Brand Mythology

,
Mitologi, mungkin bagi sebagian dari kita cenderung berkaitan dengan hal-hal yang berbau Yunani kuno, seperti Hercules, Zeus, Aphrodite, dan lainnya. Tidak salah memang, namun apabila mengartikan bahwa mitologi adalah “barang” yang hanya mengandung unsur-unsur kuno dan mistik, jelas salah. Sesuai definisi dari Wikipedia: Myths are narratives about divine or heroic beings, arranged in a coherent system, passed down traditionally, and linked to the spiritual or religious life of a community, endorsed by rulers or priests; maka suatu mitos akan mampu untuk membawa seseorang yang membaca atau mendengarkannya untuk terlibat dalam cerita tersebut.

Nah, begitupun dengan brand. Merek-merek tertentu, seperti Harley Davidson, Nike, Jack Daniels, mampu untuk membawa konsumennya merasakan pengalaman untuk menjadi bagian dari mitos brand-brand tersebut. mereka menawarkan “cerita” kepada para konsumennya sehingga para konsumen pun tertarik untuk menjadi tokoh dan terlibat dalam cerita tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Seth Godin: “if I were trying to invent a mythic brand, I'd want to be sure that there was a story, not just a product or a pile of facts. That story would promise (and deliver) an heroic outcome. And there needs to be growth and mystery as well, so the user can fill in her own blanks. Endorsement by a respected ruler or priest helps as well.” Mudahnya, untuk menjadikan suatu brand sebagai mitos, tak cukup dengan hanya sekadar menawarkan produk beserta dengan kegunaannya saja, namun juga harus ada cerita di balik produk—sebagai nilai tambah— tersebut sehingga konsumen mau untuk menjadi tokoh dalam cerita tersebut.

Brand mythology sendiri memang sulit untuk dijelaskan ataupun dirumuskan sehingga menjadi konsep yang benar-benar applicable dalam dunia pemasaran, khususnya branding. Hal ini karena brand mythology berhubungan dengan spiritual dari para konsumennya, bukan needs and wants mereka. Para konsumen memiliki keyakinan apabila mereka menggunakan suatu produk yang telah menjadi mitos, maka mereka akan mempunyai nilai lebih ketimbang mereka yang belum pernah menggunakannya, meskipun sifatnya relatif. Coba saja lihat, apakah orang yang menggunakan Harley Davidson akan lebih macho dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakannya?! Atau apakah orang yang menggunakan Nike akan lebih sporty jika dibandingkan dengan orang yang bukan menggunakan Nike sebagai sepatu olahraganya?! Jawabannya sudah pasti, belum tentu. Tapi itulah realita yang tercipta dari persepsi karena menggunakan merek yang sudah menjadi mitos, meskipun sebenarnya realita berbeda dengan persepsi yang digambarkan. Perception is more important than reality, itulah marketing.


Source Pic: cartoonstock, googleimages

2 komentar to “Brand Mythology”

  • 7 April 2009 pukul 18.30
    Guest says:

    nampaknya Harley Davidson lebih layak disebut Cult Branding..

    delete
  • 7 April 2009 pukul 18.54
    eryadi says:

    nah...itulah kenapa saya bilang Brand Myth itu sndiri memang sulit untuk dijelaskan...oia, pendapat Anda memang benar, menurut Bj Bueno dalam bukunya The Power of Cult bRanding..Harley emang masuk kategori Cult Branding...btw, thanks atas kunjungannya..keep discuss....^o^

    delete

Posting Komentar

 

Marketing Kami Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger