Etika Mengkapitalisasi

,

Kami ingin bertanya pada manusia yang (masih) beriman kepada Tuhan, hal apa yang membuat Anda tersinggung bukan kepalang? Bukannya kami sok tahu, sok pakar ramal atau tarot, karena jelas kami bukan pakar, tapi kami coba menebak apa jawaban yang ada di benak anda. Kami pikir jawabannya: Ketika Agama atau Kepercayaan—beserta simbol-simbolnya—yang Anda yakini dilecehkan, bukan begitu?

Kami yakin begitu. Tengoklah umat Budha yang geram bukan kepalang akan munculnya Budha’s Bar dan Restoran Buddha (menjual daging loh..). Padahal keyakinan teologis Buddha mengharamkan daging karena berkaitan dengan konsepsi reinkarnasi untuk mencapai moksa. Bagi umat Buddha ini jelas sebuah pelecehan simbol dan ajaran agama yang cukup akut. Tak heran demonstrasi hadir bergelombang di Jakarta, demi menuntut penggantian nama dan penanggalan simbol Buddha pada dua arena marketing tersebut.

Bagi kami, fenomena ini semakin menyiratkan perseteruan tanpa akhir antara marketing dan agama. Agama pada galibnya berusaha mewanti dan mengampanyekan hidup bersahaja sebagai ekses penghambaan spiritual kita pada Tuhan. Pada sudut lain, marketing justru mengampanyekan pentingnya konsumsi yang berujung pembentukan konsumerisme dalam masyarakat. Bahkan, pada titik yang ekstrem, marketing berusaha (dan berhasil) mengkapitalisasi simbol dan keyakinan spiritual manusia, seperti Buddha’s Bar contohnya.

Menyarunya marketing ke dalam simbol keagamaan, mestinya menjadi perhatian penting para marketer di seluruh dunia. Karena, hal ini menghasilkan dua mata pisau yang saling berkebalikan, keberhasilan atau menjadi bumerang. Arla Food misalnya, perusahaan mentega dan keju ini pada 2006 silam diboikot oleh salah satu pangsa pasarnya yang cukup besar(Asia Timur) karena salah satu iklannya memuat karikatur Nabi Muhammad. Jelas bagi masyarakat Asia Timur yang kebanyakan Muslim, Nabi Muhammad adalah sosok sakral yang dengan alasan apapun tidak boleh divisualisasi, apalagi dilecehkan. Arla Foods mungkin bertujuan menciptakan sensasi hingga akhirnya image produk mereka menancap di benak konsumen. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, ia kehilangan 95 % pangsa pasar regional Asia Timur. Bahkan, ia mengalami kerugian sekitar $ 2 juta/hari hingga aktivitasnya di Asia Timur terhenti. What da hell!!

Arla Foods mengabarkan pada kita betapa rentannya menyaru pada simbol-simbol keagamaan. Benar ada bisnis yang berhasil, seperti ESQ-nya Ari Ginanjar. Tapi, kebanyakan justru menjadi bumerang bagi strategi marketing. Pada konteks Buddha’s Bar, ya kami tahu mungkin mereka hendak mencipta ekstase spiritualisme dalam usahanya dan atau kontroversi seperti Arla Foods lakukan. Ia memang berhasil mencipta kontroversi negeri ini. Menjadi headline dan dipikirkan secara riuh oleh komunitas dan otoritas keagamaan. Tapi, berpikirkah mereka bahwa mereka tidak sedang bertarung sendirian. Lawan yang setara bahkan dahsyat telah siap untuk menikam balik. Karena itulah, marketing pun mesti beretika untuk mengkapitalisasi apapun, apalagi agama.

0 komentar to “Etika Mengkapitalisasi”

Posting Komentar

 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger