Benarkah Harapan Ada Pada Generasi Digital?

,
.....Just Want to Share with You: Ini artikel saya yang dimuat di Harian Kontan, 10 November 2009. Semoga sahabat bisa memberikan komentar....
Dalam sebulan ini, setidaknya kita dihebohkan oleh tiga video mesum amatir yang diperankan remaja di beberapa daerah. Di Banyuwangi muncul video berlabel “anak kost” yang diduga diperankan oleh sepasang remaja SMP. Tak lama berselang, di Nganjuk dan Surabaya muncul video bergenre serupa yang juga pemerannya diduga masih berusia sekolah dan mahasiswa.

Peristiwa ini memang kalah mentereng oleh kedigdayaan drama “cicak versus buaya”. Tapi, bukan berarti isu ini tak kalah penting dibandingkan perseteruan KPK-Polri. Hadirnya tiga video mesum ini jelas menjadi ironi dalam momentum kebangsaan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan.

Kita tahu, selepas pertengahan 1990an, internet dan telepon genggam mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini kemudian melahirkan generasi baru yang lazim disebut generasi 2.0. atau generasi digital. Punggawa generasi ini jelas memiliki laku kehidupan berbeda dengan generasi sebelumnya, ditandai dengan begitu intensnya mereka bergumul dengan internet.

Dengan seremoni dua hari besar ini, masyarakat menaruh harapan besar di pundak generasi digital, untuk merevitalisasi perannya sesuai kemajuan teknologi. Mereka inilah yang kelak menjadi tombak perubahan sosial bangsa agar menjadi pemenang dalam dunia yang borderless akibat digitalisasi informasi. Sayangnya, harapan kerumunan bangsa ini sedikit terganjal. Kembali maraknya video-video mesum amatir di pelbagai daerah sedikit banyak melahirkan riak-riak kecemasan dalam benak bangsa ini. Mestikah kita menaruh harapan pada generasi yang justru menjadi devian-devian teknologi?


Potensi penyimpangan teknologi semacam ini sudah lama diendus para pakar internet & society di dunia. M. Gigi Durham dalam studinya bertajuk Lolita Effect menyatakan bahwa internet dapat merangsang para remaja untuk melabrak batas-batas privasinya. Dengan tegas Durham menyatakan, “It is pretty routine these days for girls to post provocative pictures of themselves online”. Hal ini terjadi guna memantik popularitas dirinya, yang akhirnya membikin mereka seolah-olah tak punya rasa malu (shameless).

Don Tapscot dalam Grown Up Digital berpandangan terbalik dengan Durham. Menurutnya, masalah privasi memang terkadang mengemuka, tapi generasi digital justru menjadi avant garde dalam memecahkan persoalan masyarakat. Generasi ini merupakan generasi paling community-based oriented, yang tak lekas menjadi makhluk introvert.

Di negeri ini banyak generasi digital yang mampu berkreasi dalam aras positif. Itu ditandai dengan bermunculannya technopreneur-technopreneur muda yang menkonversi teknologi menjadi ladang pekerjaan baru. Atau bergiatnya generasi muda sebagai garda kekuatan massa (people power) melalui aktivisme blogging.

Bobroknya Pemahaman

Sayangnya, kreasi itu berjalan beriringan oleh “kreasi” dari kutub lain. Pada sekitar 2004, Indonesia dibanjiri oleh arus video-video mesum amatir yang sebagian besar dibuat generasi muda. Hingga hal tersebut melahirkan gerakan “Jangan Bugil di Depan Kamera”. Di tangan mereka, internet dan telepon genggam menjadi senjata untuk menyalurkan eksistensi negatif demi meraih pseudo-popularitas dirinya. Sejak itu, ratusan video porno amatir datang silih berganti dan bertahan hingga kini. Akibatnya Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup intens menghasilkan video porno amatir.

Ragam deviasi teknologi yang dilakukan generasi digital ini menjadi kulminasi atas bobroknya pemahaman massa atas kemajuan teknologi. Internet yang bergerak tunggang-langgang telah melahirkan pilihan berkelimpahan (abundant choices), mulai dari yang pilihan positif hingga berujung pada titik ekstrem.

Bagi generasi muda di Indonesia, pilihan yang berkelimpahan ini justru membikin mereka bingung. Mereka masih tergagap untuk dapat mengekploitasi teknologi sesuai dengan ragam selera, dan bakatnya. Akibatnya, mereka cenderung berpikir instan dengan menggali eksistensinya dalam ragam video porno amatir, guna menggapai popularitas instan yang cepat menukik kembali.

Padahal, jika lebih jeli, pilihan yang lebih bijak untuk mengail popularias terbentang tak terkira. Andrew Darwis misalnya, ia dengan jeli membangun dan mengelola situs komunitas, Kaskus.us. Situs komunitas yang genap berusia 10 tahun pada 6 November ini, telah menjadi fenomena dalam laku kehidupan digital tanah air.

Kaskus menjadi forum yang sangat bermanfaat mulai dari diskusi sosial-politik, edukasi ataupun sekadar bergosip tentang hal yang remeh temeh. Selain itu, melalui Forum Jual Beli (FJB), Kaskus banyak membantu para produsen kecil dalam memasarkan produk-produknya hingga bisa sampai ke tangan konsumen. Kini, situs bikinan anak negeri ini telah menjadi salah satu komunitas paling aktif di dunia.

Karenanya, kini, menjadi saat yang tepat bagi generasi digital negeri ini untuk mengubah pilihanya ke arah yang lebih kontributif. Kecuali jika kita rela hanya duduk sebagai penonton, sementara di belahan dunia lain, mereka berlarian.

Credit photo by sortofbutnotreally on Flickr
Read more

“Facebook” untuk Marketing

,

Judul : F-Marketing: Optimalkan Personal Image & Product Branding Anda.
Penulis : Pitra Satvika
Penerbit : Pustaka Bina Swadaya
Tebal : 111 halaman
Tahun : I, Mei 2009.
Harga : Rp22.000,-
Semenjak kehadirannya pada 2004, Facebook telah membikin wajah dunia menjadi lebih sumringah. Banyak orang yang dibuat penasaran dan akhirnya tak kuasa menghambakan dirinya untuk dijajah sensasi ber-Facebook-an. Kita seperti dibuat girang menikmati pelbagai fitur dan aplikasi yang ditawarkan situs bikinan Mark Zuckerberg ini.   Jika kita telusuri, fenomena itu tidaklah hadir tanpa alasan yang jelas. Facebook mampu menawarkan fitur dan aplikasi yang terbilang lengkap. Hampir semua aplikasi dan fitur-fitur facebook boleh dikatakan dapat mengakomodasi kebutuhan manusia saat ini, mulai dari kebutuhan akan eksistensi nan narsistik, hiburan, hingga aktivitas bisnis.
Di tengah hiruk-pikuknya libido masyarakat dalam menulis dan mengulas Facebook, Pitra Satvika—melalui buku berjudul F-Marketing membahas pemanfaatan Facebook untuk dunia pemasaran. Buku ini menjelaskan pemanfaatan fitur-fitur dan aplikasi Facebook guna kepentingan personal branding dan aktivitas marketing sebuah merek ataupun gerakan sosial.

Sebenarnya, pemanfaatan Facebook untuk marketing telah menjadi subtren tersendiri dalam dunia pemasaran kontemporer. Seiring tumbuh-berkembangnya media-media jejaring sosial macam Facebook, Twitter, dan MySpace, dunia pemasaran ketimpa berkah akan perubahan radikal dalam penerapan strateginya. Tren ini telah mengubah wajah pemasaran menjadi lebih egaliter dan horizontal. Dengan ini, konsumen bukan lagi sub-ordinat yang mesti dicekoki oleh program marketing perusahaan secara vertikal. Tapi yang mesti terjadi, para marketer mesti duduk bersama, menjalin komunikasi dua arah dengan konsumen dalam rangka memasarkan produknya.

Keniscayaan ini telah membuat banyak perusahaan untuk terjun menyelami jejaring sosial ini. Buku ini menceritakan kisah sukses beberapa brand besar macam Coca-Cola dan Toyota Yaris yang berhasil memanfaatkan Facebook untuk aktivitas marketingnya.

Brand-brand tersebut telah mampu menciptakan keintiman yang berharga dengan para konsumennya. Dengan ini, Coca Cola dan Yaris meraih benefit berharga terutama dalam usaha memelihara loyalitas para pelanggannya.

Sayangnya, di balik kisah-kisah itu, buku ini lupa dalam membeberkan kisah-kisah industri kreatif yang sukses dengan memanfaatkan facebook. Padahal, pada kenyataannya, cukup banyak pelaku industri kreatif di negeri ini yang menjadikan facebook sebagai ujung tombak pemasaran produk-produknya.

Menurut saya, hal ini cukup penting diangkat mengingat pemerintah sedang giat-giatnya menggarap pertumbuhan industri kreatif. Terlepas dari hal tersebut, saya rasa buku ini layak diapresiasi karena telah berikhtiar untuk mengabarkan sensasi lain dari Facebook yang selama ini kita maknai hanya sebatas “tubuh” tempat menyalurkan narsisme belaka.


Resensi ini telah dimuat di Koran Jakarta, 21 Agustus 2009 
Read more

Jangan Membuat Kami lebih Kecewa

,
Bom yang kembali mengguncang kota Jakarta pada hari Jumat pekan lalu (17 Juli 2009) cukup banyak memberikan dampak yang negatif bagi Indonesia, tidak terkecuali pada sektor ekonomi beserta perangkat-perangkat pendukungnya, pemasaran misalnya. Hal yang paling santer terlihat dalam hal ini adalah dengan meruginya sejumlah pihak atas batalnya kehadiran salah satu tim sepakbola papan atas dunia,”The Red Devil” Manchester United. Kerugian yang ditimbulkan pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp. 50 Milyar lebih sebagaimana yang disampaikan oleh PSSI. Kerugian yang diderita tidak hanya ditanggung oleh pihak panitia pelaksana saja selaku pihak penyelenggara utama, pihak ketiga (sponsor, agen tiket, hotel, dan lainnya) yang mendukung terwujudnya pertandingan tersebut pun juga tak luput dari kerugian. Kedatangan MU memang telah dijadikan oleh sebagian pihak sebagai momentum berharga yang dipandang paling tepat untuk memajukan usaha bisnis mereka, termasuk dengan cara memasarkan produk-produk mereka dengan menggunakan MU sebagai atribut pemasarannya. Namun apa mau dikata, bom yang kembali menghajar kawasan Kuningan tersebut terpaksa membuat mereka menderita kerugian yang besar sehingga pada akhirnya malah hanya menyisakan problematika yang rumit, pengembalian tiket pada konsumen misalnya.

Seperti yang sudah kita ketahui jauh-jauh hari sebelumnya, penjualan tiket pertandingan MU vs Indonesia All Star memang cukup rumit. Cukup banyak pihak-pihak yang campur tangan dalam proses ini sehingga apabila pada akhirnya kejadian force majeur seperti pengeboman ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan bahwa proses pengembalian tiket pun akan rumit pula. Mulai dari pemesanan tiket dengan booking fee yang cukup besar, pembelian tiket melalui salah satu operator seluler, hingga melalui pemesanan online kepada “pihak” tertentu yang pada akhirnya—disadari atau tidak—cukup merugikan konsumen. Meskipun harus melalui cara yang berbelit-belit dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetap saja banyak konsumen yang rela untuk melakukannya. Dalam teori perilaku konsumen yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, dikatakan bahwa kebanyakan dorongan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan (membeli) sesuatu dilakukan tanpa disadari sepenuhnya oleh orang tersebut.

Rasionalitas dalam melakukan pembelian terhadap suatu produk (baik barang atau jasa) justru lebih lemah apabila dibandingkan dengan aspek emosionalitas si konsumen. Lemahnya aspek rasionalitas ini dapat sangat terasa pada segmen konsumen tertentu di masyarakat, penggila sepakbola misalnya. Mereka yang sudah sangat tergila-gila pada tim kesayangannya tidak akan berpikir panjang lagi untuk dapat memperoleh selembar tiket pertandingan bola tim kesayangannya. Keinginan yang menggebu-gebu inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka tak peduli dengan cara bagaimana, berapa besar biaya, atau kepada siapa mereka dapat memperoleh tiket tersebut. Ironisnya, hal ini justru dijadikan oleh sebagian pihak sebagai peluang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tidak salah memang memanfaatkan aspek psikologis manusia sebagai salah satu basis strategi dalam melakukan penjualan. Dalam dunia pemasaran sendiri pun perilaku konsumen dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penciptaan marketing plan yang sempurna. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan perilaku konsumen dalam marketing plan. Para pengusaha, produsen barang/jasa mesti menyadari betul bahwa semakin besar mereka memanfaatkan perilaku para konsumennya, maka akan semakin besar pula feedback yang harus mereka berikan kepada para konsumen yang telah mereka “manfaatkan” tersebut. Sekali saja para konsumen merasa dikecewakan, maka akan sulit untuk membuat mereka seperti sediakala, belum lagi dengan adanya Word of Mouth negatif yang akan mereka sebarkan.

Setelah terjadinya tragedi bom beberapa waktu lalu yang menyebabkan banyak para fans sepakbola Indonesia kecewa berat karena gagalnya kedatangan tim MU, maka jangan sampai para fans yang notabene merupakan konsumen tersebut lebih dikecewakan lagi dengan segala macam alasan dan tindakan terkait dengan proses refund uang mereka. Di sinilah peranan perusahaan sebagai pengayom konsumen akan sangat terlihat. Komunikasi yang interaktif dan secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak terkait refund dapat saja menjadi elixir bagi para fans sepakbola yang sudah mengeluarkan segala jerih payahnya demi menyambut hari yang mereka nantikan. Semoga.


Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger