Beberapa hari lalu, saya mengunjungi bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Jakarta selatan. Ketika film hendak dimulai, alangkah terperanjatnya saya begitu melihat iklan salah satu kandidat Capres yang diputar menjelang dimulainya film. Awalnya, saya pikir itu adalah salah satu trailer film yang akan hadir (coming soon) sebagaimana biasanya. Namun ternyata setelah hampir durasi 3 menit-an, saya baru menyadari bahwa itu sebenarnya adalah iklan politik salah seorang Capres. Keterkejutan saya ini tentu saja beralasan, terlebih materi iklan tersebut yang lain daripada yang lain. Formatnya sengaja dibuat atau disesuaikan dengan layar lebar, begitu pula dengan materi iklan yang seperti film yang sudah terskenario dengan baik. Tidak sedikit penonton yang kemudian terkejut, kagum, atau bahkan sekadar bersiul ringan setelah melihat iklan politik —yang menurut saya paling lama—dengan durasi kurang lebih 8 menit tersebut. Melihat antusiasme para penonton bioskop tersebut saya kemudian berpikir mengapa iklan politik, yang biasanya diacuhkan oleh para penonton, dapat menjadi suatu hal yang memikat, terlepas dari apakah para penontonnya kemudian berminat untuk memilih calon tersebut atau tidak. Maka saya pun tergerak untuk sekadar menggoreskan isi pemikiran saya mengenai hal tersebut dalam tulisan yang singkat ini.
Iklan politik, layaknya iklan-iklan lain pada umumnya juga mempunyai tujuan yang hampir sama, salah satunya yaitu untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai produk yang ditawarkan. Begitu pun dengan iklan politik, yang membedakannya hanyalah “produk” yang diiklankan dan juga waktu penayangan iklan tersebut (biasanya hanya pada musim kampanye). Produk politik tentu saja berbeda treatment-nya dengan produk non politik yang cenderung komersial dan berorientasi profit. Menurut Niffegger (1989) produk politik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) party platform, (2 post record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), (3) karakteristik pribadi. Terkait dengan musim kampanye capres saat ini, maka setidaknya kita dapat memasukkan pada dua kategori di atas, yaitu post record dan karakteristik pribadi, platform partai juga mempunyai pengaruh namun tak sesignifikan Pemilu Legislatif sebelumnya. Selebihnya sudah dapat kita tebak, iklan yang merupakan salah satu ujung tombak marketing plan akan diisi oleh dua kategori tersebut, yaitu tentang karakteristik pribadi calon atau tentang hal-hal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh sang calon. Maka tak heran apabila iklan-iklan politik saat ini kebanyakan mempunyai content yang hampir sama.
Iklan sebagai media transfer politik juga harus dikemas sedemikian rupa agar mampu untuk menarik atensi khalayak umum dan secara bersamaan mampu melakukan transfer nilai dan pesan politik kandidat kepada mereka. “Pengemasan” iklan inilah yang kemudian dapat sangat menentukan keberhasilan suatu iklan ketika sudah dirilis di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam musim kampanye akhir seperti ini, rakyat sudah mampu untuk menangkap atribut nilai politik yang ditawarkan oleh para kandidat. Mulai dari “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi kemandirian”, “program yang berkelanjutan”, dan lainnya sudah sangat melekat di diri masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Oleh karena itu, tak heran apabila kemudian kreatifitas lah yang akan sangat menentukan keberhasilan pertarungan iklan, karena atribut-atribut program kerja pasangan sudah melekat di masyarakat. Dalam fase inilah maka pertarungan iklan sudah tak lagi pada tahapan “perang program”, namun lebih kepada perang kreatifitas di mana program-program dan citra para kandidat dapat diwujudkan dalam bentuk iklan.
Kembali ke masalah di awal tadi, iklan yang baik harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan juga tipikal khalayak yang dituju. Penayangan iklan di televisi, media cetak atau bahkan layar lebar tentu saja mesti berbeda antara satu dengan yang lainnya karena target konsumen yang dituju pun akan sangat berbeda. Para penonton televisi tentu saja berbeda tipikalnya dengan penonton bioskop yang notabene-nya sudah membayar sejumlah biaya untuk melihat sesuatu yang lebih “bernilai” ketimbang di televisi. Kesesuaian iklan dengan media yang dipilih inilah yang dapat menjadi titik kulminasi kreatifitas para marketer dan pengiklan dalam menawarkan produk-produknya, termasuk juga kandidat Capres-Cawapres yang merupakan produk politik. Terlepas dari itu semua, pemasaran produk politik (termasuk juga iklan politik) memang lebih sulit untuk di analisis jika dibandingkan dengan produk konvensional, karena kecenderungan emosional produk politik jauh lebih besar ketimbang produk konvensional yang masih rasional.
Iklan politik, layaknya iklan-iklan lain pada umumnya juga mempunyai tujuan yang hampir sama, salah satunya yaitu untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai produk yang ditawarkan. Begitu pun dengan iklan politik, yang membedakannya hanyalah “produk” yang diiklankan dan juga waktu penayangan iklan tersebut (biasanya hanya pada musim kampanye). Produk politik tentu saja berbeda treatment-nya dengan produk non politik yang cenderung komersial dan berorientasi profit. Menurut Niffegger (1989) produk politik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) party platform, (2 post record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), (3) karakteristik pribadi. Terkait dengan musim kampanye capres saat ini, maka setidaknya kita dapat memasukkan pada dua kategori di atas, yaitu post record dan karakteristik pribadi, platform partai juga mempunyai pengaruh namun tak sesignifikan Pemilu Legislatif sebelumnya. Selebihnya sudah dapat kita tebak, iklan yang merupakan salah satu ujung tombak marketing plan akan diisi oleh dua kategori tersebut, yaitu tentang karakteristik pribadi calon atau tentang hal-hal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh sang calon. Maka tak heran apabila iklan-iklan politik saat ini kebanyakan mempunyai content yang hampir sama.
Iklan sebagai media transfer politik juga harus dikemas sedemikian rupa agar mampu untuk menarik atensi khalayak umum dan secara bersamaan mampu melakukan transfer nilai dan pesan politik kandidat kepada mereka. “Pengemasan” iklan inilah yang kemudian dapat sangat menentukan keberhasilan suatu iklan ketika sudah dirilis di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam musim kampanye akhir seperti ini, rakyat sudah mampu untuk menangkap atribut nilai politik yang ditawarkan oleh para kandidat. Mulai dari “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi kemandirian”, “program yang berkelanjutan”, dan lainnya sudah sangat melekat di diri masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Oleh karena itu, tak heran apabila kemudian kreatifitas lah yang akan sangat menentukan keberhasilan pertarungan iklan, karena atribut-atribut program kerja pasangan sudah melekat di masyarakat. Dalam fase inilah maka pertarungan iklan sudah tak lagi pada tahapan “perang program”, namun lebih kepada perang kreatifitas di mana program-program dan citra para kandidat dapat diwujudkan dalam bentuk iklan.
Kembali ke masalah di awal tadi, iklan yang baik harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan juga tipikal khalayak yang dituju. Penayangan iklan di televisi, media cetak atau bahkan layar lebar tentu saja mesti berbeda antara satu dengan yang lainnya karena target konsumen yang dituju pun akan sangat berbeda. Para penonton televisi tentu saja berbeda tipikalnya dengan penonton bioskop yang notabene-nya sudah membayar sejumlah biaya untuk melihat sesuatu yang lebih “bernilai” ketimbang di televisi. Kesesuaian iklan dengan media yang dipilih inilah yang dapat menjadi titik kulminasi kreatifitas para marketer dan pengiklan dalam menawarkan produk-produknya, termasuk juga kandidat Capres-Cawapres yang merupakan produk politik. Terlepas dari itu semua, pemasaran produk politik (termasuk juga iklan politik) memang lebih sulit untuk di analisis jika dibandingkan dengan produk konvensional, karena kecenderungan emosional produk politik jauh lebih besar ketimbang produk konvensional yang masih rasional.
Sumber Gambar: inilah.com