
Seperti yang sudah kita ketahui jauh-jauh hari sebelumnya, penjualan tiket pertandingan MU vs Indonesia All Star memang cukup rumit. Cukup banyak pihak-pihak yang campur tangan dalam proses ini sehingga apabila pada akhirnya kejadian force majeur seperti pengeboman ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan bahwa proses pengembalian tiket pun akan rumit pula. Mulai dari pemesanan tiket dengan booking fee yang cukup besar, pembelian tiket melalui salah satu operator seluler, hingga melalui pemesanan online kepada “pihak” tertentu yang pada akhirnya—disadari atau tidak—cukup merugikan konsumen. Meskipun harus melalui cara yang berbelit-belit dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetap saja banyak konsumen yang rela untuk melakukannya. Dalam teori perilaku konsumen yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, dikatakan bahwa kebanyakan dorongan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan (membeli) sesuatu dilakukan tanpa disadari sepenuhnya oleh orang tersebut.
Rasionalitas dalam melakukan pembelian terhadap suatu produk (baik barang atau jasa) justru lebih lemah apabila dibandingkan dengan aspek emosionalitas si konsumen. Lemahnya aspek rasionalitas ini dapat sangat terasa pada segmen konsumen tertentu di masyarakat, penggila sepakbola misalnya. Mereka yang sudah sangat tergila-gila pada tim kesayangannya tidak akan berpikir panjang lagi untuk dapat memperoleh selembar tiket pertandingan bola tim kesayangannya. Keinginan yang menggebu-gebu inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka tak peduli dengan cara bagaimana, berapa besar biaya, atau kepada siapa mereka dapat memperoleh tiket tersebut. Ironisnya, hal ini justru dijadikan oleh sebagian pihak sebagai peluang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tidak salah memang memanfaatkan aspek psikologis manusia sebagai salah satu basis strategi dalam melakukan penjualan. Dalam dunia pemasaran sendiri pun perilaku konsumen dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penciptaan marketing plan yang sempurna. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan perilaku konsumen dalam marketing plan. Para pengusaha, produsen barang/jasa mesti menyadari betul bahwa semakin besar mereka memanfaatkan perilaku para konsumennya, maka akan semakin besar pula feedback yang harus mereka berikan kepada para konsumen yang telah mereka “manfaatkan” tersebut. Sekali saja para konsumen merasa dikecewakan, maka akan sulit untuk membuat mereka seperti sediakala, belum lagi dengan adanya Word of Mouth negatif yang akan mereka sebarkan.
Setelah terjadinya tragedi bom beberapa waktu lalu yang menyebabkan banyak para fans sepakbola Indonesia kecewa berat karena gagalnya kedatangan tim MU, maka jangan sampai para fans yang notabene merupakan konsumen tersebut lebih dikecewakan lagi dengan segala macam alasan dan tindakan terkait dengan proses refund uang mereka. Di sinilah peranan perusahaan sebagai pengayom konsumen akan sangat terlihat. Komunikasi yang interaktif dan secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak terkait refund dapat saja menjadi elixir bagi para fans sepakbola yang sudah mengeluarkan segala jerih payahnya demi menyambut hari yang mereka nantikan. Semoga.
Rasionalitas dalam melakukan pembelian terhadap suatu produk (baik barang atau jasa) justru lebih lemah apabila dibandingkan dengan aspek emosionalitas si konsumen. Lemahnya aspek rasionalitas ini dapat sangat terasa pada segmen konsumen tertentu di masyarakat, penggila sepakbola misalnya. Mereka yang sudah sangat tergila-gila pada tim kesayangannya tidak akan berpikir panjang lagi untuk dapat memperoleh selembar tiket pertandingan bola tim kesayangannya. Keinginan yang menggebu-gebu inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka tak peduli dengan cara bagaimana, berapa besar biaya, atau kepada siapa mereka dapat memperoleh tiket tersebut. Ironisnya, hal ini justru dijadikan oleh sebagian pihak sebagai peluang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tidak salah memang memanfaatkan aspek psikologis manusia sebagai salah satu basis strategi dalam melakukan penjualan. Dalam dunia pemasaran sendiri pun perilaku konsumen dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penciptaan marketing plan yang sempurna. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan perilaku konsumen dalam marketing plan. Para pengusaha, produsen barang/jasa mesti menyadari betul bahwa semakin besar mereka memanfaatkan perilaku para konsumennya, maka akan semakin besar pula feedback yang harus mereka berikan kepada para konsumen yang telah mereka “manfaatkan” tersebut. Sekali saja para konsumen merasa dikecewakan, maka akan sulit untuk membuat mereka seperti sediakala, belum lagi dengan adanya Word of Mouth negatif yang akan mereka sebarkan.
Setelah terjadinya tragedi bom beberapa waktu lalu yang menyebabkan banyak para fans sepakbola Indonesia kecewa berat karena gagalnya kedatangan tim MU, maka jangan sampai para fans yang notabene merupakan konsumen tersebut lebih dikecewakan lagi dengan segala macam alasan dan tindakan terkait dengan proses refund uang mereka. Di sinilah peranan perusahaan sebagai pengayom konsumen akan sangat terlihat. Komunikasi yang interaktif dan secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak terkait refund dapat saja menjadi elixir bagi para fans sepakbola yang sudah mengeluarkan segala jerih payahnya demi menyambut hari yang mereka nantikan. Semoga.