan dimiliki dan dirancang oleh pihak asing. Jadi, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Kaskus akan mampu untuk mengalahkan kedigdayaan situs semacam Facebook atau Friendster di Indonesia. Mantap gan!!!



Read more

Dangdut 2.0

,
Apakah Sahabat tahu siapa itu Mela Barbie, Lina Geboy, atau Hesti Bohay? Sahabat mungkin malah bertanya, siapa mereka? Memang, mereka bukanlah selebritas terkenal bak Manohara. Tapi, jauh di belahan lain mereka adalah para primadona yang ditunggu performance baik secara live atau pun video-nya. Bagi Sahabat yang belum terlalu faham, mereka adalah para penyanyi kelas hajatan, atau acara kemasyarakatan di kampung-kampung. Namun jangan kira, mereka justru menjadi penyanyi dangdut populer di YouTube. Tengok saja beberapa video mereka telah di view ratusan ribu kali. Sekedar contoh, video Mela Barbie yang berjudul “Mencari Mangsa” telah di view sekitar 282.685 (buktikan di sini). Lebih dari itu, banyak video mereka yang telah merangsek, merebut perhatian khalayak YouTube. Pertanyaannya, mengapa mereka menjadi begitu populer.

Argumen pertama pasti karena mereka adalah penyanyi dangdut yang seksi, dan menjual goyangannya. Itu tak dapat dipungkiri. Masalahnya, mengapa mereka begitu populer di dunia maya padahal mereka berdiam entah di dunia antah berantah mana?

Menurut Chris Anderson (2006), inilah fenomena Long Tail yang dibikin oleh kemajuan internet khususnya media-media web 2.0. Masyarakat terkena sindrom DIY (Do It Yourself). Alih-alih mengiba belas kasihan pada label rekaman, atau production house, mereka justru membikinnya sendiri. Berbekal handycam, atau kamera handphone, masyarakat kini menjadi produsen amatir yang justru membikin produk semakin berlimpah. Inilah kekuatan pertama Long Tail: Demokratisasi Sarana Produksi.

Penampilan Mela Barbie dkk jelas tak akan disiarkan oleh stasiun TV mainstream. Bisa-bisa stasiun TV tersebut terkena pencekalan. Sebagian pencinta dangdut pasti terkena “dahaga” kronis akibat kekurangan sajian itu. Tapi, semenjak YouTube hadir, semua itu sedikit banyak terminimalisir. Banyak production house-production house (PH) amatir yang secara militan mendokumentasikan penampilan si biduan panggung tersebut. Dari hajatan ke hajatan, mereka selalu ada untuk memuaskan dahaga Anda akan musik Dangdut, karena dengan internet everyone can be a producers.

Mela Barbie dkk, telah menjadi bukti luar biasanya Long Tail. Ia membikin segala hal menjadi tersedia. Inilah era dimana pilihan menjadi begitu tak terbatas. Semua kebutuhan Sahabat, saya yakin akan dapat terpenuhi. Sahabat butuh buku-buku lawas? Sahabat tinggal ubek-ubek saja Amazon.com. Sahabat butuh musik-musik lawas? Sahabat tinggal ubek-ubek iTunes. Atau sahabat butuh video-video dangdut koplo seperti Mela Barbie dkk? Sahabat tinggal ubek-ubek saja YouTube. Semuanya telah tersedia berkat internet.

Kini, kelangkaan barang bukan lagi penghalang dalam mekanisme supply and demand. Kelangkaan justru beralih dari barang ke perhatian (attention). Ya, saking tak terbatasnya pilihan, maka yang langka justru perhatian untuk memilah pilihan-pilihan mana yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan kita.

Hal tersebut pada awalnya menjadi kritik terhadap para pengusung Long Tail. Barry Shcwatz dalam Paradox of Choice (2006) misalnya, mengungkapkan bahwa pilihan berlebih justru bakal “melumpuhkan” masyarakat. Alih-alih mendapatkan apa yang dibutuhkan, masyarakat justru akan putus asa dan tidak jadi membeli.

Namun, para pengusung Long Tail memberikan solusi bahwa pilihan tak terbatas mesti dipadankan dengan filter untuk menyaring berbagai pilihan tersebut agar sesuai dengan kita. Inilah yang dapat menjelaskan kenapa video-video amatir Mela Barbie dkk merebut banyak perhatian. YouTube jelas telah menerapkan mekanisme filter yang akurat. Mulai dari pencarian keyword hingga filter related videos ketika kita membuka salah satu video. Filter inilah yang kemudian membantu kita merambah dunia bawah tanah, laiknya dunia Mela Barbie dkk.

Karenanya, jika banyak orang beranggapan Dangdut kini telah mulai menyentuh azalnya, Sahabat mesti memikirkan ulang. Internet dan mekanisme Long Tail-nya justru membikin itu tetap hidup dalam kerumunan yang khusus (niche). Mereka akan hidup dan terus hidup seiring tunggang-langgangnya zaman. Saya pun berani berkelakar: Dangdut takkan pernah mati, karena dangdut telah berevolusi menjadi Dangdut (versi) 2.0.!

Source Pic: Mela Barbie @ Facebook.

Read more

Balada cincin kematian (Red Ring of Death)

,

Bagi para penggemar/maniak game seperti saya mungkin istilah RROD (Red Ring of Death) bukanlah suatu hal yang asing dan tidak familiar. Yep, istilah ini digunakan untuk penyebutan suatu “penyakit” yang melanda console game Xbox 360 semenjak awal perilisannya. Dan tentunya bukan menjadi rahasia lagi bahwa Xbox 360 pun menjadi salah satu kompetitor utama di pasar console game dunia saat ini yang bahkan sanggup mengalahkan kedigdayaan sang maestro console, Playstation dengan PS 3-nya. Lalu apa hubungannya antara RROD dengan larisnya penjualan console game ini? inilah yang akan saya coba tulis di sini.

RROD (Red Ring of Death) merupakan suatu kerusakan yang hampir pasti akan dialami oleh setiap pemilik console game Xbox 360, cepat ataupun lambat. Kerusakan yang dialami berupa terjadinya kematian mendadak pada console tersebut yang ditandai dengan munculnya red sign pada sekeliling tombol power console. Kerusakan ini sendiri sangatlah mengganggu pemiliknya, betapa tidak? Xbox 360 yang terkena serangan maut ini hampir pasti akan rusak total atau kalau pun dapat dibetulkan peluang untuk terserang kembali sangatlah besar. Kejadian ini bagi para gamer sejati tentu saja akan sangat mengganggu, untuk memperbaikinya saja memerlukan waktu hingga berminggu-minggu dan dengan tanpa jaminan betul-betul akan sembuh total. Alhasil, para gamer yang consolenya sudah terlanjur terkena “cincin kematian” ini mau tak mau mesti membeli lagi console yang baru. (untuk mengetahui penyebab RROD dapat di klik di sini)

RROD ini sendiri sebenarnya tak muncul pada Xbox generasi sebelumnya, yang mengalami kekalahan cukup telak dari pesaingnya yaitu
Nintendo GC dan PS 2. Banyak penyebab kalahnya Xbox dari persaingan ini, salah satunya adalah desain bentuk dari Xbox yang kurang menarik dan bahkan disebut seperti “meja yang tanpa kaki” di Jepang. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Microsoft pun lantas mati-matian mengubah desain Xbox berikutnya dengan meng-hire banyak desainer jenius untu merancang Xbox 360, dan hasilnya terbukti dapat diterima dengan baik oleh khalayak gamer. Nah, lalu muncullah permasalahan RROD tak lama setelah perilisannya, namun tanpa diduga sebelumnya ternyata RROD ini justru tak berpengaruh signifikan terhadap penjualan console Xbox 360 yang cenderung meningkat.

Sebagai respon atas munculnya problema RROD ini, pihak Microsoft sendiri sebenarnya sudah mencoba menanggulanginya dengan memperbarui berbagai macam komponen di Xbox 360 agar lebih tahan terhadap RROD. Maka muncullah berbagai macam versi Xbox 360, mulai dari yang paling awal seperti
xenon, Zephyr, Falcon hingga yang terbaru yaitu Jasper. Pembaharuan komponen ini sendiri tak menjamin bahwa Xbox 360 100% aman dari RROD, peluang masih ada, hanya lebih kecil. Dengan terus diperbaharuinya Xbox 360, tentu saja banyak para pemilik Xbox 360 yang kemudian mengganti miliknya dengan versi yang lebih baru (yang punya Xenon beli lagi yang Falcon, atau yang punya Falcon membeli lagi Jasper) agar lebih awet dan lebih menjamin kepuasan bermain tentunya. Banyaknya pemilik console versi sebelumnya yang kemudian membeli lagi tentu saja berpengaruh pada kenaikan penjualan Xbox 360. Meskipun tak mengalami pengaruh yang cukup signifikan terhadap penjualan Xbox 360, namun Microsoft cukup dibuat ketar-ketir oleh RROD ini, belum lagi dengan adanya error lain pada console seperti disc scratches yang sempat membawa pihak Microsoft ke meja pengadilan pada tahun 2007 karena dianggap mengabaikan dan tak memberikan tindak lanjut yang pantas atas komplain konsumennya terkait dengan error tersebut.

Kalau kita coba tinjau lebih jauh lagi dari aspek pemasaran, maka kita akan menemukan istilah yang lazim disebut dengan product life cycle atau daur hidup produk. Dapat dikatakan bahwa Xbox 360 saat ini masih berada dalam tahap pertumbuhan (growth). Indikasinya dapat dilihat pada terus berkembangnya peningkatan kualitas produk (mulai dari Xenon, hingga Jasper), adanya penambahan fitur-fitur baru (seperti New Xbox Experience), dan harganya pun mulai turun. Adanya RROD justru menjadi semacam katalisator bagi terus berkembangnya Xbox, baik dari segi penjualan maupun dari sisi pengembangan produk. Pihak Microsoft pun tampaknya cukup cerdas dalam membidik konsumen target mereka dengan menggunakan game-game yang tersedia di Xbox. Konsumen-konsumen Xbox 360 adalah para game loyalis yang lebih terpikat pada kenikmatan dan pengalaman bermain game ketimbang kualitas dari console game tersebut. Coba saja lihat, walaupun sudah jelas-jelas mempunyai “penyakit” mematikan, namun tetap saja banyak yang berminat membelinya. Saya sendiri pernah mendengar dari suatu forum game bahwa ada seseorang yang membeli Xbox 360 lebih dari tiga kali karena terkena RROD tersebut, spektakuler!!!!

Terlepas dari itu semua, memang perlu diacungi jempol atas kesuksesan Microsoft dalam merancang strategi pemasaran Xbox 360, meskipun mereka sendiri termasuk dalam pendatang baru dalam dunia industri console game (hardware). Saya sendiri sebenarnya cukup tertarik untuk membeli konsol ini, namun karena adanya RROD ini akhirnya saya lebih tertarik untuk membeli Wii ketimbang Xbox 360. Bagaimanakah dengan Anda??



Read more

Apakah Manohara Akan Cepat Meredup?

,
Banyak orang, kemudian, menaruh curiga terhadap apa yang diungkapkan Manohara Odelia Pinot perihal kekerasan yang dilakukan sang suami terhadap dirinya. Mulai dari tarik-ulur pelaksanaan visum hingga pengunduran diri O.C. Kaligis dari tim pengacara dirinya, telah membikin persepsi bahwa Manohara bohong belaka. Dia membikin semua itu guna melambungkan popularitasnya yang memang belum terlalu kentara. Terlepas dari pro-kontra demikian, satu pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan kasus ini nama Manohara akan terus melambung, atau justru semakin meredup?

Dalam ilmu pemasaran dikenal istilah fad marketing (FM). Istilah ini merujuk pada usaha atau strategi perusahaan (bisa juga individu) untuk mengenalkan produk secara cepat, melakukan pemasaran secara highly targeted, dan bermuara pada pembatasan produksi. Perusahaan membikin suatu produk hit untuk kemudian menghilang dari pasar (one night stand) untuk kemudian membikin produk lain. Contoh dari ini adalah Nokia. Sahabat pasti aware atas kegemaran Nokia membikin produk dalam waktu yang relatif rapat. Inilah praktek konkret fad marketing.

Dengan menerapkan FM ini, perusahaan ingin menancapkan sensasi merek di benak konsumen atas suatu produk hingga pada titik yang maksimal sehingga memaksa konsumen untuk merasakan kepuasan lain dari produk-produk yang akan dirilis setelahnya. Sederhananya, perusahaan ingin terus memupuk rasa “lapar” konsumen atas produk-produk yang dikeluarkanya. Pada titik ini, FM merupakan salah satu contoh strategi pemasaran.

Namun, terkadang FM juga menjadi sebuah gejala yang muncul dari sebuah praktek pemasaran. Artinya, perusahaan sebenarnya tidak membikin produk tersebut untuk one night stand, tapi pada kenyataannya produk tersebut akhirnya meredup sendiri seiring menurunnya kepuasan konsumen atas produk itu. Contoh ini adalah Friendster (FS). FS kini bagaikan “sampah” yang teronggok di internet. Ia ditinggalkan penggunanya akibat kehadiran Facebook (FB) yang lebih interaktif dan variatif. Akibatnya, FS kini tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi bagian dari sejarah.

Pada konteks Manohara (dan artis lainnya), FM bergerak konsepsi gejala pemasaran. Banyak artis yang melambung karena sensasi yang kemudian sekonyong hilang bak ditelan bumi. Hal ini diakibatkan beberapa hal. Pertama, intensitas infotainment—kita asumsikan saja corong marketing artis—dalam memberitakan sebuah hal sangat intensif, dan tak henti-hentinya. Coba cermati bagaimana Manohara diberitakan hampir oleh semua Infotainment, tiap hari bahkan lebih dari sekali dalam sehari. Terlebih, apa yang diberitakan satu infotainment dengan infotainment lainnya terbilang mirip, hanya berbeda bungkus penyampaiannya saja. Hal inilah kemudian yang membikin rasa jenuh pemirsa (konsumen) atas suatu berita. Awalnya memang, banyak yang bersimpati terhadap Manohara dengan jalan mengikuti beritanya. Tapi karena terlalu intens, mereka justru berbalik mematikan TV tatkala menyiarkan berita Manohara.

Kedua,pragmatisme artis sebagai produk entertainment. Artis zaman sekarang cenderung lebih memilih jalur instan untuk bergerak di dunia entertainment. Mulai dari mengikuti ajang pencarian bakat hingga membebek bikin sensasi macam foto telanjang dan lainnya. Awalnya, atensi pemirsa akan bergerak naik secara cepat. Namun, seiring waktu atensi itu berbalik menukik tajam akibat jengahnya pemirsa atas pemberitaan tersebut.

Dalam kasus Manohara, saya sebenarnya tidak berfikir bahwa dia berbohong untuk melambungkan popularitasnya. Namun, satu hal, Manohara mendapat benefit dari kasus yang menimpa dirinya dalam hal awareness masyarakat terhadap dirinya. Manohara menjadi berita nasional, dibicarakan seantero negeri hingga menyulut sentimen nasionalisme terhadap negeri tetangga. Manohara mendapat “durian” di tengah terpaan “badai”.

Sayangnya, Manohara gagal dalam mengelola brand dirinya dalam menggerakkan kepopulerannya itu. Ia justru terlibat dalam sirkus infotainment dengan menarik-ulur pelaksanaan visum dan justru sibuk menghadiri wawancara di berbagai stasiun TV. Wajar jika kemudian banyak masyarakat menganggap Manohara hanya cari sensasi saja untuk melambungkan popularitasnya.

Sekarang, apakah Manohara akan cepat meredup? Sampai saat ini saya berfikir “Ya”. Terlalu intensnya dia melibatkan diri dalam sirkus infotainment menjadi alasan terbesar nama dia akan cepat meredup. Masyarakat terlampau bosan melihat sirkus macam demikian. Terlalu sering kita disuguhi berita-berita sensasi artis yang bikin jengah. Sangat wajar, bila kemudian Manohara pun akan cepat dilupakan secepat ia mendapat perhatian. Kecuali, Manohara mampu membikin suguhan sensasi hit lain secara berkesinambungan seperti yang dicontohkan dengan cerdas oleh keluarga Azhari. -)

Source Pics: mypics1207@flickr
Read more

Collaborative Relationship: Konsumen adalah karyawan Anda

,
Pada era sekarang ini, konsumen tidak lagi hanya menjadi sekadar pion catur yang dengan seenaknya dapat dimainkan atau dikendalikan oleh perusahaan. Kedudukan para konsumen menjadi lebih setara dan bahkan, lebih tinggi ketimbang perusahaan itu sendiri. Mau tidak mau, senang tidak senang, perusahaan mesti dapat melibatkan konsumennya dalam aspek pengambilan keputusan bisnis, baik itu pelibatan secara pasif maupun aktif. Hal inilah yang kemudian oleh Phillip Kotler disebut sebagai collaborative relationship yang terbangun dari hasil hubungan mutualisme antara konsumen dengan perusahaan. Lalu, apakah sebenarnya collaborative relationship yang disebut oleh Kotler tersebut?! tulisan ini akan mencoba mengulasnya sedikit.

Hubungan antara produsen dengan konsumen dalam konteks dunia pemasaran memang tengah memasuki fase baru setelah fase sebelumnya yang dikenal dengan sebutan relationship marketing. Fase baru inilah yang kemudian disebut dengan collaborative marketing, yang berarti bahwa adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara konsumen dengan perusahaan. Pada fase ini, perusahaan semakin dituntut untuk dapat membangun hubungan yang lebih horizontal dengan para konsumennya. Mereka mesti dapat menyadari bahwasanya konsumen merupakan “karyawan eksternal” perusahaan yang juga memiliki andil dalam menghasilkan profit bagi perusahaan.

Meski begitu, tampaknya hingga kini belum semua perusahaan mau dan mampu untuk meningkatkan hubungan dengan para konsumennya ke tahap yang lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu relationship marketing. Entah apa yang menjadi faktor penyebab para perusahaan tersebut enggan atau tak mampu untuk membina hubungan yang lebih tinggi lagi dengan para konsumennya. Akan tetapi perlu disadari bahwa apabila hal ini terus dibiarkan berlarut-larut terjadi maka yang akan mengalami kerugian adalah pihak produsen sendiri. Mereka akan kehilangan salah satu aspek keunggulan bersaingnya yang dapat berdampak pada runtuhnya bangunan bisnis perusahaan tersebut.

Walau masih menjadi wacana yang tergolong baru dalam dunia pemasaran kontemporer, collaborative marketing telah menjadi fenomena tersendiri bagi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terlebih lagi bagi para marketer. Selama ini, sudut pandang marketer kebanyakan terbatas pada bagaimana caranya menjaga hubungan baik dengan para konsumennya, sehingga kalau diibaratkan adalah bahwa konsumen hanya sebagai “domba-domba” dengan perusahaan sebagai gembalanya. Gembala mesti dapat menjaga dan merawat para domba tersebut dengan baik dan telaten sehingga nantinya domba-domba tersebut akan memberikan keuntungan bagi sang gembala. Sudut pandang seperti ini tidaklah salah, namun perlu diingat bahwa konsumen merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi, termasuk dengan perusahaan sehingga perlu juga dibangun emosional dengan para konsumen.

Salah satu contoh implementasi collaborative relationship/marketing dalam perusahaan dapat kita lihat pada perusahaan Procter and Gamble (P&G) yang baru-baru ini menciptakan program “P&G Advisor”melalui internet. Program P&G Advisor ini memungkinkan P&G untuk dapat berinteraksi dengan para konsumennya terkait dengan pengembangan produk-produk mereka ke depannya. Para konsumen diberikan kesempatan untuk mencoba produk baru yang dikembangkannya untuk kemudian diberikan feedback kepada pihak P&G sehingga mereka mampu untuk merancang ulang perencanaan produk dan pemasarannya apabila ternyata terdapat kekurangan. Sungguh tak diduga ternyata program ini mampu mendapatkan atensi yang cukup tinggi dari khalayak dan P&G mampu untuk meraup tingkat profitabilitas yang lebih tinggi ketimbang sebelum menggunakan program ini.

P&G hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan kontemporer yang telah merasakan manisnya implementasi collaborative marketing dalam strategi perusahaannya. Inilah yang kemudian membuat saya bertanya-bertanya, mengapa masih banyak perusahaan yang kemudian enggan untuk mengimplementasikan collaborative marketing dalam strategi pemasarannya?!, saya rasa hanya perusahaan-perusahaan tersebut yang mampu untuk menjawabnya.

sumber gambar: Export-Lead

Read more

Membela Manusia

,
Dalam mekanisme kehidupan modern seperti saat ini, Ibu Prita Mulyasari dan keluarganya adalah tipikal keluarga menengah yang menjadi ujung tombak kontrol sosial dalam relasi perusahaan dengan konsumen. Ibu Prita mungkin termasuk ke dalam sebagian kecil keluarga yang memiliki akses terhadap teknologi-informasi khususnya internet. Mereka inilah yang menjadi pilar-pilar pengontrol dalam aktivitas perlindungan konsumen di Indonesia.

Saya tergerak menuliskan ini setelah prihatin atas apa yang menimpa Ibu Prita dalam kasusnya dengan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Sebagai konsumen modern, Ibu Prita jelas memiliki hak untuk meluncurkan unek-uneknya atas perawatan RS. Omni kepadanya. Apalagi, menurut pengakuannya, ia sudah berulang kali meminta penjelasan dan komplain ke pihak Omni namun tak jua mendapat respon yang signfikan. Ia kemudian menuliskan email yang berisi curhat atas perlakuan Omni kepadanya dan mengirimkannya ke beberapa email pribadi teman-teman terdekatnya.

Selanjutnya, Internet-lah yang membuat itu menyebar bak wabah kolera. Email Ibu Prita bak tsunami yang menerjang daratan. Meluas, hingga menjadi konsumsi publik kebanyakan. Omni kebakaran jenggot. Omni merasa telah dicemarkan nama baiknya. Sayangnya, Omni membalas itu dengan tidak elegan: memenjarakan Ibu Prita. Inilah ironi baru: di tengah-tengah kebangkitan konsumen justru represivitas perusahaan masih muncul.

Dalam textbooks pemasaran khususnya service marketing, konsumen berkecenderungan untuk menyampaikan komplain dalam tiga tindakan, yaitu memendamnya sendiri, menyampaikan komplain secara langsung kepada perusahaan dan meminta bantuan pihak ketiga. Pada konteks konsumen Indonesia, biasanya berkecenderungan untuk memendamnya sendiri, terdiam dalam solilokui yang panjang. Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk melalui proses yang ribet ketika menyampaikan komplain. Pada sisi lain, pihak ketiga macam YLKI yang digadang-gadang menjadi tombak perlindungan konsumen pun seringkali terjebak pada rumitnya mekanisme penyampaian komplain. Walhasil, konsumen seringkali mendapat kesia-siaan belaka dari usahanya yang terbilang sukar tersebut.

Kini, dengan semakin membuminya Internet khususnya media-media Web 2.0., relasi konsumen dan perusahaan berubah signifikan. Sekat-sekat birokrasi yang selama ini menjadi penghalang, mulai luntur. Konsumen memiliki kuasa yang besar untuk menyampaikan komplainnya secara langsung. Dalam bahasa Seth Godin dalam Meatball Sundae: Is Your Markeing Out of Sync?, internet telah membikin tren baru dimana suara-suara konsumen semakin lantang untuk memperjuangkan hak-haknya.

Di negara-negara Barat yang tingkat melek internetnya sangat tinggi, hal tersebut benar-benar menjadi angin segar dalam mengontrol perilaku perusahaan. Konsumen di sana begitu mudahnya melakukan komplain kepada perusahaan misalnya hanya dengan menulis di blog atau menyampaikannya di forum-forum komunitas. Yang lebih ekstrem, banyak bermunculan situs-situs independen yang menjadi pengawas perilaku perusahaan, taruhlah Wall-Mart Watch atau E-Bay Sucks.

Pada konteks Indonesia, kita harus akui bahwa distribusi penggunaan internet belum semerata di sana. Makanya, orang-orang seperti Ibu Prita adalah ujung tombak perlindungan hak-hak konsumen di Tanah Air ini. Apa yang telah dilakukan Ibu Prita sungguh sangat mulia, mencerminkan karakter konsumen modern: melakukan kontrol sosial atas dasar pembelaan terhadap hak-hak konsumen sebagai manusia. Ibu Prita memilih untuk tidak memendam keluhannya seorang diri. Ia justru berbagi kepada kerabat dan sesamanya atas apa yang diterimanya agar kelak tidak terjadi korban serupa di masa datang.

Pada sisi lain, saya tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Omni, terlebih ada embel-embel Internasional di belakangnya. Memenjarakan konsumen, saya pikir bukanlah karakter perusahaan yang modern. Dalam konstelasi marketing kontemporer, tindakan konsumen seperti yang dilakukan Ibu Prita, semestinya ditangani dengan memberikan klarifikasi, diskusi dan perundingan. Menurut Joseph Jeff, perusahaan mesti menceburkan diri ke dalam conversation yang dilakukan pelanggannya bukan malah melanggengkan represivitas terhadap konsumen.

Omni mestinya mencontoh apa yang telah eBay lakukan. Di saat eBay banyak dihujani kritikan dari masyarakat atas berbagai fraud dalam praktek bisnisnya, eBay justru giat merintis corporate blogging untuk menjalin conversation dengan pelanggannya. eBay tidak tanggung-tanggung meng-hire Richard Brewer-Hay—seorang pakar social media—untuk merancang dan mengelola blog berlabel eBay Ink. Dengan itu, eBay memberikan akses langsung kepada konsumen untuk memberikan komplain, saran ataupun masukan dalam hal praktek bisnis yang eBay lakukan. Melalui eBay Ink, komunikasi antara pengguna dan manajemen eBay dilakukan secara transparan dan tanpa sekat. Sederhananya: tidak ada dusta diantara kita.

Apa yang dilakukan eBay adalah penanganan komplain konsumen yang modern. Konsumen diletakan secara horizontal dengan perusahaan. Kini, bukan lagi era-nya vertical interaction, terlebih represivitas perusahaan. Karena kini, konsumen memiliki kuasa yang berlimpah untuk menghantam perilaku negatif perusahaan. Perusahaan tidak dapat seenaknya lagi melakukan praktek bisnisnya. Semuanya mesti jujur dan benar-benar menganggap konsumen sebagai “raja”.

Ibu Prita adalah wanita yang mulia. Mungkin ia kini dihujam penderitaan yang sangat atas perlakuan Omni. Tapi, percayalah kontribusinya pada dunia perlindungan konsumen tak dapat terbayar dengan apapun. Ia adalah pembela harkat-martabat konsumen sebagai manusia. Kita layak untuk terus membela Ibu Prita. Karena membela Ibu Prita pada galibnya membela kita sendiri sebagai manusia. Atas nama kemanusiaan, BEBASKAN IBU PRITA, SEKARANG JUGA!

Pic Credit by Chato B. Stewart @Flickr
Read more

This is Horizontal World: Release IBU PRITA, NOW!!!!

,


INTERNET HADIR UNTUK EGALITARIANISME
BUKAN UNTUK MELANGGENGKAN REPRESIVITAS MANUSIA
SALAHKAH JIKA ADA YANG MENGGUNAKANNYA UNTUK SEBUAH TUJUAN MULIA:
KONTROL SOSIAL?????

BEBASKAN IBU PRITA MULYASARI, SEKARANG JUGA!

Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger