“Bra Status”, untuk Hidup yang Lebih Baik

,
Di pekan pertama 2010 ini, dunia Facebook dikejutkan oleh fenomena users—terutama di AS—yang memasang status pendek tentang warna bra yang sedang dikenakan olehnya. Mereka cukup menulis status: “….Black,…hot pink, atau ….polka dot (:D)”. Dalam waktu singkat, fenomena ini menyita perhatian pengguna Facebook dan pakar-pakar social media.

Jangan berpikir macam-macam dulu kawan. Ini bukan varian pornoaksi, tapi merupakan aktivitas mulia. Menurut Freep.com, "Bra Status" merupakan kampanye yang diinisiasi seorang perempuan asal Detroit untuk menggetok kesadaran masyarakat akan bahaya kanker payudara (Breast Cancer). Berdasarkan Official Fan Page Bra Status, perempuan ini kemungkinan adalah Kimberley Griffiths. Pada awalnya ia mengirimkan ajakan untuk menulis status tentang warna Bra yang dikenakan lewat fasilitas “message” di Facebook. Kemudian, hanya dalam hitungan hari “Bra Status” telah berhasil menyedot perhatian masyarakat terutama di AS.

Bagi sebagian pihak, “Bra Status” mungkin dipandang kampanye nyeleneh dan tak etis. Tapi bagi saya, “Bra Status” justru menjadi salah satu titik termutakhir akan melebarnya peran social media dalam kehidupan. Social media—seperti Facebook—selama ini banyak dipandang sekadar wahana bergosip yang membuang waktu percuma dan meruntuhkan produktivitas. Tapi dengan adanya “Bra Status”, social media terlihat semakin nyata mampu melebarkan pengaruhnya pada pelbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, kemiskinan hingga lingkungan.

Tren melebarnya pengaruh social media ini memang bukanlah barang baru. Pada tahun 2008, Pete Cashmore—pendiri Mashable, sebuah blog yang mengkaji Social Media—menginisiasi gerakan Charity:Water. Gerakan ini mengajak para follower akun Mashable di Twitter untuk mendonasikan sejumlah dollar yang akan digunakan dalam pengadaan air bersih di Ethiopia. Ketika itu, “Charity:Water” berhasil mengumpulkan $ 3.536 yang langsung disumbangkan untuk pengadaan air bersih di Ethiopia.

Dari dunia kesehatan muncul nama dr. Mani Sivasubramanian. Ia adalah ahli bedah jantung, yang menginisiasi gerakan “Tweet_a_thon” sebagai wadah penjaring dana untuk membantu anak-anak kurang mampu yang menderita Congenital Heart Defects. Hingga September 2009, gerakan ini konon telah mampu menyelamatkan 12 anak yang menderita kelainan jantung.

Pengaruh social media terhadap dunia kesehatan bahkan secara sistemik memunculkan istilah Health 2.0. Istilah ini mengacu pada platform teknologi yang berkenaan dengan healthcare. Health 2.0. merupakan respon para praktisi kesehatan di AS terhadap tren perilaku masyarakat yang semakin terkoneksi dengan internet.

Melalui Health 2.0. ini banyak praktisi kesehatan yang membuat website yang digadang sebagai klinik online di mana masyarakat dapat berkonsultasi atas pelbagai penyakit yang menderanya. Dengan ini, pelayanan kesehatan menjadi lebih praktis, efektif dan efisien.

Kini, “Bra Status” menambah daftar akan pentingnya peranan social media dalam dunia kesehatan. Telah lama para aktivis kesehatan khawatir akan prevalensi penderita kanker payudara di dunia. Di Indonesia sendiri, kanker Payudara diklaim sebagai “pembunuh” perempuan nomor 2 setelah kanker mulut rahim.

Selain itu, jumlah penderita kanker payudara pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Banyak aktivis dan praktisi kesehatan yang mengklaim bahwa prevalensi tersebut diakibatkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya kanker.

Kenyaataan inilah yang kemudian menggerakkan kreativitas pegiat bahaya kanker untuk terus giat melakukan kampanye. Kini, di era social media, kampanye itu relative lebih mudah menjangkau masyarakat. Para aktivis kesehatan tahu di mana masyarakat terutama generasi muda eksis: Facebook, Twitter ataupun media 2.0. lainnya. Generasi sekarang yang diklaim sebagai generasi digital jelas tak dapat terpisahkan dengan internet.

Kondisi inilah yang kemudian memaksa para aktivis kesehatan untuk terjun menggarap internet terutama social media sebagai alat kampanyenya. Mereka sadar bahwa generasi digital tidak akan mempan oleh varian kampanye yang monoton dan tidak interaktif. Karenanya, para aktivis kesehatan banyak menginisiasi gerakan-gerakan unik dan kontroversial seperti “Bra Status” demi memupuk kesadaran masyarakat akan bahaya kanker payudara.

Pada titik inilah, kita sebagai manusia mungkin perlu bersyukur atas perkembangan teknologi melalui social media yang semakin kontributif bagi umat manusia. Social media terutama Facebook bukan lagi sekadar media untuk bergosip, tapi telah menjelma menjadi wahana untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik. So, jangan pernah ragu untuk bertanya: “Apa warna bra yang sedang kamu kenakan, dinda?”. Hehe.

Read more

Marketing dan Persoalan Rasial

,
Tak terasa penggalan hari demi hari berlalu dengan cepat. Rasanya baru kemarin saya menulis postingan bagi kawan-kawan semua. Ternyata kini, Sabtu telah datang menyapa kita kembali. Dan itu artinya, saya pun mesti melakukan ritual rutin yaitu menyapa kawan-kawan melalui tulisan yang semoga mampu memantik kita untuk berdiskusi lebih lanjut.

Oya, ini mungkin tulisan terakhir yang dimuat di Marketing Kami versi Blogspot . Mau bubar? Tenang, jangan sedih dulu kawan (hehe). Marketing Kami akan terus eksis dan karenanya kami memutuskan untuk membeli “rumah pribadi” sendiri. Ini kami lakukan karena kami bosan mengontrak gratisan di blogspot (gaya banget dah..), dan tentunya ingin kelihatan lebih serius dan profesional dalam nge-blog. Oke, tunggu saja kawan, dalam satu-dua minggu ke depan, Marketing Kami akan hadir dalam wajah berbeda.

Let’s talk about the topic, my friends. Well, persoalan Marketing dan rasialisme, dalam beberapa tahun terakhir ini kerap mengemuka. Seminggu yang lalu, Kentucky Fried Chicken (KFC) Australia mengunggah iklan online di YouTube. Dalam iklan itu digambarkan seorang supporter cricket Australia (kulit putih) berada di antara kerumunan suporter West Indians (kulit hitam). Tentu ini membuat suporter Australia kurang nyaman, karena berada di lingkungan “lain”. Nah,untuk “menyamankan” dirinya dia menawarkan sekotak fried Chicken ke kalangan West Indian tersebut. Jelas, kalangan West Indians tersebut menyambutnya seolah-olah mendapat "durian" runtuh (interpretasi pribadi ya).

Iklan ini mungkin seformat dengan iklan salah satu provider seluler di Indonesia. Sahabat pasti ingat, akan adanya iklan yang menggambarkan seorang suporter sepakbola memakai baju kuning sementara yang lain berwarna merah. Ia terlihat seperti stranger yang eksis di tengah kerumunan suporter lawan. Ia pun terlihat celingak-celinguk ketika semua mata suporter lawan memandang dirinya yang jingkrak-jingkrak sendiri. Iklan ini kemudian cukup sukses membekas di benak masyarakat kita, dan melenggang tanpa persoalan kontroversial.

Pada konteks iklan KFC, terdapat fenomena aneh. Iklan ini sebenarnya tidak mendapat judgement rasis di Australia-nya sendiri. Anehnya, yang banyak men-judge iklan tersebut rasis itu berasal dari warga Amerika Serikat (AS). Opini pun terbelah. Banyak warga AS yang sampai rela membuat video kritikan atas iklan “rasis” tersebut. Sementara itu, warga Australia justru banyak yang menganggap warga AS tersebut mengobarkan semangat rasialisme pada objek (iklan) yang sangat TIDAK rasis tersebut.

Bagaimana dengan Anda, Kawan? Itu terserah interpretasi kawan-kawan semua. Tapi, di sini saya ingin menekankan bahwa intrepretasi masyarakat atas program pemasaran dan promosi perusahaan seringkali di luar perkiraan para marketer. Perusahaan mungkin tidak berniat untuk melukai perasaan ras, suku, atau agama tertentu dalam menginisiasi suatu program. Namun nyatanya, masyarakat memiliki kebebasan untuk menginterpretasi sendiri sesuai basis-basis kultural dirinya. Program yang tidak rasis pun bisa dianggap rasis oleh mereka.

Di Indonesia sendiri, kasus yang paling mentereng mengenai ini terjadi sekitar setahun yang lalu. Kawan pasti ingat dengan kehadiran “Budha Bar” di Jakarta. Bar ini sepertinya ingin memberikan sensasi lain pada pegiat kehidupan malam dengan memasang simbol-simbol agama Budha di interiornya. Dan sangat mungkin juga pemilik bar tersebut tidak bermaksud melecehkan agama Budha dengan hal tersebut. Namun nyatanya, “Budha Bar” ini membuat banyak Bhiksu “turun gunung” dari vihara ke jalanan, untuk menggagalkan eksistensi “Budha Bar” ini.

Persoalan yang menyangkut KFC dan “Budha Bar” ini tentu memberikan pelajaran kepada para—dan calon—marketer untuk berhati-hati menghadapi reaksi kultural masyarakat. Masalah reaksi kultural ini sangat berdampak signifikan dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang awalnya ingin melakukan diferensiasi justru ditikan kebangkrutan akibat resistensi masyarakat atas “kelakuan” perusahaan yang dianggap rasis atau melecehkan agama tertentu.

Sementara itu, pada sisi lain, persoalan rasialisme dalam dunia pemasaran terkadang bersumber dari dunia luar perusahaan. Jika KFC dan Budha Bar banyak dikritik karena dianggap melecehkan simbol-simbol ras dan agama tertentu, banyak juga perusahaan yang tertimpa sial akibat perilaku rasis dari pihak-pihak luar yang terkait dengannya, Arla Foods contohnya.

Pada tahun 2006, Perusahaan multi-nasional asal Denmark ini membukukan kerugian 1 juta Euro/hari akibat boikot produk-produk Denmark di kawasan Timur Tengah. Anda pasti tahu, ketika itu dunia muslim terutama di Timur Tengah marah atas dimuatnya karikatur Nabi Muhammad di koran Jylland Posten Denmark. Resistensi masyarakat muslim atas Denmark kemudian berujung pada boikot produk-produk asal Denmark. Arla Foods, konon, membukukan kerugian total sebesar 65 juta Dollar akibat boikot tersebut, padahal sebelumnya kawasan Timur Tengah merupakan pangsa-pasar terbesar Arla Foods.

Ketiga kasus tersebut semakin memperjelas bahwa efek dari reaksi kultural masyarakat sangatlah signifikan bagi eksistensi suatu produk ataupun perusahaan. Saya pribadi berpandangan bahwa hal ini terjadi sebagai akibat pergeseran pola konsumsi masyarakat. Sadar atau tidak, sebagai akibat melimpah-ruahnya informasi, konsumen semakin “berpengetahuan” dalam mengkonsumsi barang. Karenanya, pola konsumsi masyarakat bukan lagi urusan “perut” semata tapi bergeser pada aspek-aspek kultural, lingkungan bahkan politik dari produk tersebut.

Kini, konsumen akan lebih aware terhadap asal-muasal produk tersebut. Apakah produk ini dibuat dari bahan-bahan yang merusak lingkungan? Apakah produk ini berasal dari negeri yang rasis? Jika benar, tentu konsumen akan mengalihkan pilihannya ke produk-produk lain yang lebih menghargai sisi humanis masyarakat.

Kenyataan ini tentu kita harapkan juga merembes ke benak kita masyarakat Indonesia. Di tengah bayangan gempuran produk Cina sebagai ekses ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), masyarakat diharapkan lebih aware dengan country-of-origin dari suatu produk. Dengan mandulnya pemerintah dalam melakukan negosiasi ulang mengenai ACFTA ini, maka masyarakatlah yang menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan produk-produk dalam negeri.

Inilah saatnya bagi kita para konsumen untuk bahu-membahu menyelamatkan produk-produk dalam negeri dengan jalan memprioritaskan konsumsi produk-produk asli Indonesia. Namun, jika kemudian Anda mengeluh, habisnya gw gak ada pilihan lain, produk Cina lebih murah, berkualitas dan beragam, gimana coba? Mungkin, untuk kasus ini, pemerintah yang mesti menjawabnya.

Photo by ~alyhazzaa

Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger