Brand Sluts vs Brand Evangelist

,
Seringkali kita dihadapkan pada permasalahan dimana suatu merek yang kita sukai atau bahkan yang di”puja” ternyata bukan hanya satu saja, dapat dua, tiga, dan seterusnya. Nah, fenomena inilah yang kadangkala diistilahkan dengan sebutan Brand Sluts. Dilihat dari maknanya secara eksplisit, mungkin yang pertama kali akan terbesit dalam benak kita adalah “wah, vulgar sekali”, “kasar artinya”, “tak sopan”, dan kata-kata semacamnya. Namun itulah marketing, fenomenal, dan kadangkala, kontroversial, sehingga membuatnya menarik untuk selalu disimak.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, istilah Brand Sluts mengacu pada loyalitas konsumen yang sering berpindah-pindah, tak hanya pada satu merek saja. Sedangkan lawannya adalah Brand Evangelist, yang dapat diartikan sebagai loyalitas konsumen yang terbangun hanya pada suatu merek tertentu saja. Sebenarnya, fenomena Brand Sluts ini bukanlah barang baru dalam dunia marketing, khususnya dalam hal Customer Loyality. Dalam bukunya, Marketing Management, Kotler telah membuat tingkatan-tingkatan dalam loyalitas konsumen. Nah, salah satu tingkatannya ada yang bernama Shifting Loyals atau konsumen yang berpindah loyalitas dari satu merek ke merek yang lainnya dan hal ini dapat disamakan dengan Brand Sluts. Sedangkan untuk Brand Evangelist dapat disamakan dengan Hard-core Loyals, atau konsumen yang loyal hanya pada satu merek tertentu saja. Jadi, istilah Brand Slut atau Brand Evangelist hanyalah sekadar sebutan “gaul” dari istilah-istilah yang telah ada dan dikenal sebelumnya.

Permasalahannya sekarang bukan terletak dari apa atau istilah mana yang lebih enak dipakai untuk merujuk kadar kesetiaan konsumen tersebut, namun lebih kepada kecenderungan konsumen saat ini, apakah lebih banyak yang mengarah ke brand sluts atau evangelist. Perusahaan jelas menginginkan konsumen untuk diarahkan menjadi brand evangelist, namun apakah konsumen juga berpikir begitu?! Ketika konsumen menjadi seorang brand evangelist, maka ia akan merasa memiliki bagian (ownership) dari merek tersebut. simak saja artikel dari Marketing Prof. berikut ini:

“Just as sports teams have fans, brands have evangelists. And just as each fan feels a sense of ownership in the team, a brand evangelist has that same sense of ownership in the brand. That sense of ownership gives brand evangelists a powerful incentive to see the brand succeed.”

Salah satu keuntungan ketika perusahaan memiliki Brand evangelist atau hardcore Loyals adalah, perusahaan akan mampu untuk menganalisis sejauh mana kekuatan produknya dalam menghadapi pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan permasalahan di mana slut ternyata lebih banyak ketimbang evangelist, maka suatu perusahaan akan dipaksa untuk membangun strategi baru guna mempertahankan atau menambah konsumen dari mereknya. Bahkan, kecenderungannya sekarang dengan semakin banyaknya pesaing dan konsumen dihadapkan pada beragamnya pilihan, maka brand evangelist makin terdengar seperti utopia belaka yang mustahil untuk dicapai. Lantas, apakah yang harus diperbuat oleh perusahaan jika sudah begini?!
Meskipun begitu, evangelist bukanlah suatu hal yang benar-benar punah eksistensinya saat ini. Brand evangelist masih ada dan bercokol, khususnya pada produk-produk “premium”. Konsumen-konsumen produk premium memiliki kecenderungan untuk keukeuh dengan produk tersebut karena selain mereka tak memiliki sensitivitas akan harga (harga berapapun akan tetap dibeli), biasanya produk-produk tersebut memang sangat jarang tersedia dan langka di pasaran. Hal inilah yang kemudian membuat brand slut biasanya lebih sering “berkeliaran” pada produk-produk yang diproduksi secara massal dan mudah ditemukan di pasaran.

Source Pic: GoogleImages

1 komentar:

  • 11 September 2012 pukul 19.20
    Turno says:

    tulisan gak mutu aja mau terkenal

    delete

Posting Komentar

 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger