Meraih Kemenangan Sesungguhnya

,
Prita Mulyasari akhirnya tetap dinyatakan kalah oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten. Ibu yang malang ini divonis melakukan pencemaran nama baik atas email berisi keluhan pelayanan RS OMNI Internasional yang dikirimkan kepada teman-temannya. Dia diharuskan membayar denda sebesar 204 juta rupiah kepada RS OMNI.
 
Para pengguna internet (netter) merespon ini dengan meluncurkan gerakan “Koin Peduli Prita”. Gerakan ini berusaha mengajak masyarakat khususnya para pengguna internet untuk mengumpulkan dan menyumbangkan recehan untuk membantu Prita dalam membayar dendanya. Gerakan ini sudah mulai dikomunikasikan di beberapa situs jejaring sosial seperti Twitter dan di beberapa media massa.
 
Gerakan ini pada dasarnya merupakan bentuk perjuangan untuk menciptakan kehidupan yang horisontal. Menurut Hermawan Kartajaya dalam artikel New Wave-nya berjudul Horisontalisasi Pemasaran, saat ini bukan saatnya lagi perusahaan menempatkan konsumen sebagai sub-ordinat dalam kesehariannya. Menurutnya, sekarang ini para marketer semestinya membaur dengan konsumen sehingga memberikan simbiosis mutualisme di antara keduanya.

 
Kondisi itulah yang tidak dilakukan oleh OMNI Internasional. Rumah sakit ini justru dengan pongah merespon keluhan (feedback) dari pasiennya (Prita) dengan tindakan represif. OMNI menuntut Prita secara hukum, yang kemudian membuat Prita harus membayar denda sebesar 240 juta rupiah.

Pada konteks ini, OMNI memang menang secara hukum. Namun, pada dasarnya mereka justru berada di pihak yang sangat dirugikan. Generasi digital di negeri ini telah lama menggalang opini publik yang menyerang OMNI. Banyak gerakan di Facebook, Twitter, dan blog-blog sosial yang mengkritik tindakan OMNI. Situasi ini berlanjut hingga kini dengan munculnya “Koin Peduli Prita” tersebut.
 
Situasi ini kemudian menciptakan negative word of mouth (WOM) tentang OMNI. Publik telah mengasosiasikan OMNI sebagai rumah sakit berpelayanan buruk, apapun alasannya. Masyarakat sudah tidak percaya lagi pada OMNI. Dan bukan tidak mungkin dari situasi ini pula OMNI akan semakin ditinggalkan masyarakat.
 
Apa yang dialami OMNI memberikan hikmah kepada kita. Bagi perusahaan yang hidup di lingkungan New Wave, OMNI semestinya menjalin dialog dengan konsumen-konsumen (pasien) aktif semacam Prita. Perusahaan mutlak mengelola feedback betapapun kerasnya dengan elegan agar tak berkembang menjadi negatif WOM. 

Selain itu, konsumen pun mesti diajak untuk berkontribusi dalam aktivitas perusahaan, sehingga lambat laun mereka akan bertransformasi menjadi advocate yang membantu komunikasi perusahaan. Karena dengan inilah, perusahaan akan mendapatkan kemenangan sesungguhnya: mendekam elegan di benak sumringah masyarakat.



Photo by cyber91 @ Flickr



Read more

Benarkah Harapan Ada Pada Generasi Digital?

,
.....Just Want to Share with You: Ini artikel saya yang dimuat di Harian Kontan, 10 November 2009. Semoga sahabat bisa memberikan komentar....
Dalam sebulan ini, setidaknya kita dihebohkan oleh tiga video mesum amatir yang diperankan remaja di beberapa daerah. Di Banyuwangi muncul video berlabel “anak kost” yang diduga diperankan oleh sepasang remaja SMP. Tak lama berselang, di Nganjuk dan Surabaya muncul video bergenre serupa yang juga pemerannya diduga masih berusia sekolah dan mahasiswa.

Peristiwa ini memang kalah mentereng oleh kedigdayaan drama “cicak versus buaya”. Tapi, bukan berarti isu ini tak kalah penting dibandingkan perseteruan KPK-Polri. Hadirnya tiga video mesum ini jelas menjadi ironi dalam momentum kebangsaan Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan.

Kita tahu, selepas pertengahan 1990an, internet dan telepon genggam mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini kemudian melahirkan generasi baru yang lazim disebut generasi 2.0. atau generasi digital. Punggawa generasi ini jelas memiliki laku kehidupan berbeda dengan generasi sebelumnya, ditandai dengan begitu intensnya mereka bergumul dengan internet.

Dengan seremoni dua hari besar ini, masyarakat menaruh harapan besar di pundak generasi digital, untuk merevitalisasi perannya sesuai kemajuan teknologi. Mereka inilah yang kelak menjadi tombak perubahan sosial bangsa agar menjadi pemenang dalam dunia yang borderless akibat digitalisasi informasi. Sayangnya, harapan kerumunan bangsa ini sedikit terganjal. Kembali maraknya video-video mesum amatir di pelbagai daerah sedikit banyak melahirkan riak-riak kecemasan dalam benak bangsa ini. Mestikah kita menaruh harapan pada generasi yang justru menjadi devian-devian teknologi?


Potensi penyimpangan teknologi semacam ini sudah lama diendus para pakar internet & society di dunia. M. Gigi Durham dalam studinya bertajuk Lolita Effect menyatakan bahwa internet dapat merangsang para remaja untuk melabrak batas-batas privasinya. Dengan tegas Durham menyatakan, “It is pretty routine these days for girls to post provocative pictures of themselves online”. Hal ini terjadi guna memantik popularitas dirinya, yang akhirnya membikin mereka seolah-olah tak punya rasa malu (shameless).

Don Tapscot dalam Grown Up Digital berpandangan terbalik dengan Durham. Menurutnya, masalah privasi memang terkadang mengemuka, tapi generasi digital justru menjadi avant garde dalam memecahkan persoalan masyarakat. Generasi ini merupakan generasi paling community-based oriented, yang tak lekas menjadi makhluk introvert.

Di negeri ini banyak generasi digital yang mampu berkreasi dalam aras positif. Itu ditandai dengan bermunculannya technopreneur-technopreneur muda yang menkonversi teknologi menjadi ladang pekerjaan baru. Atau bergiatnya generasi muda sebagai garda kekuatan massa (people power) melalui aktivisme blogging.

Bobroknya Pemahaman

Sayangnya, kreasi itu berjalan beriringan oleh “kreasi” dari kutub lain. Pada sekitar 2004, Indonesia dibanjiri oleh arus video-video mesum amatir yang sebagian besar dibuat generasi muda. Hingga hal tersebut melahirkan gerakan “Jangan Bugil di Depan Kamera”. Di tangan mereka, internet dan telepon genggam menjadi senjata untuk menyalurkan eksistensi negatif demi meraih pseudo-popularitas dirinya. Sejak itu, ratusan video porno amatir datang silih berganti dan bertahan hingga kini. Akibatnya Indonesia menjadi salah satu negara yang cukup intens menghasilkan video porno amatir.

Ragam deviasi teknologi yang dilakukan generasi digital ini menjadi kulminasi atas bobroknya pemahaman massa atas kemajuan teknologi. Internet yang bergerak tunggang-langgang telah melahirkan pilihan berkelimpahan (abundant choices), mulai dari yang pilihan positif hingga berujung pada titik ekstrem.

Bagi generasi muda di Indonesia, pilihan yang berkelimpahan ini justru membikin mereka bingung. Mereka masih tergagap untuk dapat mengekploitasi teknologi sesuai dengan ragam selera, dan bakatnya. Akibatnya, mereka cenderung berpikir instan dengan menggali eksistensinya dalam ragam video porno amatir, guna menggapai popularitas instan yang cepat menukik kembali.

Padahal, jika lebih jeli, pilihan yang lebih bijak untuk mengail popularias terbentang tak terkira. Andrew Darwis misalnya, ia dengan jeli membangun dan mengelola situs komunitas, Kaskus.us. Situs komunitas yang genap berusia 10 tahun pada 6 November ini, telah menjadi fenomena dalam laku kehidupan digital tanah air.

Kaskus menjadi forum yang sangat bermanfaat mulai dari diskusi sosial-politik, edukasi ataupun sekadar bergosip tentang hal yang remeh temeh. Selain itu, melalui Forum Jual Beli (FJB), Kaskus banyak membantu para produsen kecil dalam memasarkan produk-produknya hingga bisa sampai ke tangan konsumen. Kini, situs bikinan anak negeri ini telah menjadi salah satu komunitas paling aktif di dunia.

Karenanya, kini, menjadi saat yang tepat bagi generasi digital negeri ini untuk mengubah pilihanya ke arah yang lebih kontributif. Kecuali jika kita rela hanya duduk sebagai penonton, sementara di belahan dunia lain, mereka berlarian.

Credit photo by sortofbutnotreally on Flickr
Read more

“Facebook” untuk Marketing

,

Judul : F-Marketing: Optimalkan Personal Image & Product Branding Anda.
Penulis : Pitra Satvika
Penerbit : Pustaka Bina Swadaya
Tebal : 111 halaman
Tahun : I, Mei 2009.
Harga : Rp22.000,-
Semenjak kehadirannya pada 2004, Facebook telah membikin wajah dunia menjadi lebih sumringah. Banyak orang yang dibuat penasaran dan akhirnya tak kuasa menghambakan dirinya untuk dijajah sensasi ber-Facebook-an. Kita seperti dibuat girang menikmati pelbagai fitur dan aplikasi yang ditawarkan situs bikinan Mark Zuckerberg ini.   Jika kita telusuri, fenomena itu tidaklah hadir tanpa alasan yang jelas. Facebook mampu menawarkan fitur dan aplikasi yang terbilang lengkap. Hampir semua aplikasi dan fitur-fitur facebook boleh dikatakan dapat mengakomodasi kebutuhan manusia saat ini, mulai dari kebutuhan akan eksistensi nan narsistik, hiburan, hingga aktivitas bisnis.
Di tengah hiruk-pikuknya libido masyarakat dalam menulis dan mengulas Facebook, Pitra Satvika—melalui buku berjudul F-Marketing membahas pemanfaatan Facebook untuk dunia pemasaran. Buku ini menjelaskan pemanfaatan fitur-fitur dan aplikasi Facebook guna kepentingan personal branding dan aktivitas marketing sebuah merek ataupun gerakan sosial.

Sebenarnya, pemanfaatan Facebook untuk marketing telah menjadi subtren tersendiri dalam dunia pemasaran kontemporer. Seiring tumbuh-berkembangnya media-media jejaring sosial macam Facebook, Twitter, dan MySpace, dunia pemasaran ketimpa berkah akan perubahan radikal dalam penerapan strateginya. Tren ini telah mengubah wajah pemasaran menjadi lebih egaliter dan horizontal. Dengan ini, konsumen bukan lagi sub-ordinat yang mesti dicekoki oleh program marketing perusahaan secara vertikal. Tapi yang mesti terjadi, para marketer mesti duduk bersama, menjalin komunikasi dua arah dengan konsumen dalam rangka memasarkan produknya.

Keniscayaan ini telah membuat banyak perusahaan untuk terjun menyelami jejaring sosial ini. Buku ini menceritakan kisah sukses beberapa brand besar macam Coca-Cola dan Toyota Yaris yang berhasil memanfaatkan Facebook untuk aktivitas marketingnya.

Brand-brand tersebut telah mampu menciptakan keintiman yang berharga dengan para konsumennya. Dengan ini, Coca Cola dan Yaris meraih benefit berharga terutama dalam usaha memelihara loyalitas para pelanggannya.

Sayangnya, di balik kisah-kisah itu, buku ini lupa dalam membeberkan kisah-kisah industri kreatif yang sukses dengan memanfaatkan facebook. Padahal, pada kenyataannya, cukup banyak pelaku industri kreatif di negeri ini yang menjadikan facebook sebagai ujung tombak pemasaran produk-produknya.

Menurut saya, hal ini cukup penting diangkat mengingat pemerintah sedang giat-giatnya menggarap pertumbuhan industri kreatif. Terlepas dari hal tersebut, saya rasa buku ini layak diapresiasi karena telah berikhtiar untuk mengabarkan sensasi lain dari Facebook yang selama ini kita maknai hanya sebatas “tubuh” tempat menyalurkan narsisme belaka.


Resensi ini telah dimuat di Koran Jakarta, 21 Agustus 2009 
Read more

Jangan Membuat Kami lebih Kecewa

,
Bom yang kembali mengguncang kota Jakarta pada hari Jumat pekan lalu (17 Juli 2009) cukup banyak memberikan dampak yang negatif bagi Indonesia, tidak terkecuali pada sektor ekonomi beserta perangkat-perangkat pendukungnya, pemasaran misalnya. Hal yang paling santer terlihat dalam hal ini adalah dengan meruginya sejumlah pihak atas batalnya kehadiran salah satu tim sepakbola papan atas dunia,”The Red Devil” Manchester United. Kerugian yang ditimbulkan pun tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp. 50 Milyar lebih sebagaimana yang disampaikan oleh PSSI. Kerugian yang diderita tidak hanya ditanggung oleh pihak panitia pelaksana saja selaku pihak penyelenggara utama, pihak ketiga (sponsor, agen tiket, hotel, dan lainnya) yang mendukung terwujudnya pertandingan tersebut pun juga tak luput dari kerugian. Kedatangan MU memang telah dijadikan oleh sebagian pihak sebagai momentum berharga yang dipandang paling tepat untuk memajukan usaha bisnis mereka, termasuk dengan cara memasarkan produk-produk mereka dengan menggunakan MU sebagai atribut pemasarannya. Namun apa mau dikata, bom yang kembali menghajar kawasan Kuningan tersebut terpaksa membuat mereka menderita kerugian yang besar sehingga pada akhirnya malah hanya menyisakan problematika yang rumit, pengembalian tiket pada konsumen misalnya.

Seperti yang sudah kita ketahui jauh-jauh hari sebelumnya, penjualan tiket pertandingan MU vs Indonesia All Star memang cukup rumit. Cukup banyak pihak-pihak yang campur tangan dalam proses ini sehingga apabila pada akhirnya kejadian force majeur seperti pengeboman ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan bahwa proses pengembalian tiket pun akan rumit pula. Mulai dari pemesanan tiket dengan booking fee yang cukup besar, pembelian tiket melalui salah satu operator seluler, hingga melalui pemesanan online kepada “pihak” tertentu yang pada akhirnya—disadari atau tidak—cukup merugikan konsumen. Meskipun harus melalui cara yang berbelit-belit dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetap saja banyak konsumen yang rela untuk melakukannya. Dalam teori perilaku konsumen yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, dikatakan bahwa kebanyakan dorongan psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan (membeli) sesuatu dilakukan tanpa disadari sepenuhnya oleh orang tersebut.

Rasionalitas dalam melakukan pembelian terhadap suatu produk (baik barang atau jasa) justru lebih lemah apabila dibandingkan dengan aspek emosionalitas si konsumen. Lemahnya aspek rasionalitas ini dapat sangat terasa pada segmen konsumen tertentu di masyarakat, penggila sepakbola misalnya. Mereka yang sudah sangat tergila-gila pada tim kesayangannya tidak akan berpikir panjang lagi untuk dapat memperoleh selembar tiket pertandingan bola tim kesayangannya. Keinginan yang menggebu-gebu inilah yang kemudian membuat sebagian dari mereka tak peduli dengan cara bagaimana, berapa besar biaya, atau kepada siapa mereka dapat memperoleh tiket tersebut. Ironisnya, hal ini justru dijadikan oleh sebagian pihak sebagai peluang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tidak salah memang memanfaatkan aspek psikologis manusia sebagai salah satu basis strategi dalam melakukan penjualan. Dalam dunia pemasaran sendiri pun perilaku konsumen dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penciptaan marketing plan yang sempurna. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan terkait penggunaan perilaku konsumen dalam marketing plan. Para pengusaha, produsen barang/jasa mesti menyadari betul bahwa semakin besar mereka memanfaatkan perilaku para konsumennya, maka akan semakin besar pula feedback yang harus mereka berikan kepada para konsumen yang telah mereka “manfaatkan” tersebut. Sekali saja para konsumen merasa dikecewakan, maka akan sulit untuk membuat mereka seperti sediakala, belum lagi dengan adanya Word of Mouth negatif yang akan mereka sebarkan.

Setelah terjadinya tragedi bom beberapa waktu lalu yang menyebabkan banyak para fans sepakbola Indonesia kecewa berat karena gagalnya kedatangan tim MU, maka jangan sampai para fans yang notabene merupakan konsumen tersebut lebih dikecewakan lagi dengan segala macam alasan dan tindakan terkait dengan proses refund uang mereka. Di sinilah peranan perusahaan sebagai pengayom konsumen akan sangat terlihat. Komunikasi yang interaktif dan secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak terkait refund dapat saja menjadi elixir bagi para fans sepakbola yang sudah mengeluarkan segala jerih payahnya demi menyambut hari yang mereka nantikan. Semoga.


Read more

Me-layar lebarkan Iklan Politik

,

Beberapa hari lalu, saya mengunjungi bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di daerah Jakarta selatan. Ketika film hendak dimulai, alangkah terperanjatnya saya begitu melihat iklan salah satu kandidat Capres yang diputar menjelang dimulainya film. Awalnya, saya pikir itu adalah salah satu trailer film yang akan hadir (coming soon) sebagaimana biasanya. Namun ternyata setelah hampir durasi 3 menit-an, saya baru menyadari bahwa itu sebenarnya adalah iklan politik salah seorang Capres. Keterkejutan saya ini tentu saja beralasan, terlebih materi iklan tersebut yang lain daripada yang lain. Formatnya sengaja dibuat atau disesuaikan dengan layar lebar, begitu pula dengan materi iklan yang seperti film yang sudah terskenario dengan baik. Tidak sedikit penonton yang kemudian terkejut, kagum, atau bahkan sekadar bersiul ringan setelah melihat iklan politik —yang menurut saya paling lama—dengan durasi kurang lebih 8 menit tersebut. Melihat antusiasme para penonton bioskop tersebut saya kemudian berpikir mengapa iklan politik, yang biasanya diacuhkan oleh para penonton, dapat menjadi suatu hal yang memikat, terlepas dari apakah para penontonnya kemudian berminat untuk memilih calon tersebut atau tidak. Maka saya pun tergerak untuk sekadar menggoreskan isi pemikiran saya mengenai hal tersebut dalam tulisan yang singkat ini.

Iklan politik, layaknya iklan-iklan lain pada umumnya juga mempunyai tujuan yang hampir sama, salah satunya yaitu untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai produk yang ditawarkan. Begitu pun dengan iklan politik, yang membedakannya hanyalah “produk” yang diiklankan dan juga waktu penayangan iklan tersebut (biasanya hanya pada musim kampanye). Produk politik tentu saja berbeda treatment-nya dengan produk non politik yang cenderung komersial dan berorientasi profit. Menurut Niffegger (1989) produk politik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) party platform, (2 post record (catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lampau), (3) karakteristik pribadi. Terkait dengan musim kampanye capres saat ini, maka setidaknya kita dapat memasukkan pada dua kategori di atas, yaitu post record dan karakteristik pribadi, platform partai juga mempunyai pengaruh namun tak sesignifikan Pemilu Legislatif sebelumnya. Selebihnya sudah dapat kita tebak, iklan yang merupakan salah satu ujung tombak marketing plan akan diisi oleh dua kategori tersebut, yaitu tentang karakteristik pribadi calon atau tentang hal-hal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh sang calon. Maka tak heran apabila iklan-iklan politik saat ini kebanyakan mempunyai content yang hampir sama.

Iklan sebagai media transfer politik juga harus dikemas sedemikian rupa agar mampu untuk menarik atensi khalayak umum dan secara bersamaan mampu melakukan transfer nilai dan pesan politik kandidat kepada mereka. “Pengemasan” iklan inilah yang kemudian dapat sangat menentukan keberhasilan suatu iklan ketika sudah dirilis di tengah-tengah masyarakat umum. Dalam musim kampanye akhir seperti ini, rakyat sudah mampu untuk menangkap atribut nilai politik yang ditawarkan oleh para kandidat. Mulai dari “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi kemandirian”, “program yang berkelanjutan”, dan lainnya sudah sangat melekat di diri masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Oleh karena itu, tak heran apabila kemudian kreatifitas lah yang akan sangat menentukan keberhasilan pertarungan iklan, karena atribut-atribut program kerja pasangan sudah melekat di masyarakat. Dalam fase inilah maka pertarungan iklan sudah tak lagi pada tahapan “perang program”, namun lebih kepada perang kreatifitas di mana program-program dan citra para kandidat dapat diwujudkan dalam bentuk iklan.

Kembali ke masalah di awal tadi, iklan yang baik harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan juga tipikal khalayak yang dituju. Penayangan iklan di televisi, media cetak atau bahkan layar lebar tentu saja mesti berbeda antara satu dengan yang lainnya karena target konsumen yang dituju pun akan sangat berbeda. Para penonton televisi tentu saja berbeda tipikalnya dengan penonton bioskop yang notabene-nya sudah membayar sejumlah biaya untuk melihat sesuatu yang lebih “bernilai” ketimbang di televisi. Kesesuaian iklan dengan media yang dipilih inilah yang dapat menjadi titik kulminasi kreatifitas para marketer dan pengiklan dalam menawarkan produk-produknya, termasuk juga kandidat Capres-Cawapres yang merupakan produk politik. Terlepas dari itu semua, pemasaran produk politik (termasuk juga iklan politik) memang lebih sulit untuk di analisis jika dibandingkan dengan produk konvensional, karena kecenderungan emosional produk politik jauh lebih besar ketimbang produk konvensional yang masih rasional.




Sumber Gambar: inilah.com
Read more

"Gan Marketing": Memasarkan di Kaskus

,

Kaskus, siapa sih yang tidak mengenal situs komunitas yang satu ini? saya yakin setiap orang yang pernah menjelajahi dunia maya pastinya sudah mengetahui keberadaan dan eksistensi situs yang satu ini, terutama kita-kita ini, orang Indonesia. Semenjak diluncurkan beberapa tahun silam, tepatnya pada tahun 1999, keberadaan Kaskus sudah menjadi fenomena tersendiri bagi perjalanan situs komunitas di belantika dunia maya, khususnya Indonesia. Banyak sekali hal-hal yang dapat kita temukan di Kaskus, mulai dari info terkini, jual-beli barang, berita populer, dan tentunya juga pemasaran. dalam hal bisnis, cukup banyak orang-orang ataupun perusahaan yang singgah untuk memasarkan produk-produk mereka di situs ini (dengan membuka “lapak” atau pasang iklan) atau hanya sekadar membuka thread agar dapat berinteraksi dengan masyarakat luas mengenai produk mereka.
 
Banyaknya orang ataupun perusahaan yang mencoba untuk memasarkan produk mereka di situs ini bukanlah tanpa sebab. Kaskus merupakan situs komunitas maya yang terbesar di Indonesia dengan jumlah member yang mencapai lebih dari 800 ribu orang dan hingga saat ini diperkirakan sudah mencapai lebih dari 75 juta posting-an yang dikirimkan. Selain itu, sebagaimana yang dilansir oleh situs alexa.com, Kaskus menempati urutan ketujuh situs yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat Indonesia, dengan jumlah page view yang mencapai 3.500.000 per harinya. Meskipun pada awalnya Kaskus terkenal dengan citra negatifnya sebagai media underground dan situs porno (terutama karena adanya forum BB-17 dan Fight Club yang sekarang sudah dihapus), namun seiring dengan diberlakukannya UU ITE, maka situs ini pun menjadi lebih “halus” dan lebih diterima oleh masyarakat luas. 
Dengan besarnya peluang pasar yang terdapat di Kaskus, maka tak heran apabila Kaskus juga menjadi salah satu media Viral marketing yang paling efektif di Indonesia. Yang membuat viral marketing di Kaskus menjadi unik dan berbeda dengan yang lainnya adalah bahwa para marketer yang hendak berkontribusi di Kaskus, mau tak mau harus menyesuaikan dengan “atmosfer” yang ada di Kaskus. Maka tak heran apabila kita menjumpai orang atau perusahaan yang menawarkan produknya menggunakan bahasa komunikasi ala Kaskus. Kata-kata seperti “barangnya bagus gan”, “recommended seller”, “sundul lagi”, dan lainnya seperti sudah menjadi suatu keharusan apabila ingin membuka atau bergabung di suatu thread. Jarang sekali kita temui cara berkomunikasi yang sifatnya formal dalam forum Kaskus (kecuali memang ada ketentuan dalam forum tersebut) dan inilah yang membuatnya unik.


Thread-thread di Kaskus juga menjadi media Word of Mouth yang terbilang sangat efektif dan efisien, baiknya yang sifatnya negatif ataupun positif. Cukup banyak seller-seller produk yang menjadi “highly recommended” atau malah “not recommended” untuk dibeli produknya akibat dari WoM di forum-forum Kaskus. Saya pribadi pernah menemukan suatu toko yang benar-benar sangat direkomendasikan oleh para pengguna Kaskus pada suatu forum dan pengaruhnya ternyata sangat besar bagi toko tersebut. Banyak orang yang kemudian mengunjungi toko tersebut atas banyaknya rekomendasi dan kemudian terus merekomendasikannya kembali kepada orang-orang lainnya. Sebaliknya, ada juga toko yang terang-terangan dilarang oleh para user forum untuk dikunjungi dan membeli barang di situ. Hasilnya jelas, toko tersebut benar-benar berkurang pelanggannya dan cenderung sepi.


Saya pribadi juga cukup kaget dengan dampak dari WoM yang ada di Kaskus yang ternyata sangatlah signifikan. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan Wom ataupun viral marketing yang ada pada situs jejaring sosial ataupun social media seperti Facebook, atau Twitter. Menurut saya pribadi, Kaskus memang cukup sesuai dengan pribadi kebanyakan orang-orang Indonesia sehingga wajar kalau WoM di Kaskus lebih cepat menyebar daripada situs-situs lainnya di Indonesia yang kebanyakan dimiliki dan dirancang oleh pihak asing. Jadi, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Kaskus akan mampu untuk mengalahkan kedigdayaan situs semacam Facebook atau Friendster di Indonesia. Mantap gan!!!



Read more

Dangdut 2.0

,
Apakah Sahabat tahu siapa itu Mela Barbie, Lina Geboy, atau Hesti Bohay? Sahabat mungkin malah bertanya, siapa mereka? Memang, mereka bukanlah selebritas terkenal bak Manohara. Tapi, jauh di belahan lain mereka adalah para primadona yang ditunggu performance baik secara live atau pun video-nya. Bagi Sahabat yang belum terlalu faham, mereka adalah para penyanyi kelas hajatan, atau acara kemasyarakatan di kampung-kampung. Namun jangan kira, mereka justru menjadi penyanyi dangdut populer di YouTube. Tengok saja beberapa video mereka telah di view ratusan ribu kali. Sekedar contoh, video Mela Barbie yang berjudul “Mencari Mangsa” telah di view sekitar 282.685 (buktikan di sini). Lebih dari itu, banyak video mereka yang telah merangsek, merebut perhatian khalayak YouTube. Pertanyaannya, mengapa mereka menjadi begitu populer.

Argumen pertama pasti karena mereka adalah penyanyi dangdut yang seksi, dan menjual goyangannya. Itu tak dapat dipungkiri. Masalahnya, mengapa mereka begitu populer di dunia maya padahal mereka berdiam entah di dunia antah berantah mana?

Menurut Chris Anderson (2006), inilah fenomena Long Tail yang dibikin oleh kemajuan internet khususnya media-media web 2.0. Masyarakat terkena sindrom DIY (Do It Yourself). Alih-alih mengiba belas kasihan pada label rekaman, atau production house, mereka justru membikinnya sendiri. Berbekal handycam, atau kamera handphone, masyarakat kini menjadi produsen amatir yang justru membikin produk semakin berlimpah. Inilah kekuatan pertama Long Tail: Demokratisasi Sarana Produksi.

Penampilan Mela Barbie dkk jelas tak akan disiarkan oleh stasiun TV mainstream. Bisa-bisa stasiun TV tersebut terkena pencekalan. Sebagian pencinta dangdut pasti terkena “dahaga” kronis akibat kekurangan sajian itu. Tapi, semenjak YouTube hadir, semua itu sedikit banyak terminimalisir. Banyak production house-production house (PH) amatir yang secara militan mendokumentasikan penampilan si biduan panggung tersebut. Dari hajatan ke hajatan, mereka selalu ada untuk memuaskan dahaga Anda akan musik Dangdut, karena dengan internet everyone can be a producers.

Mela Barbie dkk, telah menjadi bukti luar biasanya Long Tail. Ia membikin segala hal menjadi tersedia. Inilah era dimana pilihan menjadi begitu tak terbatas. Semua kebutuhan Sahabat, saya yakin akan dapat terpenuhi. Sahabat butuh buku-buku lawas? Sahabat tinggal ubek-ubek saja Amazon.com. Sahabat butuh musik-musik lawas? Sahabat tinggal ubek-ubek iTunes. Atau sahabat butuh video-video dangdut koplo seperti Mela Barbie dkk? Sahabat tinggal ubek-ubek saja YouTube. Semuanya telah tersedia berkat internet.

Kini, kelangkaan barang bukan lagi penghalang dalam mekanisme supply and demand. Kelangkaan justru beralih dari barang ke perhatian (attention). Ya, saking tak terbatasnya pilihan, maka yang langka justru perhatian untuk memilah pilihan-pilihan mana yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan kita.

Hal tersebut pada awalnya menjadi kritik terhadap para pengusung Long Tail. Barry Shcwatz dalam Paradox of Choice (2006) misalnya, mengungkapkan bahwa pilihan berlebih justru bakal “melumpuhkan” masyarakat. Alih-alih mendapatkan apa yang dibutuhkan, masyarakat justru akan putus asa dan tidak jadi membeli.

Namun, para pengusung Long Tail memberikan solusi bahwa pilihan tak terbatas mesti dipadankan dengan filter untuk menyaring berbagai pilihan tersebut agar sesuai dengan kita. Inilah yang dapat menjelaskan kenapa video-video amatir Mela Barbie dkk merebut banyak perhatian. YouTube jelas telah menerapkan mekanisme filter yang akurat. Mulai dari pencarian keyword hingga filter related videos ketika kita membuka salah satu video. Filter inilah yang kemudian membantu kita merambah dunia bawah tanah, laiknya dunia Mela Barbie dkk.

Karenanya, jika banyak orang beranggapan Dangdut kini telah mulai menyentuh azalnya, Sahabat mesti memikirkan ulang. Internet dan mekanisme Long Tail-nya justru membikin itu tetap hidup dalam kerumunan yang khusus (niche). Mereka akan hidup dan terus hidup seiring tunggang-langgangnya zaman. Saya pun berani berkelakar: Dangdut takkan pernah mati, karena dangdut telah berevolusi menjadi Dangdut (versi) 2.0.!

Source Pic: Mela Barbie @ Facebook.

Read more

Balada cincin kematian (Red Ring of Death)

,

Bagi para penggemar/maniak game seperti saya mungkin istilah RROD (Red Ring of Death) bukanlah suatu hal yang asing dan tidak familiar. Yep, istilah ini digunakan untuk penyebutan suatu “penyakit” yang melanda console game Xbox 360 semenjak awal perilisannya. Dan tentunya bukan menjadi rahasia lagi bahwa Xbox 360 pun menjadi salah satu kompetitor utama di pasar console game dunia saat ini yang bahkan sanggup mengalahkan kedigdayaan sang maestro console, Playstation dengan PS 3-nya. Lalu apa hubungannya antara RROD dengan larisnya penjualan console game ini? inilah yang akan saya coba tulis di sini.

RROD (Red Ring of Death) merupakan suatu kerusakan yang hampir pasti akan dialami oleh setiap pemilik console game Xbox 360, cepat ataupun lambat. Kerusakan yang dialami berupa terjadinya kematian mendadak pada console tersebut yang ditandai dengan munculnya red sign pada sekeliling tombol power console. Kerusakan ini sendiri sangatlah mengganggu pemiliknya, betapa tidak? Xbox 360 yang terkena serangan maut ini hampir pasti akan rusak total atau kalau pun dapat dibetulkan peluang untuk terserang kembali sangatlah besar. Kejadian ini bagi para gamer sejati tentu saja akan sangat mengganggu, untuk memperbaikinya saja memerlukan waktu hingga berminggu-minggu dan dengan tanpa jaminan betul-betul akan sembuh total. Alhasil, para gamer yang consolenya sudah terlanjur terkena “cincin kematian” ini mau tak mau mesti membeli lagi console yang baru. (untuk mengetahui penyebab RROD dapat di klik di sini)

RROD ini sendiri sebenarnya tak muncul pada Xbox generasi sebelumnya, yang mengalami kekalahan cukup telak dari pesaingnya yaitu
Nintendo GC dan PS 2. Banyak penyebab kalahnya Xbox dari persaingan ini, salah satunya adalah desain bentuk dari Xbox yang kurang menarik dan bahkan disebut seperti “meja yang tanpa kaki” di Jepang. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Microsoft pun lantas mati-matian mengubah desain Xbox berikutnya dengan meng-hire banyak desainer jenius untu merancang Xbox 360, dan hasilnya terbukti dapat diterima dengan baik oleh khalayak gamer. Nah, lalu muncullah permasalahan RROD tak lama setelah perilisannya, namun tanpa diduga sebelumnya ternyata RROD ini justru tak berpengaruh signifikan terhadap penjualan console Xbox 360 yang cenderung meningkat.

Sebagai respon atas munculnya problema RROD ini, pihak Microsoft sendiri sebenarnya sudah mencoba menanggulanginya dengan memperbarui berbagai macam komponen di Xbox 360 agar lebih tahan terhadap RROD. Maka muncullah berbagai macam versi Xbox 360, mulai dari yang paling awal seperti
xenon, Zephyr, Falcon hingga yang terbaru yaitu Jasper. Pembaharuan komponen ini sendiri tak menjamin bahwa Xbox 360 100% aman dari RROD, peluang masih ada, hanya lebih kecil. Dengan terus diperbaharuinya Xbox 360, tentu saja banyak para pemilik Xbox 360 yang kemudian mengganti miliknya dengan versi yang lebih baru (yang punya Xenon beli lagi yang Falcon, atau yang punya Falcon membeli lagi Jasper) agar lebih awet dan lebih menjamin kepuasan bermain tentunya. Banyaknya pemilik console versi sebelumnya yang kemudian membeli lagi tentu saja berpengaruh pada kenaikan penjualan Xbox 360. Meskipun tak mengalami pengaruh yang cukup signifikan terhadap penjualan Xbox 360, namun Microsoft cukup dibuat ketar-ketir oleh RROD ini, belum lagi dengan adanya error lain pada console seperti disc scratches yang sempat membawa pihak Microsoft ke meja pengadilan pada tahun 2007 karena dianggap mengabaikan dan tak memberikan tindak lanjut yang pantas atas komplain konsumennya terkait dengan error tersebut.

Kalau kita coba tinjau lebih jauh lagi dari aspek pemasaran, maka kita akan menemukan istilah yang lazim disebut dengan product life cycle atau daur hidup produk. Dapat dikatakan bahwa Xbox 360 saat ini masih berada dalam tahap pertumbuhan (growth). Indikasinya dapat dilihat pada terus berkembangnya peningkatan kualitas produk (mulai dari Xenon, hingga Jasper), adanya penambahan fitur-fitur baru (seperti New Xbox Experience), dan harganya pun mulai turun. Adanya RROD justru menjadi semacam katalisator bagi terus berkembangnya Xbox, baik dari segi penjualan maupun dari sisi pengembangan produk. Pihak Microsoft pun tampaknya cukup cerdas dalam membidik konsumen target mereka dengan menggunakan game-game yang tersedia di Xbox. Konsumen-konsumen Xbox 360 adalah para game loyalis yang lebih terpikat pada kenikmatan dan pengalaman bermain game ketimbang kualitas dari console game tersebut. Coba saja lihat, walaupun sudah jelas-jelas mempunyai “penyakit” mematikan, namun tetap saja banyak yang berminat membelinya. Saya sendiri pernah mendengar dari suatu forum game bahwa ada seseorang yang membeli Xbox 360 lebih dari tiga kali karena terkena RROD tersebut, spektakuler!!!!

Terlepas dari itu semua, memang perlu diacungi jempol atas kesuksesan Microsoft dalam merancang strategi pemasaran Xbox 360, meskipun mereka sendiri termasuk dalam pendatang baru dalam dunia industri console game (hardware). Saya sendiri sebenarnya cukup tertarik untuk membeli konsol ini, namun karena adanya RROD ini akhirnya saya lebih tertarik untuk membeli Wii ketimbang Xbox 360. Bagaimanakah dengan Anda??



Read more

Apakah Manohara Akan Cepat Meredup?

,
Banyak orang, kemudian, menaruh curiga terhadap apa yang diungkapkan Manohara Odelia Pinot perihal kekerasan yang dilakukan sang suami terhadap dirinya. Mulai dari tarik-ulur pelaksanaan visum hingga pengunduran diri O.C. Kaligis dari tim pengacara dirinya, telah membikin persepsi bahwa Manohara bohong belaka. Dia membikin semua itu guna melambungkan popularitasnya yang memang belum terlalu kentara. Terlepas dari pro-kontra demikian, satu pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan kasus ini nama Manohara akan terus melambung, atau justru semakin meredup?

Dalam ilmu pemasaran dikenal istilah fad marketing (FM). Istilah ini merujuk pada usaha atau strategi perusahaan (bisa juga individu) untuk mengenalkan produk secara cepat, melakukan pemasaran secara highly targeted, dan bermuara pada pembatasan produksi. Perusahaan membikin suatu produk hit untuk kemudian menghilang dari pasar (one night stand) untuk kemudian membikin produk lain. Contoh dari ini adalah Nokia. Sahabat pasti aware atas kegemaran Nokia membikin produk dalam waktu yang relatif rapat. Inilah praktek konkret fad marketing.

Dengan menerapkan FM ini, perusahaan ingin menancapkan sensasi merek di benak konsumen atas suatu produk hingga pada titik yang maksimal sehingga memaksa konsumen untuk merasakan kepuasan lain dari produk-produk yang akan dirilis setelahnya. Sederhananya, perusahaan ingin terus memupuk rasa “lapar” konsumen atas produk-produk yang dikeluarkanya. Pada titik ini, FM merupakan salah satu contoh strategi pemasaran.

Namun, terkadang FM juga menjadi sebuah gejala yang muncul dari sebuah praktek pemasaran. Artinya, perusahaan sebenarnya tidak membikin produk tersebut untuk one night stand, tapi pada kenyataannya produk tersebut akhirnya meredup sendiri seiring menurunnya kepuasan konsumen atas produk itu. Contoh ini adalah Friendster (FS). FS kini bagaikan “sampah” yang teronggok di internet. Ia ditinggalkan penggunanya akibat kehadiran Facebook (FB) yang lebih interaktif dan variatif. Akibatnya, FS kini tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi bagian dari sejarah.

Pada konteks Manohara (dan artis lainnya), FM bergerak konsepsi gejala pemasaran. Banyak artis yang melambung karena sensasi yang kemudian sekonyong hilang bak ditelan bumi. Hal ini diakibatkan beberapa hal. Pertama, intensitas infotainment—kita asumsikan saja corong marketing artis—dalam memberitakan sebuah hal sangat intensif, dan tak henti-hentinya. Coba cermati bagaimana Manohara diberitakan hampir oleh semua Infotainment, tiap hari bahkan lebih dari sekali dalam sehari. Terlebih, apa yang diberitakan satu infotainment dengan infotainment lainnya terbilang mirip, hanya berbeda bungkus penyampaiannya saja. Hal inilah kemudian yang membikin rasa jenuh pemirsa (konsumen) atas suatu berita. Awalnya memang, banyak yang bersimpati terhadap Manohara dengan jalan mengikuti beritanya. Tapi karena terlalu intens, mereka justru berbalik mematikan TV tatkala menyiarkan berita Manohara.

Kedua,pragmatisme artis sebagai produk entertainment. Artis zaman sekarang cenderung lebih memilih jalur instan untuk bergerak di dunia entertainment. Mulai dari mengikuti ajang pencarian bakat hingga membebek bikin sensasi macam foto telanjang dan lainnya. Awalnya, atensi pemirsa akan bergerak naik secara cepat. Namun, seiring waktu atensi itu berbalik menukik tajam akibat jengahnya pemirsa atas pemberitaan tersebut.

Dalam kasus Manohara, saya sebenarnya tidak berfikir bahwa dia berbohong untuk melambungkan popularitasnya. Namun, satu hal, Manohara mendapat benefit dari kasus yang menimpa dirinya dalam hal awareness masyarakat terhadap dirinya. Manohara menjadi berita nasional, dibicarakan seantero negeri hingga menyulut sentimen nasionalisme terhadap negeri tetangga. Manohara mendapat “durian” di tengah terpaan “badai”.

Sayangnya, Manohara gagal dalam mengelola brand dirinya dalam menggerakkan kepopulerannya itu. Ia justru terlibat dalam sirkus infotainment dengan menarik-ulur pelaksanaan visum dan justru sibuk menghadiri wawancara di berbagai stasiun TV. Wajar jika kemudian banyak masyarakat menganggap Manohara hanya cari sensasi saja untuk melambungkan popularitasnya.

Sekarang, apakah Manohara akan cepat meredup? Sampai saat ini saya berfikir “Ya”. Terlalu intensnya dia melibatkan diri dalam sirkus infotainment menjadi alasan terbesar nama dia akan cepat meredup. Masyarakat terlampau bosan melihat sirkus macam demikian. Terlalu sering kita disuguhi berita-berita sensasi artis yang bikin jengah. Sangat wajar, bila kemudian Manohara pun akan cepat dilupakan secepat ia mendapat perhatian. Kecuali, Manohara mampu membikin suguhan sensasi hit lain secara berkesinambungan seperti yang dicontohkan dengan cerdas oleh keluarga Azhari. -)

Source Pics: mypics1207@flickr
Read more

Collaborative Relationship: Konsumen adalah karyawan Anda

,
Pada era sekarang ini, konsumen tidak lagi hanya menjadi sekadar pion catur yang dengan seenaknya dapat dimainkan atau dikendalikan oleh perusahaan. Kedudukan para konsumen menjadi lebih setara dan bahkan, lebih tinggi ketimbang perusahaan itu sendiri. Mau tidak mau, senang tidak senang, perusahaan mesti dapat melibatkan konsumennya dalam aspek pengambilan keputusan bisnis, baik itu pelibatan secara pasif maupun aktif. Hal inilah yang kemudian oleh Phillip Kotler disebut sebagai collaborative relationship yang terbangun dari hasil hubungan mutualisme antara konsumen dengan perusahaan. Lalu, apakah sebenarnya collaborative relationship yang disebut oleh Kotler tersebut?! tulisan ini akan mencoba mengulasnya sedikit.

Hubungan antara produsen dengan konsumen dalam konteks dunia pemasaran memang tengah memasuki fase baru setelah fase sebelumnya yang dikenal dengan sebutan relationship marketing. Fase baru inilah yang kemudian disebut dengan collaborative marketing, yang berarti bahwa adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara konsumen dengan perusahaan. Pada fase ini, perusahaan semakin dituntut untuk dapat membangun hubungan yang lebih horizontal dengan para konsumennya. Mereka mesti dapat menyadari bahwasanya konsumen merupakan “karyawan eksternal” perusahaan yang juga memiliki andil dalam menghasilkan profit bagi perusahaan.

Meski begitu, tampaknya hingga kini belum semua perusahaan mau dan mampu untuk meningkatkan hubungan dengan para konsumennya ke tahap yang lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu relationship marketing. Entah apa yang menjadi faktor penyebab para perusahaan tersebut enggan atau tak mampu untuk membina hubungan yang lebih tinggi lagi dengan para konsumennya. Akan tetapi perlu disadari bahwa apabila hal ini terus dibiarkan berlarut-larut terjadi maka yang akan mengalami kerugian adalah pihak produsen sendiri. Mereka akan kehilangan salah satu aspek keunggulan bersaingnya yang dapat berdampak pada runtuhnya bangunan bisnis perusahaan tersebut.

Walau masih menjadi wacana yang tergolong baru dalam dunia pemasaran kontemporer, collaborative marketing telah menjadi fenomena tersendiri bagi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terlebih lagi bagi para marketer. Selama ini, sudut pandang marketer kebanyakan terbatas pada bagaimana caranya menjaga hubungan baik dengan para konsumennya, sehingga kalau diibaratkan adalah bahwa konsumen hanya sebagai “domba-domba” dengan perusahaan sebagai gembalanya. Gembala mesti dapat menjaga dan merawat para domba tersebut dengan baik dan telaten sehingga nantinya domba-domba tersebut akan memberikan keuntungan bagi sang gembala. Sudut pandang seperti ini tidaklah salah, namun perlu diingat bahwa konsumen merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi, termasuk dengan perusahaan sehingga perlu juga dibangun emosional dengan para konsumen.

Salah satu contoh implementasi collaborative relationship/marketing dalam perusahaan dapat kita lihat pada perusahaan Procter and Gamble (P&G) yang baru-baru ini menciptakan program “P&G Advisor”melalui internet. Program P&G Advisor ini memungkinkan P&G untuk dapat berinteraksi dengan para konsumennya terkait dengan pengembangan produk-produk mereka ke depannya. Para konsumen diberikan kesempatan untuk mencoba produk baru yang dikembangkannya untuk kemudian diberikan feedback kepada pihak P&G sehingga mereka mampu untuk merancang ulang perencanaan produk dan pemasarannya apabila ternyata terdapat kekurangan. Sungguh tak diduga ternyata program ini mampu mendapatkan atensi yang cukup tinggi dari khalayak dan P&G mampu untuk meraup tingkat profitabilitas yang lebih tinggi ketimbang sebelum menggunakan program ini.

P&G hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan kontemporer yang telah merasakan manisnya implementasi collaborative marketing dalam strategi perusahaannya. Inilah yang kemudian membuat saya bertanya-bertanya, mengapa masih banyak perusahaan yang kemudian enggan untuk mengimplementasikan collaborative marketing dalam strategi pemasarannya?!, saya rasa hanya perusahaan-perusahaan tersebut yang mampu untuk menjawabnya.

sumber gambar: Export-Lead

Read more

Membela Manusia

,
Dalam mekanisme kehidupan modern seperti saat ini, Ibu Prita Mulyasari dan keluarganya adalah tipikal keluarga menengah yang menjadi ujung tombak kontrol sosial dalam relasi perusahaan dengan konsumen. Ibu Prita mungkin termasuk ke dalam sebagian kecil keluarga yang memiliki akses terhadap teknologi-informasi khususnya internet. Mereka inilah yang menjadi pilar-pilar pengontrol dalam aktivitas perlindungan konsumen di Indonesia.

Saya tergerak menuliskan ini setelah prihatin atas apa yang menimpa Ibu Prita dalam kasusnya dengan Rumah Sakit (RS) Omni Internasional. Sebagai konsumen modern, Ibu Prita jelas memiliki hak untuk meluncurkan unek-uneknya atas perawatan RS. Omni kepadanya. Apalagi, menurut pengakuannya, ia sudah berulang kali meminta penjelasan dan komplain ke pihak Omni namun tak jua mendapat respon yang signfikan. Ia kemudian menuliskan email yang berisi curhat atas perlakuan Omni kepadanya dan mengirimkannya ke beberapa email pribadi teman-teman terdekatnya.

Selanjutnya, Internet-lah yang membuat itu menyebar bak wabah kolera. Email Ibu Prita bak tsunami yang menerjang daratan. Meluas, hingga menjadi konsumsi publik kebanyakan. Omni kebakaran jenggot. Omni merasa telah dicemarkan nama baiknya. Sayangnya, Omni membalas itu dengan tidak elegan: memenjarakan Ibu Prita. Inilah ironi baru: di tengah-tengah kebangkitan konsumen justru represivitas perusahaan masih muncul.

Dalam textbooks pemasaran khususnya service marketing, konsumen berkecenderungan untuk menyampaikan komplain dalam tiga tindakan, yaitu memendamnya sendiri, menyampaikan komplain secara langsung kepada perusahaan dan meminta bantuan pihak ketiga. Pada konteks konsumen Indonesia, biasanya berkecenderungan untuk memendamnya sendiri, terdiam dalam solilokui yang panjang. Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk melalui proses yang ribet ketika menyampaikan komplain. Pada sisi lain, pihak ketiga macam YLKI yang digadang-gadang menjadi tombak perlindungan konsumen pun seringkali terjebak pada rumitnya mekanisme penyampaian komplain. Walhasil, konsumen seringkali mendapat kesia-siaan belaka dari usahanya yang terbilang sukar tersebut.

Kini, dengan semakin membuminya Internet khususnya media-media Web 2.0., relasi konsumen dan perusahaan berubah signifikan. Sekat-sekat birokrasi yang selama ini menjadi penghalang, mulai luntur. Konsumen memiliki kuasa yang besar untuk menyampaikan komplainnya secara langsung. Dalam bahasa Seth Godin dalam Meatball Sundae: Is Your Markeing Out of Sync?, internet telah membikin tren baru dimana suara-suara konsumen semakin lantang untuk memperjuangkan hak-haknya.

Di negara-negara Barat yang tingkat melek internetnya sangat tinggi, hal tersebut benar-benar menjadi angin segar dalam mengontrol perilaku perusahaan. Konsumen di sana begitu mudahnya melakukan komplain kepada perusahaan misalnya hanya dengan menulis di blog atau menyampaikannya di forum-forum komunitas. Yang lebih ekstrem, banyak bermunculan situs-situs independen yang menjadi pengawas perilaku perusahaan, taruhlah Wall-Mart Watch atau E-Bay Sucks.

Pada konteks Indonesia, kita harus akui bahwa distribusi penggunaan internet belum semerata di sana. Makanya, orang-orang seperti Ibu Prita adalah ujung tombak perlindungan hak-hak konsumen di Tanah Air ini. Apa yang telah dilakukan Ibu Prita sungguh sangat mulia, mencerminkan karakter konsumen modern: melakukan kontrol sosial atas dasar pembelaan terhadap hak-hak konsumen sebagai manusia. Ibu Prita memilih untuk tidak memendam keluhannya seorang diri. Ia justru berbagi kepada kerabat dan sesamanya atas apa yang diterimanya agar kelak tidak terjadi korban serupa di masa datang.

Pada sisi lain, saya tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Omni, terlebih ada embel-embel Internasional di belakangnya. Memenjarakan konsumen, saya pikir bukanlah karakter perusahaan yang modern. Dalam konstelasi marketing kontemporer, tindakan konsumen seperti yang dilakukan Ibu Prita, semestinya ditangani dengan memberikan klarifikasi, diskusi dan perundingan. Menurut Joseph Jeff, perusahaan mesti menceburkan diri ke dalam conversation yang dilakukan pelanggannya bukan malah melanggengkan represivitas terhadap konsumen.

Omni mestinya mencontoh apa yang telah eBay lakukan. Di saat eBay banyak dihujani kritikan dari masyarakat atas berbagai fraud dalam praktek bisnisnya, eBay justru giat merintis corporate blogging untuk menjalin conversation dengan pelanggannya. eBay tidak tanggung-tanggung meng-hire Richard Brewer-Hay—seorang pakar social media—untuk merancang dan mengelola blog berlabel eBay Ink. Dengan itu, eBay memberikan akses langsung kepada konsumen untuk memberikan komplain, saran ataupun masukan dalam hal praktek bisnis yang eBay lakukan. Melalui eBay Ink, komunikasi antara pengguna dan manajemen eBay dilakukan secara transparan dan tanpa sekat. Sederhananya: tidak ada dusta diantara kita.

Apa yang dilakukan eBay adalah penanganan komplain konsumen yang modern. Konsumen diletakan secara horizontal dengan perusahaan. Kini, bukan lagi era-nya vertical interaction, terlebih represivitas perusahaan. Karena kini, konsumen memiliki kuasa yang berlimpah untuk menghantam perilaku negatif perusahaan. Perusahaan tidak dapat seenaknya lagi melakukan praktek bisnisnya. Semuanya mesti jujur dan benar-benar menganggap konsumen sebagai “raja”.

Ibu Prita adalah wanita yang mulia. Mungkin ia kini dihujam penderitaan yang sangat atas perlakuan Omni. Tapi, percayalah kontribusinya pada dunia perlindungan konsumen tak dapat terbayar dengan apapun. Ia adalah pembela harkat-martabat konsumen sebagai manusia. Kita layak untuk terus membela Ibu Prita. Karena membela Ibu Prita pada galibnya membela kita sendiri sebagai manusia. Atas nama kemanusiaan, BEBASKAN IBU PRITA, SEKARANG JUGA!

Pic Credit by Chato B. Stewart @Flickr
Read more

This is Horizontal World: Release IBU PRITA, NOW!!!!

,


INTERNET HADIR UNTUK EGALITARIANISME
BUKAN UNTUK MELANGGENGKAN REPRESIVITAS MANUSIA
SALAHKAH JIKA ADA YANG MENGGUNAKANNYA UNTUK SEBUAH TUJUAN MULIA:
KONTROL SOSIAL?????

BEBASKAN IBU PRITA MULYASARI, SEKARANG JUGA!

Read more

creative or seductive??!!

,

Baru-baru ini, tepatnya pada awal bulan Mei ini, sebuah perusahaan penerbangan asal New Zealand, Air New Zealand, menayangkan iklan komersialnya di jaringan televisi New Zealand. Yang membuat iklan ini sangat menarik dan tentunya, memicu kontroversial, adalah bahwa dalam iklan tersebut para pramugari dan pramugara perusahaan itu ditampilkan tanpa memakai busana sama sekali, alias bugil. Mereka hanya menggunakan teknik body painting untuk mengkamuflasekan tubuh mereka sehingga lekuk tubuh mereka jelas saja tetap terlihat. Iklan yang diberi judul "Nothing to Hide" dan berdurasi sekitar 30 detik ini menampilkan sesuatu yang benar-benar beda dan unik serta keberanian untuk melawan arus konvensional. Dengan content iklan yang lain dari biasanya ini tentu saja berakibat pada banyaknya pro dan kontra yang bermunculan. Di situs jejaring video Youtube, iklan ini sendiri bahkan menjadi hot topic untuk beberapa waktu, khususnya bagi para masyarakat New Zealand sendiri. Lantas, apa yang dapat diambil dari iklan macam ini? nah, untuk menemukan jawabannya, maka akan coba saya ulas secara singkat.


Iklan (advertising) merupakan salah satu elemen dari Marketing Communication Mix yang penggunaannya paling populer dan lazim digunakan oleh perusahaan. Apapun jenis perusahaannya, hampir dapat dipastikan mereka pasti pernah menggunakan iklan untuk memperkenalkan produknya ke pasar, entah itu dengan menggunakan iklan televisi, media cetak, billboard, internet atau hanya sekadar menyebarkan selebaran-selebaran (flyer ) di jalan. Menurut Phillip Kotler, setidaknya ada empat tujuan dari penggunaan iklan, yaitu untuk menginformasikan (informative), ajakan (persuasive), pengingat (reminder), dan meyakinkan calon pembeli (reinforcement). Selain itu, keempat unsur ini mesti disesuaikan dengan kondisi pasar saat ini.

Terkait dengan kondisi pasar saat ini, tentunya tak terlepas dari krisis ekonomi yang sedang mengekang dunia saat ini. Pengaruh dari krisis ekonomi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung sudah mengenai semua elemen perusahaan, tak terkecuali bagian marketing. Marketer semakin dituntut untuk berpikir kreatif dan tentunya, on budget, dalam menghadapi situasi macam ini. Mereka mesti dapat menciptakan suatu creative solution yang dapat menjadi katalisator peningkatan pendapatan perusahaan namun tetap mempertimbangkan anggaran yang ada, sungguh dilematis bukan?!

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para marketer dalam hal ini adalah memilih media komunikasi marketing yang tepat dan efektif. Saat ini sudah begitu banyak tersedia media-media komunikasi, mulai dari yang gratisan hingga yang mahal. Apalagi dengan bermunculannya berbagai macam situs-situs jejaring sosial macam Facebook, Twitter, MySpace, dan lainnya yang kemudian semakin memperkaya pilihan atas media yang tepat. Banyaknya pilihan media ini jauh-jauh hari sudah diprediksi oleh Seth Godin. Dalam bukunya All Marketers are Liars ia pun dengan berani menyatakan bahwa masa keemasan iklan televisi saat ini sudah berakhir. Alasannya, para konsumen sudah tak lagi mempercayai iklan dan lebih memilih untuk berganti channel ketimbang menonton iklan. Selain itu, menjadikan televisi sebagai media komunikasi pemasaran pun membutuhkan biaya yang relatif besar. Oleh karena itu, apabila marketer tak mampu untuk membuat content yang kreatif dan unik maka dapat dijamin bahwa iklan itu akan kehilangan daya pikatnya, dan uang yang sudah diinvestasikan akan menjadi “uang sial”. Terlepas dari itu semua, memang harus diakui bahwa iklan televisi masih menjadi salah satu media komunikasi pemasaran yang paling populer dan efektif untuk saat ini. Iklan televisi tak lagi hanya menjadi sekadar ajang beli slot-slot iklan di televisi, namun jauh dari itu terdapat perang ide yang kemudian menentukan apakah suatu iklan nantinya akan efektif atau tidak.

Kembali ke iklan Air New Zealand, sebenarnya itu merupakan salah bentuk dari konten unik dan berbeda yang ditawarkan oleh para marketer perusahaan tersebut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa industri penerbangan akhir-akhir ini cukup mengalami pukulan telak akibat adanya krisis ekonomi global, belum lagi dengan maraknya pemberitaan mengenai virus flu babi (H1N1) yang berimbas pada dikeluarkannya travel warning ke beberapa negara. Oleh sebab itu, Air New Zealand pun mau tak mau mesti memikirkan cara agar tetap eksis dan meningkatkan profitabilitasnya di saat seperti ini sehingga muncullah ide untuk membuat iklan televisi yang seperti itu (baca: unik). Ide-ide kreatif macam ini memang sedang tumbuh subur pada saat krisis seperti sekarang ini dan bukan hanya Air New Zealand saja yang berpikiran melawan arus seperti itu. 

N.B.: untuk melihat iklannya dapat dilihat di sini

Read more

“Membunuh” Facebook atau Meruntuhkan Mitos?

,
Saat ini adalah masa kejayaannya situs-situs jejaring sosial macam Facebook, Twitter, MySpace dan LinkedIn. Pertumbuhan mereka sangat gilang-gemilang. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa eksistensi situs-situs tersebut dalam mengarsiteki pola komunikasi dan interaksi baru, baik pada ranah politik, bisnis ataupun sosial. Dalam dunia marketing misalnya, banyak kajian yang menelaah peran situs-situs jejaring sosial dalam menciptakan mekanisme pemasaan baru. Cukup banyak konsep-konsep marketing baru yang muncul akibat kehadiran situs-situs tersebut.Namun, di tengah kegemilangan situs jejaring sosial tersebut, ada sebagian pihak yang tidak turut bertepuk-tangan menyambut peran media-media sosial tersebut.
Di Indonesia misalnya, beberapa waktu lalu mengemuka wacana fatwa haram untuk Facebook dari sebagian ulama di Jatim. Selain itu, yang paling fenomenal adalah pemblokiran Facebook oleh pemerintah Iran selama masa kampanye pemilihan presiden di sana.

Dalam dunia pemasaran, ada Gene Mark yang mewanti-wanti para pebisnis atas mitos-mitos yang ditimbulkan situs-situs jejaring sosial. Melalui tulisannya di Business Weeks, Mark mengemukakan beberapa mitos yang jika saya sederahanakan akan mengemuka 3 (tiga) mitos utama, yaitu

 Situs jejaring sosial adalah media pemasaran yang murah. Menurut Mark, memang pebisnis atau perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk berpromosi di Facebook, Twitter atau lainnya, tapi itu ditimpali oleh cost lain yang tak kalah besarnya yaitu Waktu (Time). Pebisnis perlu mengalokasikan waktu yang banyak untuk berpromosi di media sosial terlebut. Dan menurut Mark, hal itu memungkinkan timbulnya opportunity cost yang besar andai perusahaan melakukan promosi melalui mekanisme lain.

