Dalam mekanisme kehidupan modern seperti saat ini, Ibu Prita Mulyasari dan keluarganya adalah tipikal keluarga menengah yang menjadi ujung tombak kontrol sosial dalam relasi perusahaan dengan konsumen. Ibu Prita mungkin termasuk ke dalam sebagian kecil keluarga yang memiliki akses terhadap teknologi-informasi khususnya internet. Mereka inilah yang menjadi pilar-pilar pengontrol dalam aktivitas perlindungan konsumen di Indonesia.
Saya tergerak menuliskan ini setelah prihatin atas apa yang menimpa Ibu Prita dalam kasusnya dengan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Sebagai konsumen modern, Ibu Prita jelas memiliki hak untuk meluncurkan unek-uneknya atas perawatan RS. Omni kepadanya. Apalagi, menurut pengakuannya, ia sudah berulang kali meminta penjelasan dan komplain ke pihak Omni namun tak jua mendapat respon yang signfikan. Ia kemudian menuliskan email yang berisi curhat atas perlakuan Omni kepadanya dan mengirimkannya ke beberapa email pribadi teman-teman terdekatnya.
Selanjutnya, Internet-lah yang membuat itu menyebar bak wabah kolera. Email Ibu Prita bak tsunami yang menerjang daratan. Meluas, hingga menjadi konsumsi publik kebanyakan. Omni kebakaran jenggot. Omni merasa telah dicemarkan nama baiknya. Sayangnya, Omni membalas itu dengan tidak elegan: memenjarakan Ibu Prita. Inilah ironi baru: di tengah-tengah kebangkitan konsumen justru represivitas perusahaan masih muncul.
Dalam textbooks pemasaran khususnya service marketing, konsumen berkecenderungan untuk menyampaikan komplain dalam tiga tindakan, yaitu memendamnya sendiri, menyampaikan komplain secara langsung kepada perusahaan dan meminta bantuan pihak ketiga. Pada konteks konsumen Indonesia, biasanya berkecenderungan untuk memendamnya sendiri, terdiam dalam solilokui yang panjang. Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk melalui proses yang ribet ketika menyampaikan komplain. Pada sisi lain, pihak ketiga macam YLKI yang digadang-gadang menjadi tombak perlindungan konsumen pun seringkali terjebak pada rumitnya mekanisme penyampaian komplain. Walhasil, konsumen seringkali mendapat kesia-siaan belaka dari usahanya yang terbilang sukar tersebut.
Kini, dengan semakin membuminya Internet khususnya media-media Web 2.0., relasi konsumen dan perusahaan berubah signifikan. Sekat-sekat birokrasi yang selama ini menjadi penghalang, mulai luntur. Konsumen memiliki kuasa yang besar untuk menyampaikan komplainnya secara langsung. Dalam bahasa Seth Godin dalam Meatball Sundae: Is Your Markeing Out of Sync?, internet telah membikin tren baru dimana suara-suara konsumen semakin lantang untuk memperjuangkan hak-haknya.
Di negara-negara Barat yang tingkat melek internetnya sangat tinggi, hal tersebut benar-benar menjadi angin segar dalam mengontrol perilaku perusahaan. Konsumen di sana begitu mudahnya melakukan komplain kepada perusahaan misalnya hanya dengan menulis di blog atau menyampaikannya di forum-forum komunitas. Yang lebih ekstrem, banyak bermunculan situs-situs independen yang menjadi pengawas perilaku perusahaan, taruhlah Wall-Mart Watch atau E-Bay Sucks.
Pada konteks Indonesia, kita harus akui bahwa distribusi penggunaan internet belum semerata di sana. Makanya, orang-orang seperti Ibu Prita adalah ujung tombak perlindungan hak-hak konsumen di Tanah Air ini. Apa yang telah dilakukan Ibu Prita sungguh sangat mulia, mencerminkan karakter konsumen modern: melakukan kontrol sosial atas dasar pembelaan terhadap hak-hak konsumen sebagai manusia. Ibu Prita memilih untuk tidak memendam keluhannya seorang diri. Ia justru berbagi kepada kerabat dan sesamanya atas apa yang diterimanya agar kelak tidak terjadi korban serupa di masa datang.
Pada sisi lain, saya tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Omni, terlebih ada embel-embel Internasional di belakangnya. Memenjarakan konsumen, saya pikir bukanlah karakter perusahaan yang modern. Dalam konstelasi marketing kontemporer, tindakan konsumen seperti yang dilakukan Ibu Prita, semestinya ditangani dengan memberikan klarifikasi, diskusi dan perundingan. Menurut Joseph Jeff, perusahaan mesti menceburkan diri ke dalam conversation yang dilakukan pelanggannya bukan malah melanggengkan represivitas terhadap konsumen.
Omni mestinya mencontoh apa yang telah eBay lakukan. Di saat eBay banyak dihujani kritikan dari masyarakat atas berbagai fraud dalam praktek bisnisnya, eBay justru giat merintis corporate blogging untuk menjalin conversation dengan pelanggannya. eBay tidak tanggung-tanggung meng-hire Richard Brewer-Hay—seorang pakar social media—untuk merancang dan mengelola blog berlabel eBay Ink. Dengan itu, eBay memberikan akses langsung kepada konsumen untuk memberikan komplain, saran ataupun masukan dalam hal praktek bisnis yang eBay lakukan. Melalui eBay Ink, komunikasi antara pengguna dan manajemen eBay dilakukan secara transparan dan tanpa sekat. Sederhananya: tidak ada dusta diantara kita.
Apa yang dilakukan eBay adalah penanganan komplain konsumen yang modern. Konsumen diletakan secara horizontal dengan perusahaan. Kini, bukan lagi era-nya vertical interaction, terlebih represivitas perusahaan. Karena kini, konsumen memiliki kuasa yang berlimpah untuk menghantam perilaku negatif perusahaan. Perusahaan tidak dapat seenaknya lagi melakukan praktek bisnisnya. Semuanya mesti jujur dan benar-benar menganggap konsumen sebagai “raja”.
Ibu Prita adalah wanita yang mulia. Mungkin ia kini dihujam penderitaan yang sangat atas perlakuan Omni. Tapi, percayalah kontribusinya pada dunia perlindungan konsumen tak dapat terbayar dengan apapun. Ia adalah pembela harkat-martabat konsumen sebagai manusia. Kita layak untuk terus membela Ibu Prita. Karena membela Ibu Prita pada galibnya membela kita sendiri sebagai manusia. Atas nama kemanusiaan, BEBASKAN IBU PRITA, SEKARANG JUGA!
Pic Credit by Chato B. Stewart @Flickr
Langganan:
Posting Komentar (Atom)