 Situs jejaring sosial adalah media yang paling ampuh untuk menggaet pelanggan. Menurut Mark, kebanyakan para users Facebook ataupun Twitter adalah kawula muda yang menggunakan itu sebatas mencari gebetan, ataupun narsis-narsisan dengan sejawatnya. Hal ini berimplikasi pada usaha perusahaan yang mesti lebih keras untuk menggaet mereka sebagai pelanggannya. Menurut Mark, ini jelas cukup sulit dilakukan, tidak hanya usaha yang keras tapi juga memakan banyak waktu yang bukan tidak mungkin berujung kesia-siaan.

 Situs jejaring sosial adalah moda komunikasi dan interaksi masa depan. Banyak orang berpendapat, bahwa situs-situs jejaring sosial adalah masa depan komunikasi dan interaksi manusia. Intinya, situs-situs jejaring sosial tersebut akan terus bertahan untuk jangka waktu yang relatif lama. Mark tidak terlalu percaya dengan itu. Ia mencontohkan Twitter yang mengalami pertumbuhan dibawah 30%, MySpace yang terus mengalami penurunan pengunjung, hingga Geocities yang akhirnya ditutup oleh Yahoo! Gara-gara kehilangan pangsa pasar. Menurut Mark, tren ini mengabarkan kepada para marketer untuk lebih waspada akan eksistensi situs-situs jejaring sosial di masa depan. Mungkin Mark berasumsi bahwa situs-situs jejaring sosial tersebut hanyalah gejala fad yang hanya benderang di satu malam kemudian temaram di waktu lain (one night stand).

Saya sendiri tidak terlalu sepakat dengan apa yang dilakukan Mark. Menurut saya, Mark terlalu mendasarkan argumennya pada konklusi untung-rugi. Padahal, lebih dari itu, situs-situs jejaring sosial memberikan ruang untuk pengenalan produk, ide ataupun gerakan sosial dalam skala yang massif. Memang, akan cukup sulit menggaet pelanggan melalui Facebook dalam waktu singkat. Namun, minimal dengan berpromosi di Facebook akan tercipta brand awareness masyarakat terhadap produk kita. Nantinya, produk kita akan semakin dikenal yang bukan tidak mungkin mencipta impulse buying di masa-masa mendatang.

Jika kita tarik pada tataran yang lebih luas, situs-situs jejaring sosial juga sangat bermanfaat dalam memasarkan ide atau gerakan bernarasi sosial. Facebook misalnya, memberikan aplikasi “Cause” yang membuat orang dapat menciptakan wacana atas suatu hal. Para pegiat anti-rokok atau anti-aborsi misalnya, mendapatkan keuntungan untuk memasarkan kampanye-nya tersebut. Tengok saja, dalam sekejap banyak orang yang bergabung di “cause” macam demikian ataupun di grup-grup yang menyuarakan hal yang sama.

Melalui itu, Facebook dan situs jejaring sosial lain, memberikan ketukan awal untuk menjalarkan pesan secara massif dalam waktu sekejap. Karena itu, kecenderunganya akan semakin banyak orang yang membentuk kerumuman, bergunjing dan (mungkin) beraksi atas suatu wacana tertentu. Inilah online word of mouth mechanism.

Karena itu, saya jadi tergelitik ketika ramai terdengar segelintir orang yang menggulirkan fatwa haram guna “membunuh” Facebook. Ah masa? Masa iya Facebook haram? Saya jelas tidak bersepakat dengan itu. Daripada menggunjing demikian, lebih baik menggunjing tentang bahaya rokok atau isu-isu lainnya saja kan? Tentunya itu kita lakukan melalui Facebook. Insya Allah 100% Halal!. -)

Source Pics: Flickr
Read more

Brand Friendship: Kesetaraan Produsen dengan Konsumen

,
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa hubungan yang kuat antara suatu brand dengan para konsumennya menjadi suatu aset yang penting bagi perusahaan manapun dalam mempertahankan eksistensi produknya di pasar. Hal ini pula yang kemudian membuat banyak perusahaan (khususnya bagian pemasaran) yang mati-matian membangun brand loyalty karena mereka menyadari bahwa loyalitas yang tinggi dari para konsumennya dapat menjadi competitive advantages di tengah persaingan pasar yang semakin sengit. Namun disadari atau tidak, memperlakukan konsumen hanya sebagai “aset” yang harus dipertahankan akan sangat berpengaruh bagi loyalitas konsumen itu sendiri.

Konsumen, apapun latar belakangnya, adalah makhluk sosial yang memiliki perasaan dan juga pikiran, bukan hanya sekadar aset yang apabila tak berguna kemudian dapat dicari lagi penggantinya. Terlebih lagi, saat ini konsumen sudah lebih cerdas dan kritis dalam memaknai peranan mereka. Mereka sudah lebih menyadari bahwasanya mereka memiliki kebebasan dan kekuasaan dan tak perlu lagi “didikte” oleh para diktator yang bernama produsen. Hal ini lah yang kemudian menuntut perusahaan untuk dapat membina hubungan yang lebih setara dengan para konsumennya. Kalau perlu, jadikanlah para konsumen sebagai sahabat, bukan hanya sebagai mitra, partner, dan semacamnya. Untuk itu, maka muncullah gagasan baru yang kemudian disebut dengan brand friendship.


Kosakata brand friendship bisa jadi adalah istilah baru yang jarang terdengar dalam dunia pemasaran kontemporer. Lalu, apa sebenarnya brand friendship itu?. Dalam praktiknya, brand friendship sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan brand loyalty. Hanya saja, brand friendship—sesuai dengan namanya—mempunyai kedalaman makna dan tentu saja, kekuatan ikatan dan hubungan antara subjek dan objeknya, dibandingkan dengan brand loyalty. Mudahnya begini, Ketika kita ditanya manakah yang hubungannya lebih dekat, loyalis atau sahabat? Tentu saja kita akan menjawab sahabat. Ditambah lagi, dalam membangun suatu brand friendship¸setidaknya diperlukan tiga hal utama yang menjadi katalisnya, yaitu sense of belonging, friendship, dan dependability.

Sense of Belonging

Tahap awal dalam menciptakan brand friendship yang sukses adalah sense of belonging (rasa memiliki). Konsumen yang sudah mempunyai sense of belonging terhadap suatu brand, maka tidak sulit rasanya untuk mempertahankan mereka dan terus meningkatkan tingkat loyalitas mereka. Sense of belonging ini sendiri sangat berbeda-beda dalam realitanya tergantung dari brand yang bersangkutan. Antusiasme para konsumen BMW dalam menghadiri acara launching tipe terbarunya bisa jadi termasuk ke dalam sense of belonging, namun lain halnya apabila yang melakukan launching tersebut adalah Toyota. Lantas, apakah yang menciptakan sense of belonging itu sendiri?. Menurut Steve Mckee dalam artikelnya di BusinessWeek, hal yang paling penting dalam menciptakan sense of belonging adalah relevansi. “Brands that generate the strongest sense of tribal identity are so relevant to the wants and needs of their customers that they generate a natural gravitational pull”, itulah sebagian dari argumennya mengenai relevansi dalam penciptaan sense of belonging. Namun, adanya sense of belonging ini belumlah cukup untuk menciptakan brand friendship yang baik karena masih memerlukan dua hal lagi untuk melengkapinya, yaitu friendship dan dependability.

Friendship

"The only way to have a friend is to be one." Dogma itu bisa jadi merupakan cara yang paling benar dalam menggambarkan apa arti pertemanan sebenarnya. Begitu pula jika dikaitkan dengan brand dari suatu produk, untuk dapat bersahabat dengan para konsumennya maka mau tidak mau ia mesti “melebur” dengan para konsumennya tersebut. Tampaknya hal ini pun sudah sangat disadari betul oleh beberapa merek terkenal, Starbucks misalnya. Bagi kebanyakan orang (di Amerika Serikat khususnya) kunjungan mereka ke kedai kopi tersebut ibarat kunjungan ke tempat kerabat atau teman dekat mereka di mana mereka dapat merasa nyaman dan familiar. Inilah kunci untuk membangun kedekatan dengan para konsumen, buatlah mereka familiar dan nyaman dalam menggunakan produk, baik itu bentuknya barang maupun jasa. Lagi-lagi, ini pun belum cukup untuk dapat membuat pertemanan yang solid. Perlu diingat bahwa tidaklah mungkin untuk memaksakan konsumen agar dapat merasa nyaman ataupun familiar dengan brand dari suatu produk. Untuk itu maka diperlukan hal ketiga, yaitu dependability.

Dependability

“true friend is someone you can count on”, itulah kunci terakhir dalam menciptakan brand friendship yang sukses. Brand yang sukses dalam menjalin hubugan dengan para konsumennya adalah brand/produk yang terbukti dapat diandalkan ketika para konsumen sedang membutuhkannya. Inilah yang kemudian membuat para konsumen BCA cenderung loyal dengan ATM BCA karena mereka terbukti dapat diandalkan ketika sedang dibutuhkan. Coba saja lihat berapa banyak jumlah mesin ATM BCA yang bertebaran, baik itu di kota besar, kota kecil, tempat perbelanjaan, kampus,rumah sakit, atau sekadar di pinggir jalan.

Terlepas dari benar atau tidaknya bahwa pertemanan dengan konsumen memang benar-benar ada atau tidak—karena kesetaraan antara produsen dengan konsumen memang sulit tercipta— tidak ada salahnya bagi para marketer dalam menerapkan konsep brand friendship ini. meskipun nantinya konsumen target tidak benar-benar menjadi “sahabat” baik, setidaknya mereka sudah mengalami peningkatan loyalitas yang cukup signifikan pengaruhnya terhadap eksistensi suatu brand nantinya.



Read more

A Mild: Abundant Choices, Is a Problem?

,
Beberapa hari lalu, A Mild merilis iklan berjudul “Makin Banyak Pilihan, Makin Bingung Milihnya”. Dikisahkan, ada seorang laki-laki yang dengan “sakti” menawarkan berbagai macam barang mulai dari pesawat terbang hingga barang remeh-temeh dalam waktu singkat. Kemudian, di akhir iklan, muncul seorang pria lain yang dari mimiknya mengisyaratkan kebingungan untuk memilih barang-barang tersebut. Di sini saya tidak berniat membahas apakah iklan tersebut bagus atau tidak. Bukan, itu kapasitasnya teman-teman yang kuliah di advertising. Saya justru tertarik pada satu hal, apakah pilihan yang berlimpah menjadi sebuah masalah dalam kehidupan?


Sebelum dekade 2000-an, banyak pihak menilai bahwa pilihan yang terlampau berlimpah, jelas, menjadi masalah besar bagi individu dalam memutuskan mana yang mesti dipilih. Hal ini kemudian mendapat pembenaran oleh seorang Profesor Psikologi di Swathmore University, Barry Schwartz (2004). Dalam bukunya yang terkenal, The Paradox of Choice, Schwartz dengan yakin menyatakan bahwa terlalu banyak pilihan justru “melumpuhkan” masyarakat dalam menentukan mana pilihan terbaik yang mesti dipilih.
Dalam hal ini, Schwartz mengilustrasikan kisahnya sendiri ketika memilih celana jins di pusat perbelanjaan.

Schwartz, sebelumnya, belum memiliki preferensi celana jins jenis apakah yang hendak dibeli. Ia hanya ingin membeli dua celana jins berukuran 38 dan 28. Maka dari itu ia langsung meminta bantuan kepada pelayan. Alangkah “malangnya” (?) Schawrtz ketika pelayan tersebut memberikan pilihan yang cukup banyak dari segi jenisnya, mulai dari slim fit hingga faded. Schwartz jelas bingung untuk menentukan mana yang mesti dipilih.

Ia kemudian menyatakan bahwa pilihan yang begitu kompleks pada akhirnya membuat kita tertekan hingga menyebutnya sebagai suatu tirani. Kita mesti menginvestasikan waktu dan energi yang lumayan banyak. Belum lagi ditingkahi dengan keraguan, kegelisahan dan ketakutan akan pilihan yang nantinya akan kita pilih. Inilah yang kemudian menjadikan manusia “lumpuh”, alih-alih mendapat yang terbaik justru akhirnya ditikam “pahit” untuk tidak memilih apapun. Escape from Choice!

Namun keyakinan Schawrtz tersebut balik ditentang oleh Virginia Postrel. Dalam artikelnya, I’m Pro-Choice yang dimuat di Majalah Forbes, Postrel menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara memahami pikiran manusia (psikologis) dengan memahami karakter institusi pasar. Menurutnya, penelitian-penelitian psikologis lebih menitikberatkan pada penyesuaian apa yang benar-benar dibutuhkan oleh manusia dengan menghubungkannya pada pilihan-pilihan yang ada. Pada sisi lain, pasar justru tidak hanya memberikan pilihan berlimpah tapi juga memberikan cara bagaimana memilih secara efektif dari pilihan-pilihan tersebut.Karenanya, Postrel justru yakin bahwa kondisi pilihan yang berlimpah ini menciptakan ladang bisnis baru dalam kehidupan. Dengan yakin Postrel memberikan rekomendasi: Offer them abundant choices, but also help them search!

Amazon, iTunes, Rhapsody, bahkan mungkin YouTube, benar-benar menjadi bukti keyakinan Postrel. Bisnis-bisnis tersebut tidak hanya menawarkan pilihan produk yang sangat, sangat berlimpah tapi sekaligus juga memberikan tool yang menjadi panduan Anda dalam memilih secara efektif. Masyarakat mendapat kemudahan karenanya. Wajar jika mereka mengalami kemajuan yang signfikan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kenapa itu bisa terjadi?

Menurut Chris Anderson (2006) dalam The Long Tail, teknologi informasi khususnya internet telah menjadikan itu semakin booming. TI telah merevolusi cara suatu perusahaan dalam melakukan store management. Lihatlah iTunes dapat menyimpan miliaran track musik tanpa harus menyewa ruangan sangat besar untuk menjadi super-store macam Wall-Mart. Selain itu, internet pun telah memudahkan perusahaan dalam memberikan filter kepada masyarakat untuk memilih produk-produk yang memang dicarinya. Mulai dari online-search catalogue yang akurat, Google, hingga rekomendasi-rekomendasi horizontal dari blog atau forum-forum internet. Akhirnya, masyarakat merasakan manfaat dari pilihan yang berlimpah tersebut karena diberikan juga filter untuk menentukan pilihan yang terbaik dari semuanya itu.

Inilah pasar Long Tail, dimana pilihan yang tak terbatas menghasilkan keuntungan yang luar-biasa besarnya. Maka, hendakkah kita bimbang, bingung dan tertekan seperti digambarkan oleh iklan A-Mild tatkala pilihan itu berlimpah? Mestinya kita bersuka-cita karenanya.

Source Pic: Flickr

Read more

Antara Repression 2.0. dan Join the Conversation

,
Somebody out there is talking about you. Nobody can control the online conversation. (Christhoper Locke)

Semenjak kehadiran web 2.0. beserta prasasti-prasastinya macam blog, Facebook dan media jejaring sosial lainnya, lanskap interaksi manusia berubah secara revolusioner. Interaksi antar manusia menjadi langsung tanpa sekat apalagi perantara. Semuanya terjadi begitu vulgar tanpa saringan resmi. Mudahnya: tidak (boleh) ada dusta di antara kita.

Kecederungan kontemporer macam ini akhirnya juga berdampak pada interaksi antara negara dengan rakyatnya, politikus dengan konstituennya, atau pun perusahaan dengan pelanggannya. Pihak-pihak yang saya sebut terakhir—rakyat, konstituen, pelanggan—sebelumnya hanya menjadi subordinat dalam lanskap interaksi manusia. Pihak-pihak ini seringakali hanya dicekoki informasi, aturan dan lainnya secara vertikal tanpa punya kuasa untuk melakukan kontrol sosial secara langsung. Walhasil, pihak-pihak ini mesti menjadi “political animal”, dan “business animal” yang selalu dirugikan.


Tapi, semenjak kehadiran web 2.0. semuanya berubah secara signifikan. Pihak-pihak terpinggirkan tersebut mendapat kembali kuasanya untuk berinteraksi secara langsung dalam posisi yang horizontal dengan pihak lainnya. Tengoklah, kini, para pelanggan bebas memberikan kritik terhadap perusahaan jika terjadi praktek-praktek bisnis yang menyimpang. Tengok pula, apa yang dilakukan rakyat di berbagai negara yang bebas melakukan kontrol dan kritik sosial kepada penguasanya.

Penguasa, politikus, dan perusahaan kini tak bisa hidup tenang jika melakukan perbuatan tercela. Di luar sana banyak orang yang menggunjing tentang pelbagai kebobrokan yang telah dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Penguasa, politikus dan perusahaan, jelas, tak memiliki kuasa untuk mengontrol crowd yang kian eksis baik dari segi kuantitas ataupun militansi penyebaran idenya.

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh 3P itu?

Bagi negara totaliter macam China, konstelasi macam demikian tetaplah harus dilawan dengan tindakan represif. Anda mungkin ingat ketika mencuatnya kasus Tibet beberapa waktu lalu. Pemerintah China, ketika itu, mendapat banyak kritikan tidak hanya dari luar tapi juga dari masyarakatnya sendiri. Ketika itu, banyak blog ataupun diskusi-diskusi di forum maya yang mengecam tindakan represif pemerintah terhadap para biksu di Tibet.

Pemerintah China, dalam hal ini, sadar bahwa sangat susah untuk melakukan pembredelan secara menyeluruh, karena kritikan itu muncul begitu banyaknya. Pemerintah China akhirnya menerapkan pola unik dalam mengawasi rakyatnya di dunia maya. Mereka menciptakan avatar bergambar polisi komunis China yang disebar ke seluruh forum-forum diskusi ataupun media jejaring sosial yang digunakan masyarakat China. Sepertinya, rezim ingin mengabarkan bahwa tindak-tanduk rakyat di dunia maya pun tidak akan lewat dari pemantauan mereka. Inilah yang disebut Adam B. Kushner dalam artikelnya di Newsweek sebagai Repression 2.0.

Pilihan berbeda diambil oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin. Ketimbang melayani makian warganya dengan represif macam China, Rudy justru giat membangun conversation dengan warganya. Seperti diceritakannya pada Detik.com, Rudy gemar sekali menggunakan Facebook sebagai sarana merespon kritik dan makian warga masyarakatnya. Diakui Rudy, interaksi lewat Facebook membuat ia merasa dekat dengan warganya karena interaksi berlaku tanpa sekat. Dalam hal ini, nilai plus bagi Rudy adalah ia menggunakan Facebook-nya sendiri tanpa bantuan dari para staffnya.

Bagi negara yang melek internetnya masih relatif rendah, fenomena Rudy Ariffin bak oase di gurun Sahara. Ia mampu membawa satu budaya baru dalam lanskap interaksi penguasa dengan warganya. Rudy mampu memposisikan dirinya pada barisan horizontal dengan warganya. Dan memang semestinya demikian, toh Rudy pun merupakan mandataris rakyat yang mesti dekat dan mempertanggungjawabkan mandatnya pada warganya.

Selain itu, Rudy pun mencecap manfaat yang luar biasa hebatnya. Ia tentu semakin populer di kalangan masyarakat Kalsel yang gemar ber-Facebook. Rudy pun semakin mudah mengontrol kritik dan makian warganya secara langsung. Toh ia sendiri yang menangani kritik dan makian ini. Rudy telah memilih untuk terjun langsung, bercakap-cakap dengan warganya ketimbang mengerahkan polisi pamong praja untuk menghakimi warganya yang kritis.

Repression 2.0. dan Join the Conversation adalah pilihan. Tapi bagi saya yang anti-penistaan dan penindasan, tentu lebih arif menonton apa yang dilakukan oleh Rudy Ariffin, ketimbang menikmati apa yang dilakukan pemerintah China. Welcome to the Horizontal World!

Source Pic: Flickr

Read more
 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger